"Sistem kapitalisme meniscayakan dunia Islam menjadi target market para kapitalis dalam menjajakan hasil teknologi mereka. Nyatanya, berbagai penelitian perguruan tinggi yang diselenggarakan negeri muslim hanya untuk memfasilitasi kepentingan industri yang dimiliki para kapitalis asing.
Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Belakangan ini, perbincangan terkait Metaverse mulai mewarnai jagat maya setelah media sosial Facebook merombak namanya menjadi Meta. Strategi rebranding ini merupakan proyek ekspansi Facebook menuju platform komputasi baru yang berorientasi pada ruang maya, yang disebut Metaverse. Sehingga, Meta diklaim sebagai tonggak sejarah yang memprakarsai batas antara dunia nyata dan virtual menjadi semakin kabur.
"Sebagaimana diwartakan dari katadata.co.id (29/20/2021), CEO Meta Mark Zuckerberg dalam Konferensi _Connect_ Facebook, Jumat (29/10), resmi mengubah nama perusahaan media sosial Facebook Inc menjadi Meta Platforms Inc. Strategi tersebut dilakukan sebagai upaya menyelami perusahaan Metaverse. ‘Jantung’ Instagram ini juga akan menciptakan dunia virtual menggunakan berbagai komponen berbasis _virtual reality_ (VR) serta _augmentend reality_ (AR). Mark juga menambahkan Metaverse merupakan tapal batas selanjutnya bagi Facebook yang akan dibidik dalam waktu lima tahun. Kehadiran Metaverse digadang-gadang akan menjadi tren baru dalam dunia internet. Sayangnya, banyak pihak justru mengkhawatirkan kehadiran Metaverse bakal mengancam kehidupan manusia. Hal ini lantaran Metaverse dinilai sebagai perangkap yang bakal melenyapkan realitas dan membius manusia dalam kesenangan semu dunia maya. Sebenarnya apa itu Metaverse? Benarkah Metaverse akan membahayakan peradaban manusia? Bagaimanakah kedudukan teknologi di masa peradaban Islam?
Menyelami Dunia Metaverse
Tren dunia Metaverse sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan di dunia. Istilah Metaverse pertama kali dikenalkan oleh Neal Stephenson, seorang penulis sains fiksi dalam novelnya yang berjudul Snow Crash (1992). Setelah puluhan tahun, Metaverse kembali diangkat dalam novel karya Ernest Cline yang berjudul Ready Player One (2011). Dalam kedua novel itu, Metaverse diilustrasikan layaknya ruang yang menjembatani dunia virtual dengan augmented reality (AR). Melesatnya perkembangan teknologi membuat popularitas Metaverse makin mentereng. Tak pelak, Metaverse menjadi bidikan berbagai perusahaan teknologi terkemuka di dunia.
Metaverse sendiri diartikan sebagai dunia virtual yang menghubungkan antarindividu dalam ruang yang baru. Secara konsep, Metaverse serupa dengan media sosial konservatif, namun dilengkapi dengan penggabungan dua teknologi paling modern saat ini, yakni blockchain dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Dalam dunia Metaverse, seseorang dapat menciptakan avatar atau figure virtual yang memvisualkan dirinya dalam jagat maya. Dapat dikatakan, Metaverse merupakan aspek sosial, virtual reality (VR), augmented reality (AR), game serta mata uang digital yang meniscayakan seseorang untuk berinteraksi dengan yang lain seperti halnya dunia nyata, mulai dari bekerja, sekolah, olahraga hingga hiburan dalam ruang virtual. Dengan kecanggihan teknologinya, keberadaan Metaverse sudah pasti akan mengalihkan perhatian manusia jauh lebih dalam ke dunia maya/sosial media.
