Tersandera Ekonomi Neoliberal, Harga Minyak Goreng Naik, Indonesia Tak Berkutik

Semua pengurusan rakyat, termasuk pengelolaan bahan pangan sawit disodorkan kepada para korporasi, baik lokal maupun luar. Begitu pula, kebijakan pangan yang digulirkan hari ini tak mampu mengendalikan kebijakan ekspor serta pasokan komoditas sawit yang dapat memihak rakyat, justru malah semakin mengalirkan keuntungan kepada para pengusaha beserta oknum-oknum yang terlibat.

Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Ironi hidup di negeri yang dijuluki ‘Raja Sawit’, tetapi harga minyak goreng di dalamnya begitu sulit untuk dikendalikan. Beberapa minggu terakhir harga minyak goreng terus menanjak melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Panasnya harga minyak goreng sudah pasti makin menyulitkan masyarakat. Apalagi, bagi para pedagang kaki lima yang aktivitasnya baru mulai bergeliat setelah terjegal oleh pembatasan selama pandemi belakangan ini.

Dilansir dari okezone.com (1/12/2021), pusat informasi harga pangan strategis (PIHPS), per Selasa (30/11) melaporkan harga rata-rata minyak goreng di pasaran tercatat Rp16.450 sampai Rp24.150 per kilogram. Berdasarkan jenisnya, harga minyak goreng curah di semua provinsi berada pada kisaran Rp17.700 per kilogram. Kemudian, harga minyak goreng kemasan merek 1 Rp19.299 per kilogram dan harga minyak kemasan merek 2 Rp18.800 per kilogram.

Melesatnya harga minyak goreng menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat, terutama para pedagang yang aktivitasnya bertumpu pada bahan pangan ini. Mereka harus memilih antara menaikkan harga jual atau memangkas keuntungan demi menarik pelanggan. Lantas, mengapa harga minyak goreng semakin melambung? Mengapa pula pemerintah seolah tak bisa mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri? Bagaimanakah konsep Islam dalam mengelola pertanian maupun perkebunan?

Melonjaknya Harga Minyak Goreng

Terangkatnya harga minyak goreng di negeri ini sebenarnya sudah terjadi sepanjang tahun 2021 ini. Hanya saja, lonjakan harga yang begitu fantastis justru baru dirasakan publik akhir-akhir ini. Berkaitan dengan melambungnya harga minyak goreng, Oke Nurwan selaku Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, menyebut melejitnya harga minyak goreng disebabkan beberapa faktor, di antaranya;
Pertama, bahan baku. Harga crude palm oil (CPO) sebagai komponen minyak goreng mengalami kenaikan di seluruh dunia, akibat menyusutnya pasokan crude palm oil (CPO) dari Malaysia sebanyak 8%. Hal ini memungkinkan produksi CPO dalam negeri juga menurun dari target 49 juta ton menjadi 47 juta ton. Selain itu, pasokan CPO di Kanada juga menyusut sebanyak 6%. Padahal, Kanada merupakan penyuplai bahan baku minyak canola.

Kedua, adanya krisis energi yang dialami beberapa negara seperti Cina, India dan negara-negara Eropa. Hal ini berefek pada meningkatnya permintaan CPO, sebab CPO merupakan komponen bahan baku dari biodiesel yang digunakan sebagai energi alternatif dalam mengatasi krisis energi.

Ketiga, belum terafiliasinya produsen minyak goreng Indonesia dengan kebun sawit produsen CPO. Imbasnya, produsen minyak goreng terikat dengan harga CPO global. Sehingga, ketika harga CPO melonjak, otomatis harga minyak goreng curah dan kemasan ikut terangkat. (tempo.co, 25/11/2021)

Produsen Sawit Terbesar

Melambungnya harga minyak goreng menjadi sebuah ironi, mengingat Indonesia merupakan produsen sawit nomor satu di dunia. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), jumlah ekspor minyak sawit Indonesia tahun 2020 mencapai 37,3 juta ton dengan pangsa pasar mencapai 55 persen. Selain itu, krisis energi yang dialami Cina dan India ternyata mendongkrak ekspor produk minyak sawit Indonesia pada Agustus 2021 hingga mencapai 4,274 juta ton, meningkat sebesar 1,53 juta ton dibanding Juli 2021. Total ekspor sawit Indonesia periode Januari-Agustus tahun ini tembus sebesar 22,79 juta ton. Sehingga, berkontribusi menambah devisa negara sebanyak USD26,3 miliar atau Rp380 triliun.(katadata.co.id, 10/10/2021)

