Menjadi negara besar dan maju hanyalah mimpi di siang bolong jika masih bersandar dan mengikuti jejak sistem kapitalisme.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Tahun 2045 mendatang, Indonesia akan memasuki usia kemerdekaan 100 tahun. Di usia tersebut, negeri ini digadang-gadang akan menjadi negara maju dan bersanding dengan negara besar lainnya seperti AS, Korea Selatan, Jepang, dan lainnya. Sayangnya, harapan menjadi negara maju di tahun 2045 mendatang tampaknya terancam gagal.
Dilansir dari liputan6.com (26/11/2023), berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI, disebutkan bahwa Indonesia bisa gagal menjadi negara maju pada 2045 mendatang. Ekonom dan pengamat kebijakan publik, Achmad Nur Hidayat menyebut bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh LPEM tersebut merupakan penilaian yang sangat rasional dan terukur.
Lantas faktor-faktor apa saja yang menghambat Indonesia sebagai negara maju? Benarkah status negara maju dan berkembang hanya iming-iming Barat untuk menancapkan penjajahan di negara berkembang? Bagaimana pula Islam (Khilafah) menjadikan dirinya sebagai negara maju tanpa utang dan investasi?
Faktor Penghambat
Beberapa indikator yang menghambat Indonesia untuk menjadi negara maju berdasarkan penilaian LPEM adalah: Pertama, ekonomi Indonesia yang tetap stagnan berada di level 5%. Kedua, pertumbuhan kredit per tahunnya tidak pernah melampaui 15%. Ketiga, rasio pajak terhadap PDB tidak pernah melebihi 11%. Keempat, kontribusi industri terhadap PDB pun terus menunjukkan penurunan hingga saat ini yang berada di level 18%. Kelima, kemiskinan ekstrem yang terus-menerus berada di level 1,7%. (liputan6.com, 26/11/2023)
Selain faktor-faktor tersebut, masih ada indikator lain yang turut menjadi penghambat ambisi negeri ini untuk beralih kelas menjadi negara maju. Beberapa faktor yang tak kalah penting tersebut adalah lemahnya penegakan hukum khususnya dalam hal pemberantasan korupsi. Lemahnya penegakan hukum menyebabkan korupsi menggurita di segala sektor. Akibatnya, produktivitas berkurang dan ketidakadilan terpampang di depan mata.
Berikutnya adalah lemahnya pengawasan terhadap eksplorasi SDA. Akibat dari kelemahan pengawasan tersebut, maka akan terjadi eksploitasi SDA secara berlebihan dan tidak terkontrol. Hasilnya, kerusakan lingkungan begitu nyata dan potensi SDA untuk mendukung pembangunan dalam bidang ekonomi tidak maksimal. Terakhir adalah lemahnya negosiasi negeri ini dengan pihak asing terkait pemanfaatan SDA. Realitas tersebut mengakibatkan negeri ini tidak mendapatkan manfaat yang maksimal dan kehilangan potensi pendapatan yang besar dari sektor SDA.
Demikianlah faktor-faktor penghambat yang berpotensi membuat Indonesia gagal menjadi negara maju di tahun 2045 mendatang. Kesempatan menjadi negara maju akan terealisasi jika pertumbuhan ekonomi Indonesia minimal 6% per tahunnya. Hal ini berdasarkan hitung-hitungan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas. Jika realisasi pertumbuhan ekonomi hanya 5% per tahun sebagaimana saat ini, maka harapan menjadi negara maju tampaknya masih sulit dicapai.
Sebagai informasi, labelisasi sebagai negara maju bukanlah didasarkan pada perhitungan pertumbuhan ekonomi secara tahunan saja, tetapi didasarkan pada Gross National Income (GNI) atau Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita. Artinya, status sebagai negara maju hanya dihitung dari pendapatan penduduk Indonesia, tidak dilihat dari banyaknya investasi asing di negeri ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto. (CNBC Indonesia.com, 30/10/2023)
Jebakan Status "Negara Maju"
Negara maju adalah negara yang tidak hanya berdaulat, tetapi memiliki kualitas hidup yang tinggi, ekonomi yang sudah dikatakan maju, serta memiliki infrastruktur teknologi yang terbilang canggih. Tentu saja negara tersebut sudah memiliki pendapatan minimum US$11.906 per tahunnya. Meski standarnya terbilang tinggi, nyatanya banyak negara yang berburu predikat sebagai negara maju termasuk Indonesia.
Namun harus diingat bahwa iming-iming sebagai negara maju bisa saja sebagai jebakan Barat untuk menguasai aset-aset negara berkembang dan miskin. Contohnya adalah apa yang terjadi pada negeri ini. Pada tahun 2020 lalu, Amerika Serikat (AS) telah menghapus Indonesia dan beberapa negara lain dari status negara berkembang menjadi negara maju. Meski perubahan status tersebut terkesan sebagai sebuah prestasi, tetapi para pengamat justru memiliki pandangan berbeda. Salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara. Menurutnya, perubahan status tersebut hanyalah akal bulus AS demi keuntungannya sendiri.
Pasalnya, penghapusan status dari negara berkembang menjadi negara maju justru membuat Indonesia tidak lagi menerima beberapa fasilitas dalam urusan ekspor. Di antara fasilitas tersebut adalah pemotongan bea masuk barang-barang ekspor Indonesia ke AS, khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Dengan statusnya sebagai negara maju, maka barang ekspor Indonesia akan dikenakan bea masuk yang lebih mahal ketimbang negara-negara berkembang. Pencabutan status tersebut pun dianggap sebagai upaya menekan defisit perdagangan AS dengan Indonesia.
Di sisi lain, jika Indonesia ingin mencapai status sebagai negara maju, maka semua kriteria yang disyaratkan haruslah terpenuhi. Di antaranya adalah memiliki kecanggihan teknologi dan infrastruktur yang memadai. Sayangnya pembangunan fasilitas tersebut membutuhkan dana besar yang tidak mampu ditanggung oleh APBN saat ini. Karenanya, untuk membangun teknologi dan infrastruktur yang canggih serta memadai, maka negara akan mengambil jalan instan yakni membuka keran investasi sebesar-besarnya.
Padahal, siapa pun tahu bahwa para investor yang menanamkan sahamnya pasti berharap kembalinya modal disertai keuntungan yang besar. Artinya, tidak ada investor yang mau rugi. Tak heran jika para investor di negeri ini selalu menginginkan adanya jaminan hukum yang ramah pada investasi. Misalnya saja dengan pengesahan undang-undang yang memudahkan mereka menanamkan investasinya di negeri ini, seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, dan lainnya. Hasilnya pun bisa dikatakan mencengangkan. Lihatlah berapa banyak konsesi SDA negeri ini kepada swasta, baik lokal maupun asing. Bisa dikatakan, investasi menjadi jebakan bagi negara berkembang untuk berburu predikat sebagai negara maju.
Selain investasi, utang juga menjadi jebakan ekonomi bagi suatu negara. Apalagi utang berbunga yang kini diadopsi negara-negara kapitalis saat memberikan pinjaman pada negara lain. Utang berbunga membuat satu negara semakin terjerat karena untuk melunasinya harus ditutup dengan utang baru lainnya. Kondisi ini terus terjadi hingga satu negara sering kali mengalami gagal bayar. Akibat gagal bayar tersebut, aset-aset negaralah yang harus dijadikan tumbal.
Dampak tak langsung dari utang tersebut adalah negara akan diperbudak oleh para investor. Pada akhirnya negara hilang kewibawaan dan kemandirian. Sedangkan dampak langsungnya justru diterima oleh rakyat. Pajak akan terus dinaikkan, biaya hidup makin mahal, kemiskinan dan pengangguran menggurita, serta kerusakan alam menjadi pemandangan memilukan yang terpampang di depan mata.
Terpuruknya negeri ini dalam berbagai sektor adalah akibat nyata dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini telah melegalkan penjajahan oleh negara besar pada negara-negara kecil atas nama utang dan investasi. Sistem ini pula yang menyebabkan pengelolaan aset-aset milik umum oleh swasta menjadi legal atas nama konsesi. Jika realitasnya sudah seperti ini maka mimpi Indonesia menjadi negara maju pada 2045 mendatang ibarat pungguk merindukan bulan.
Membangun Negara Adidaya
Menjadi negara besar, berdaulat, dan disegani bangsa lain bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun, menjadi negara besar dan maju hanyalah mimpi di siang bolong jika masih bersandar dan mengikuti jejak sistem kapitalisme. Karena itu, satu-satunya jalan untuk menjadi negara maju dan berdaulat adalah dengan menjadikan Islam sebagai landasan bernegara.
Syariat Islam telah begitu sempurna mengatur kehidupan mulai dari level individu, masyarakat, hingga negara. Dalam skala negara, Islam telah menyediakan seperangkat aturan paripurna yang akan membawa suatu negara pada kemajuan dan kemandirian tanpa bergantung pada utang dan investasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, pertama-tama negara harus menyejahterakan seluruh rakyatnya dahulu tanpa diskriminasi. Apalah artinya infrastruktur yang dibangun dengan megah jika rakyat tidak merdeka dari kebutuhan asasi.
Karena itu, fokus utama negara adalah untuk melayani rakyat, sebagaimana tertuang dalam hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."
Demi memenuhi kebutuhan asasi seluruh rakyat, Khilafah akan menerapkan politik ekonomi. Di mana, para lelaki yang mampu diwajibkan bekerja untuk manafkahi diri dan setiap orang yang berada dalam tanggungannya. Jika tidak mampu maka kewajiban nafkah berpindah pada kerabatnya. Dan jika kerabatnya pun tidak mampu, maka kewajiban nafkah berada pada baitulmal.
Terkait kewajiban memenuhi seluruh kebutuhan dasar tersebut, maka negara akan mengambilnya pada yang paling pokok (asasi), yang di dalamnya jelas bermanfaat, efektif, dan memiliki efek turunan yang jelas. Contohnya saat negara membangun infrastruktur. Maka, yang paling utama dari infrastruktur tersebut adalah fungsinya yang dapat memudahkan seluruh urusan dan kehidupan rakyat. Tak perlu embel-embel lain pada infrastruktur tersebut agar terlihat menarik, padahal keberadaannya tidak bermanfaat secara langsung.
Di sisi lain, negara tidak berkewajiban memenuhi kebutuhan sekunder atupun tersier rakyatnya. Jika mereka ingin memenuhi kebutuhan sekundernya, negara akan memberikan ruang untuk berkompetisi demi memperoleh harga paling ekonomis. Selain itu, negara akan menjalankan fungsinya sebaik dan seamanah mungkin. Jika fungsi negara benar-benar berjalan, maka kepercayaan rakyat pada penguasanya akan terbentuk. Jika sudah demikian, apa pun kebijakan maupun anjuran pemimpin benar-benar didengar oleh rakyatnya, termasuk anjuran bersedekah yang nantinya akan menjadi pintu pemasukan bagi baitulmal.
Sejarah emas peradaban Islam telah menggambarkan bagaimana Khilafah mampu membawa rakyatnya pada kesejahteraan hakiki. Bahkan, peradaban Islam telah berhasil menjadi mercusuar dunia pada masa itu. Lantas, bisakah negeri ini maju, merdeka, dan tidak bergantung pada utang, investasi, dan impor? Jawabannya tentu saja bisa. Namun, negeri ini harus terlebih dahulu melakukan langkah-langkah berikut.
Pertama, harus mengubah paradigma materialistis, baik dalam skala masyarakat maupun para elite kekuasaan. Kemudian menggantinya dengan paradigma pelayanan pada rakyat dan ketaatan kepada Sang Pencipta. Kedua, mengubah APBN secara menyeluruh, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluarannya untuk disesuaikan dengan syariat Islam. Ketiga, mengatur pengeluaran seefektif mungkin pada kebutuhan dasar rakyat dan pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi.
Keempat, tidak boleh mengeluarkan dana baitulmal untuk pembayaran transaksi yang mengandung riba. Kelima, mengembangkan berbagai riset untuk menguasai teknologi. Dengan penguasaan terhadap teknologi, maka akan meningkatkan efisiensi. Keenam, mengoptimalkan pengelolaan SDA milik umat yang berkelanjutan untuk meningkatkan penerimaan baitulmal, termasuk meningkatkan pemasukan negara dari pos wakaf. Ketujuh, menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan agar terwujud keberkahan bagi seluruh alam.
Khatimah
Iming-iming menjadi negara maju oleh Barat sejatinya hanyalah kedok. Barat hanya ingin menguasai aset-aset bangsa yang menguntungkan mereka dengan berlindung di balik pemberian label negara maju. Tak mungkin ada kemajuan hakiki jika sistem rusak kapitalisme masih didekap dan digunakan untuk mengukur maju atau tidaknya suatu negara. Negeri ini hanya perlu kembali pada Islam dan seluruh syariatnya sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya jika ingin menjadi negara maju dan berdaulat.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Benar, negeri ini harus waspada tingkat langit. Jangan-jangan label negara maju haya jebakan untuk melanggengkan hegemoni adidaya untuk mengeksploitasi SDA di negeri ini.
Nah, semoga para pemimpinnya pada sadar ya
Watak penjajah memang terus membodohi jajahannya dan menguras potensi kekayaan wilayahnya. Parahnya penguasa negeri yang terjajah tidak pernah merasa dibodohi. Sebaliknya merasa bangga dengan status abal-abal yang disematkan oleh negara neo-imperialisme itu. Miris! Barakallah Mbak Sartinah, tulisannya selalu keren.
Betul Bu. Syukran ya sudah mampir
Bagaimana akan maju jika semua aset malah diserahkan ke asing aseng, negara kaya tapi juga kaya utang, rakyat semakin miskin masih juga dicekik dengan pajak dan biaya hidup yang semakin mahal..inilah jebakan kapitalisme yang harus segera dicampakkan dan diganti dengan sistem Islam
Setuju mbak, kapitalisme bukan jalan untuk mewujudkan negara yang benar-benar maju.
Jelas faktor2 penghambat di atas adalah hasil dari menggunakan kapitalisme sebagai sistem negara, maka memang menjadi ilusi jika mau maju tapi tetap memakai kapitalisme
Betul mbak Dia, di bawah kapitalisme, negeri ini bukannya maju tapi makin terjajah.