Metaverse juga menyediakan beragam kegiatan yang tak pernah terlintas sebelumnya, terutama terkait investasi. Jika dalam dunia nyata seseorang biasanya berinvestasi pada aset-aset strategis, seperti tanah, properti hingga saham, melalui Metaverse manusia bisa berinvestasi pada aset-aset digital. Jangan salah, aset digital tersebut ternyata bisa dijual kembali meskipun dalam transaksi virtual. Mata uang kripto pun diklaim akan menjadi alat tukar dan kendaraan investasi dalam Metaverse. Sebagai permulaan, Metaverse akan menggaet para gamers, mengingat melonjaknya tren bermain gim di berbagai negara akibat pandemi serta tingginya eksposur aktivitas gaming terhadap dunia virtual. (cnbcindonesia.com, 5/12/2021)
Ide Brilian yang Membahayakan
Badai kritikan datang dari berbagai kalangan tak lama setelah Facebook mencetuskan dunia Metaverse. Salah satunya diungkapkan oleh Pakar Komputer dan Pengembang Sistem Virtual Reality (VR) perdana di Air Force Research Laboratory, Louis Rosenberg yang mengkhawatirkan dunia Metaverse bakal membingungkan dan mengaburkan realita. Meta juga bisa menciptakan distopia yang seperti nyata. Dirinya juga mencemaskan aplikasi augmented reality yang akan dikontrol infrastrukturnya oleh penyedia platform powerful ini. Lebih lanjut, dirinya juga khawatir terhadap kebocoran data antarpengguna ketika ada pihak ketiga yang memberikan layanan berbayar. Misalnya, melabeli seseorang dengan kata-kata ejekan atau rasisme dari data di kepala peserta virtual, sehingga memicu perbedaan politik dan ujaran kebencian. Metaverse juga bisa melenyapkan realitas dengan menciptakan sistem baru yang mengikat di masa depan.(detik.com, 11/11/2021)
Melesatnya kepopuleran dunia Metaverse akhir-akhir ini bisa dipastikan akan menyedot perhatian penduduk seluruh dunia. Bagaimana tidak, Metaverse yang merupakan ide brilian abad ini digembar-gemborkan bisa menyatukan setiap orang di seantero dunia untuk saling berinteraksi, tanpa adanya sekat bangsa dan negara. Melalui sebuah ruang virtual yang mengantongi teknologi VR dan AR, setiap orang bisa menjelajahi dunia virtual layaknya kehidupan nyata. Nyaris semua aktivitas bisa dilakukan dalam dunia Metaverse. Namun, eksisnya Metaverse tentu saja bukan tanpa risiko. Ada problem-problem yang bakal makin meruncing seiring dengan meroketnya popularitas dunia baru tersebut. Sebut saja terkait privasi data dan juga cyberbulliyng yang bakal meningkat. Bisa kita bayangkan, betapa mudahnya informasi pribadi kita dikendalikan oleh pengelola realitas, ketika semua data begitu mudah diakses. Akibatnya, proteksi terhadap keamanan siber makin menyusut, bahkan memberi celah adanya penyelewengan di media sosial.
Selain itu, tak bisa kita nafikan bahwa sistem algoritma ‘sang tulang punggung’ dari kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang digunakan Metaverse dalam meniru aspek koginitif manusia, ternyata menyimpan bahaya yang tak sedikit. Keberadaan sistem tersebut bisa memanipulasi kita untuk memercayai bahkan mengikuti setiap rekomendasi mesin algoritma yang membabi buta terkait informasi, tayangan atau apa pun. Sehingga, bisa menjerumuskan manusia ke dalam kenikmatan semu dunia virtual, mengabaikan realitas kehidupan nyata, bahkan menciptakan relasi yang tak sehat hingga parasosial. Nyatanya, kecerdasan buatan memiliki bias tersendiri dan bukan tidak mungkin menjadi sangat jahat dalam memperdaya manusia.
Kapitalisme Digital untuk Meraup Keuntungan
Pada faktanya, realisasi Metaverse yang dicetuskan oleh Facebook merupakan manifestasi dari praktik kapitalisme digital, yaitu kapitalisme yang mengutamakan proses produksi pada pemasaran komoditas digital dengan tetap mengawal dinamika pokok kapitalisme (Rivera 2020,726). Praktik kapitalisme digital lebih mudah digunakan, lantaran tidak membutuhkan banyak regulasi SDM dalam strukturnya, serta hanya memfokuskan pada peningkatan wawasan serta gagasan dalam merangkai inovasi. Selain itu, produk digital semisal iklan dan juga kecanggihan teknologi yang dipromosikan, nyatanya memicu praktik kapitalisme digital dalam rangka memanipulasi konsumen demi memuaskan kesenangan pribadi. Jelaslah, adanya Metaverse semakin menunjukkan eksistensi kapitalisme digital yang dibangun Facebook, demi meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Sungguh, Metaverse hanyalah wacana digitalisasi yang sengaja diromantisasi oleh Facebook untuk melanggengkan eksistensi perusahaan di tengah merosotnya pendapatan Facebook. Spontanitas Facebook dalam peresmian Metaverse seolah menunjukkan raksasa teknologi yang selalu bermuka dua. Komitmen untuk menjadikan dunia lebih baik, nyatanya hanyalah ‘pemanis’ untuk menggaet konsumen berkantong tebal, namun kian menggerus kehidupan kaum yang tertindas, terutama para imigran digital yang terasing dalam kehidupan yang serba modern.
Inilah buntut dari perkembangan teknologi yang berada dalam genggaman asing, di mana driver utamanya adalah prinsip kapitalisme yang berbasis KBE (knowledge based economy).