Keberhasilan tersebut dikarenakan besarnya potensi lahan sawit  yang ada di negeri ini. Pada 2020, lahan kelapa sawit di Indonesia tercatat sekitar 16,38 juta hektare dan berhasil mengantongi hasil produksi sawit sebanyak 47,40 juta ton pada tahun 2019 hingga Januari 2020. Sementara, periode Januari-Agustus 2021 produksi sawit Indonesia tercatat 33,6 juta ton. (katadata.co.id, 8/10/2021)

Menanti Kebijakan Pemerintah

Terlepas dari kenaikan harga minyak goreng akibat meroketnya harga CPO global maupun krisis energi, anggota Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasluddin, justru mendesak Satgas Pangan untuk membereskan mafia dan kartel pangan kebutuhan pokok yang disinyalir berperan dalam memainkan harga minyak goreng hingga melambung akhir-akhir ini. Hal itu, terlihat dari besarnya volume minyak goreng yang diekspor ke luar negeri hingga berimbas pada menyusutnya pasokan dalam negeri. Andi juga mendorong pemerintah untuk menggulirkan kebijakan bagi produsen sawit agar lebih banyak menyuplai pasokan minyak goreng ke dalam negeri. Karena, meningkatnya harga minyak goreng akan membebani masyarakat. (poskota.id, 3/11/2021)

Sungguh ironis, ketika harga minyak goreng terus menanjak akhir-akhir ini, bahkan melebihi harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Padahal, Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia, namun rakyatnya justru ‘kepanasan’ dengan harga minyak goreng kian ‘mendidih’. Dengan produksi sawit yang begitu tinggi, seharusnya pemerintah bisa mengendalikan harga minyak goreng dalam negeri, bukan malah mengikuti mekanisme pasar global. Ditambah lagi, adanya krisis energi dunia ternyata dimanfaatkan oleh para mafia, kartel pangan hingga pengusaha sawit untuk mendulang profit pribadinya.

Lihat saja, bagaimana ekspor kelapa sawit meningkat sebesar 55,8% selama bulan Agustus lalu hingga berdampak pada menyusutnya pasokan minyak goreng dalam negeri. Lebih miris lagi, ketika komoditas kelapa sawit periode Januari-Agustus 2021 begitu banyak berkontribusi terhadap devisa negara, namun di saat yang sama rakyat justru kesulitan dengan melambungnya harga minyak goreng, terutama para pedagang kecil yang menggantungkan aktivitas perdagangannya pada minyak goreng. Sebab, bagaimana pun juga minyak sawit merupakan salah satu kebutuhan vital masyarakat yang tak mungkin disubstitusi dengan minyak makan lain, karena harganya yang lebih ekonomis. Selain itu, meskipun pemerintah berdalih pasokan minyak goreng dalam negeri dalam keadaan terkendali, namun tetap saja hal tersebut tidak mampu menstabilkan harga eceran minyak goreng. Sungguh, tren kenaikan harga minyak goreng ibarat hantaman baru bagi masyarakat setelah melandainya hantaman pandemi Covid-19.

Tersandera Ekonomi Kapitalis Neoliberal

Pada faktanya, persoalan naiknya harga bahan pangan tak bisa dilepaskan dari buruknya mekanisme dan tata kelola masalah pangan di negeri ini. Penguasa dalam saat ini tidak berdiri sebagai pelayan rakyat, namun hanya berperan sebagai komprador yang menjembatani kepentingan para kapitalis dengan rakyat. Semua pengurusan rakyat, termasuk pengelolaan bahan pangan sawit disodorkan kepada para korporasi, baik lokal maupun luar. Begitu pula, kebijakan pangan yang digulirkan hari ini tak mampu mengendalikan kebijakan ekspor serta pasokan komoditas sawit yang dapat memihak rakyat, justru malah semakin mengalirkan keuntungan kepada para pengusaha beserta oknum-oknum yang terlibat.

Lihatlah, bagaimana pemerintah memanjakan pengusaha sawit dengan relaksasi pajak ekspor, kampanye positif sawit di luar negeri, kelonggaran perizinan hingga rekomendasi pembentukan RSPO serta insentif peralihan produksi minyak sawit menjadi biodiesel.

Selain itu, negara juga sudah tersandera dengan berbagai aturan perdagangan dan perjanjian global sebagai konsekuensi merumpunnya Indonesia dalam keluarga internasional. Sehingga, harga komoditas strategis hari ini, termasuk harga CPO tidak lagi ditentukan berdasarkan hukum supply and demand, tetapi dipatok berdasarkan mekanisme pasar global yang dikuasai para spekulan. Alhasil, negara benar-benar tak berkutik dalam menetapkan harga pangan di dalam negeri, rakyat pun seolah mati di lumbung padi. Maka, tak berlebihan jika dikatakan biang keladi di balik gonjang ganjing harga minyak goreng saat ini adalah bertenggernya sistem ekonomi kapitalis neoliberal yang memandulkan peran politik negara. Sehingga, pengelolaan pangan yang merupakan kebutuhan pokok manusia begitu zalim dan menyengsarakan petani sebagai pengelola serta rakyat sebagai konsumen.