Sistem kapitalisme meniscayakan dunia Islam menjadi target market para kapitalis dalam menjajakan hasil teknologi mereka. Nyatanya, berbagai penelitian perguruan tinggi yang diselenggarakan negeri muslim hanya untuk memfasilitasi kepentingan industri yang dimiliki para kapitalis asing. Pun kemajuan teknologi hanya dijadikan kendaraan untuk mendulang cuan serta meninabobokan penggunanya untuk semakin terjerembab dalam kepuasan pribadi tanpa memikirkan kengerian yang ada di baliknya. Alhasil, adanya Metaverse merupakan sebuah jebakan atas nama kemajuan teknologi yang dapat mengaburkan realitas dunia nyata dan jagat maya, bahkan menjadi ancaman mengerikan bagi manusia karena terbius dengan sihir-sihir digital di dalamnya.
Teknologi dalam Sejarah Peradaban Islam
Pemanfaatan teknologi akan sangat berbeda jika sistem Khilafah yang menjadi pengendali penuh aspek tersebut. Khilafah Islam merupakan institusi pemersatu kaum muslimin yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam semua lini kehidupan, termasuk dalam perkembangan teknologi. Teknologi yang diciptakan Khilafah akan berfokus pada teknologi tepat guna untuk mengakhiri berbagai problematika yang ada di masyarakat.
Dalam sejarah Kekhilafahan Islam, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah sekitar tahun 904 M pernah menulis Kitab al-Falaha al-Nabatiyaada. Kitab ini memiliki 8 juz yang berisi revolusi pertanian di dunia, seperti strategi mencari sumber air, mengambilnya, mengangkatnya ke atas hingga mengoptimalkan kualitasnya. Teknik ibn al-Wahsyiyah dikenal dengan istilah "Nabatean Agriculture”. Selain itu, sejumlah ilmuwan muslim pernah memprakarsai berbagai teknologi yang berkaitan dengan air, baik untuk mengangkutnya ke sistem irigasi atau memakainya untuk mengaplikasikan mesin giling. Pada abad ke-10, mesin ini dapat memproduksi 10 ton gandum dalam satu kali penggilingan.
Lebih dari itu, teknologi dalam Khilafah juga diutamakan agar umat Islam dapat menjalankan ibadah dengan optimal. Misalnya, kebutuhan teknologi dalam pelaksanaan haji yang mengumpulkan jutaan manusia dari berbagai dunia. Berkaitan dengan transportasi, jika terjadi penumpukan calon haji di satu titik di Makkah, maka daerah sekitarnya harus mengantisipasinya dengan menyediakan sarana dan prasarana transportasi yang mumpuni. Seperti yang terjadi pada awal kemuculan kereta api, Daulah Utsmani pernah membangun rel kereta api Hijaz yang menghubungkan Istanbul dengan Madinah dan Makkah melewati Yerusalem.
Ketika Khilafah berdiri, teknologi semisal artificial intelligence, big data, digitalisasi hingga cloud computing yang berimbas pada digitalisasi dan otomatisasi beberapa pekerjaan manusia, tentu akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Dengan Khilafah, revolusi industri akan memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Khilafah juga akan menciptakan peradaban baru yang membebaskan dunia dari belenggu penjajahan. Umat Islam akan menjadi umat yang sigap terhadap perkembangan teknologi tersebab penguasaan teknologi yang ditopang oleh negara Khilafah.
Oleh karena itu, tegaknya Khilafah Islam merupakan kebutuhan yang mendesak hari ini. Karena, keberadaan institusi inilah yang akan menyatukan berbagai potensi kaum muslimin, termasuk teknologi. Sehingga, kaum muslim dapat kembali melabeli dirinya dengan predikat umat terbaik serta unggul dalam peradaban, seperti ketika Khilafah tegak selama 13 abad yang lalu. Hanya dengan kedigdayaan Khilafah, Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al- Anbiya ayat 107 yang berbunyi, "Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.”
Wallahu a'lam bish shawwab[]
Photo : Pinterest
informasi metaverse dan jebakannya penting untuk dipahami. Perkembangan teknologi terus membuka peluang yang luas. <a href=”https://iptek.co.id/”>Digitalisasi Museum</a> merupakan inovasi yang memungkinkan pengunjung museum untuk menjelajahi berbagai koleksi seni, sejarah, dan budaya secara daring dan virtual.
Thanks for informations
Wah bahaya nih, cybercrime juga pasti ikut melesat. Memang jagonya ya sistem kapitalisme ini membius dgn kesenangan semu. Merusak peradaban manusia. Sisi mana sih yg gak dikapitalisasi sistem fasad ini ?!