Konsep Pengelolaan Lahan Pertanian dan Perkebunan dalam Islam

Semua permasalahan terkait tata kelola komoditas sawit akan tetap ada ketika negara masih menerapkan konsep kapitalis neoliberal. Oleh karena itu, solusi fundamentalnya adalah merombak mekanisme dan pengaturan masalah pangan dengan sistem yang sahih, yakni Khilafah Islam. Sehingga, peran politik negara dapat kembali berjalan sesuai dengan track yang benar, yaitu sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.”

Paradigma dan konsep ekonomi Islam bagaikan langit dan bumi, jika dibandingkan dengan sistem kapitalis neoliberal hari ini. Konsep pengelolaan lahan dan pertanian atau perkebunan dalam Islam bertumpu pada terwujudnya ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat. Pengaturan ini wajib berada di tangan negara dari hulu hingga ke hilir. Pertanian wajib dikelola berdasarkan prinsip syariat Islam. Dalam aspek produksi, Khilafah akan mengambil kebijakan di antaranya :

Pertama, memberlakukan hukum pertanahan sesuai aturan Islam. Dasar pertanian atau perkebunan dalam Islam adalah lahan. Islam memberlakukan syariat terkait kepemilikan lahan atau perkebunan sesuai dengan pengelolaannya. Siapa saja yang mampu mengelola tanah, maka dia berhak memilikinya seluas apa pun. Sebaliknya, jika tidak mampu mengelola, maka hilanglah kepemilikannya.
Dalam Islam, ada tiga hukum terkait lahan, yakni hukum menghidupkan tanah mati, larangan menelantarkan lahan lebih dari tiga tahun, dan larangan menyewakan lahan pertanian. Ketiga hukum ini menjamin terdistribusinya lahan kepada individu yang mampu mengelola lahan dengan optimal, sehingga mencegah adanya lahan-lahan yang menganggur.

Kedua, memaksimalkan pengelolaan lahan. Khilafah akan memberi dukungan maksimal kepada petani dengan penyediaan saprodi, infrastruktur penunjang, modal, teknologi dan sebagainya. Khilafah juga akan mengembangkan pelaksanaan riset oleh pendidikan tinggi atau pun lembaga riset untuk menghasilkan bibit unggul serta berbagai teknologi dan inovasi yang dibutuhkan petani. Semua kebutuhan anggaran ditopang penuh oleh Baitul Mal Khilafah.

Ketiga, aspek distribusi. Khilafah akan menciptakan mekanisme pasar yang sehat dengan memberangus distorsi pasar, seperti unsur penipuan, rekayasa permintaan, penawaran, pasokan barang, tekanan dan keterpaksaan antara kedua belah pihak. Khilafah juga akan mengawasi penentuan harga berdasar mekanisme pasar, melenyapkan berbagai pungutan pajak barang, serta mengawasi para penjual yang melakukan kecurangan pasar dengan dibarengi ketegasan hukum sesuai dengan sanksi dalam Islam. Seluruh aktivitas negara di tingkat produksi, distribusi atau konsumsi merupakan pelayanan, bukan komersialisasi. Oleh sebab itu, negara tidak akan memaksa pengelola tanah memproduksi sebuah komoditas dengan jumlah tertentu untuk diekspor demi mendapatkan keuntungan.

Dalam hal perdagangan luar negeri, Khilafah wajib mengikuti syariat Islam dan memprioritaskan kemaslahatan kaum muslimin. Khilafah akan berdiri sebagai eksekutor perdagangan luar negerix baik oleh individu atau pun negara. Seluruh pelaksanaan tersebut dilakukan dengan meninjau status negara yang menjadi mitra ekspor dan impor. Negara juga akan mempertimbangkan urgensitas sebuah komoditas, diperlukan oleh masyarakat atau tidak. Semua ini dilakukan dalam rangka meminimalisasi dan mencegah lonjakan harga kebutuhan pokok masyarakat.

Demikianlah politik ekonomi Islam yang dijalankan oleh Khilafah. Sistem pemerintahan yang amanah sebagai pelayan serta pelindung rakyat, menjadi jaminan bagi berjalannya sektor pertanian dan perkebunan yang dinamis dan terus tumbuh, sehingga gejolak harga bahan pangan akan dapat teratasi dengan tuntas. Saatnya kita membumikan penerapan syariat Islam secara kaffah, sehingga dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok serta mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat.
Wa’allahu A’lam Bish Shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Renita Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Makhluk Kecil-Mu Pengingat Diri
Next
Wacana "Robotisasi PNS", Solusi untuk Birokrasi?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram