"Penyebab utama konflik agraria negeri ini diakibatkan oleh amburadulnya sistem dan administrasi pertanahan. Sehingga, kepastian hukum atas hak tanah sangat minim."
Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Istilah mafia tanah tengah naik daun di media cetak dan elektronik seiring dengan terbongkarnya berbagai kasus pertanahan akhir-akhir ini. Merajalelanya praktik mafia tanah bukan hanya meresahkan, tetapi juga merugikan bangsa dan negara. Berbagai upaya telah dilakukan penguasa demi memberangus mafia tanah, namun nyatanya praktik culas ini masih tetap eksis tak terkendali. Hal ini seolah membuktikan bobroknya sistem dan administrasi pertanahan dalam naungan sistem hari ini.
Sebagaimana diberitakan dari viva.co.id (11/11/2021), Laksamana Muda (Laksda), Nazali Lempo, selaku Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI membongkar praktik mafia tanah di daerah Kelapa Gading yang mengklaim 32 hektare tanah milik TNI AL dan 8,5 hektare tanah milik seorang warga bernama Yudi Astono di Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara. Tanah tersebut diklaim oleh seorang mafia tanah bernama Muhamad Fuad per tanggal 15 April 1953, menggunakan Gross Akte Eigendom Verponding Nomor 849 dan Nomor 850. Diduga surat tersebut non-identik alias palsu berdasarkan hasil uji Labkrim Publabfor Bareskrim Mabes Polri.
Permasalahan agraria di negeri ini memang tak pernah luput dari peran mafia tanah sebagai aktor utama di dalamnya. Beragam problematika seperti sengketa, konflik serta perkara agraria dan pertanahan selalu mencuat tiap tahun seolah tak berujung. Pertanyaannya, mengapa praktik mafia tanah begitu subur di negeri ini? Bagaimanakah mekanisme Islam dalam mengatur permasalahan pertanahan?
Persekutuan Mafia Tanah
Merajalelanya sindikat mafia tanah ini dapat terlihat dengan mencuatnya berbagai kasus di sepanjang tahun 2021. Sebut saja, kasus mafia tanah yang menimpa keluarga besar mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal, beberapa bulan lalu, serta kasus yang dialami ibunda Nirina Zubir yang mengalami kerugian Rp17 miliar akhir-akhir ini. Menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) kasus yang ditengarai sebagai mafia tanah di Indonesia dari tahun 2018 hingga 2021 sebanyak 242 kasus. (cnnindonesia.com, 2/6/2021)
Para mafia tanah ini biasanya mencaplok tanah maupun bangunan orang lain melalui proses peralihan dengan dokumen palsu, seperti jual beli dan hibah. Selain itu, mereka juga beroperasi dengan berburu legalitas di pengadilan, menyabotase suatu perkara dan menyasar penduduk legal tanpa hak. Mereka juga berkomplot dengan oknum aparat demi mengantongi legalitas, melakukan penipuan dan penggelapan, mengimitasi kuasa pengurusan hak atas tanah, dan sebagainya.
Maraknya mafia tanah ini mengindikasikan bahwa tanah telah menjadi aset instrumen investasi serta komoditas ekonomi yang dapat diperjualbelikan dengan mudah, namun dengan pencatatan yang buruk. Lebih dari itu, tanah telah menjelma menjadi perangkat yang menciptakan celah agregasi lebih menguntungkan, ketika penataan tata ruang juga disetir oleh pasar dan modal. Sehingga, para mafia tanah hari ini tidak hanya berkutat pada pemalsuan administrasi, tetapi juga menghasilkan mafia tanah lanjutan yang dapat menyulap tata ruang, pemutihan terhadap penyelewengan tata ruang, hingga arah proyek infrastruktur yang semakin memuluskan komersialisasi atas transformasi ruang yang terjadi. (kompas.com, 5/3/2021)
Keterlibatan Penyelenggara Negara
Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil, menyatakan banyak kasus mafia tanah berhubungan dengan tindak pidana korupsi, terkait aset BUMN, aset negara serta aparat pemerintah (ASN) yang berkolaborasi dengan oknum tertentu. Menurutnya, ada oknum dari BPN yang terseret dalam praktik mafia tanah dan pihaknya akan memberikan sanksi yang tegas terhadap hal tersebut. Sofyan juga menambahkan, saat ini mafia tanah semakin sulit diberantas jika perkara tersebut telah menjadi sengketa dan masuk ke pengadilan. Terlebih, jika kasusnya sudah lama. Namun, pihaknya bersama Satgas antimafia tanah akan terus bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengatasi masalah ini sesuai dengan mandat Presiden Joko Widodo demi menggulung para mafia tanah. (cnbcindonesia.com, 19/11/2021)
Sementara itu, Dewi Kartika selaku Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak Kementerian ATR/BPN dan Polri untuk melakukan pembersihan struktur pada dua lembaga negara itu. Lantaran, terdapat dugaan permainan ‘orang dalam’ yang berimbas banyaknya sertifikat ganda menyebar di masyarakat. Dewi juga melihat, beberapa faktor penyebab eksisnya sindikat mafia tanah, yakni pertama, administrasi yang tidak transparan. Kedua, tertutupnya informasi terkait pertanahan sehingga menyulitkan pembuktian karena data yang minim. Hal inilah yang menyebabkan mafia tanah semakin leluasa melancarkan aksinya. Selain itu, Panja Mafia Tanah juga akan fokus memberangus mafia tanah dan mendorong Kementerian ATR/BPN untuk melakukan pembenahan pegawai yang terlibat praktik mafia tanah serta memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.(liputan6.com, 11/11/2021)
Lemahnya Pengawasan Pemerintah
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah, menakar lemahnya pengawasan pemerintah sehingga praktik mafia tanah masih konsisten beraksi di tengah masyarakat. Birokrasi negeri ini sangat mudah diintervensi, baik di Kementerian ATR/BPN hingga Pemprov dan Pemda. Kualitas SDM aparat penyelenggara negara hingga oknum-oknum pejabat bermental bisnis dan hanya ingin mencari keuntungan, bukan mental pelayan. Dirinya juga menambahkan praktik mafia tanah sudah lumrah ditemukan di BPN, karena lemahnya reformasi birokrasi di lembaga tersebut. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2021 menyebut, jika ada ASN yang terindikasi melakukan pelanggaran bisa langsung dipecat tanpa harus PTUN. (liputan6.com, 11/11/2021)
Peliknya problematika pertanahan hari ini tak bisa dilepaskan dari keterlibatan mafia tanah yang melakukan aksinya secara terorganisasi dan terstruktur. Kejahatan mereka seringkali sulit terendus oleh hukum, sebab mereka menjadikan penegakan dan pelayanan hukum sebagai tameng pribadinya. Para mafia tanah ini begitu mudah melancarkan operasinya dengan cara permufakatan jahat sehingga mengakibatkan konflik, sengketa dan perkara pertanahan yang merugikan orang lain sebagai pemilik sah tanah, bahkan hingga merugikan negara. Begitu licinnya mereka memanfaatkan celah yang ada, baik dari sisi penegakan hukum, administrasi ataupun abainya masyarakat terhadap tanah pribadinya. Tak aneh, praktik mafia tanah semakin subur di negeri ini.
Selain itu, komitmen pemerintah dalam membasmi mafia tanah dengan dibentuknya Satgas antimafia tanah, nyatanya belum bisa mengakhiri praktik mafia tanah. Sebab, pada faktanya semua pihak yang terlibat dengan mafia tanah memiliki peran vital serta mental yang bobrok. Mereka hanya mementingkan keuntungan pribadinya. Tengok saja, bagaimana praktik mafia tanah ini telah menggurita ke berbagai elemen dari hulu hingga ke hilir, termasuk oknum pengadilan. Ditambah lagi, dengan semrawutnya administrasi yang semakin memuluskan kejahatan mereka. Imbasnya, masyarakatlah yang harus kembali dirugikan.
Amburadulnya Sistem Administrasi Pertanahan Kapitalis
Pada kenyataannya, penyebab utama konflik agraria negeri ini diakibatkan oleh amburadulnya sistem dan administrasi pertanahan. Sehingga, kepastian hukum atas hak tanah sangat minim. Merajalelanya praktik korupsi dan penyelewengan jabatan dalam administrasi penetapan status hak tanah, baik itu hak milik, hak guna usaha hingga hak guna bangunan inilah yang menumbuhsuburkan praktik mafia pertahanan yang menjerumuskan oknum pejabat pertanahan, pemerintahan hingga pengusaha.
Begitu pula, lemahnya penegakan hukum masalah pertanahan yang ada hari ini begitu terlihat dari keberpihakan aparat penegak hukum kepada pihak yang lebih berkuasa. Alhasil, lahirlah derivasi dampaknya seperti sertifikat ganda, penguasaan lahan secara sepihak oleh para korporat, penggusaran tanah-tanah masyarakat sebagai pemilik yang sah demi pembangunan infrastruktur maupun real estate, hingga penggusuran untuk kepentingan umum dengan kompensasi yang tidak layak, bahkan sering kali tanpa adanya kompensasi. Semua ini pada akhirnya menyebabkan ketimpangan kepemilikan tanah makin menganga. Banyak masyarakat kehilangan tanahnya, sementara jutaan hektar tanah dikuasai oleh segelintir elite kapitalis. Meskipun kenyataannya, tanah tersebut dibiarkan terlantar selama bertahun-tahun tanpa adanya pengelolaan.
Inilah dampak nyata dari penerapan sistem kapitalis di negeri ini. Dalam sistem ini peran negara kian mandul dalam meri'ayah rakyatnya, sementara para kapitalis diberi ruang berusaha sebesar-besarnya. Wajar, peran negara kian lemah dan malah makin mempertontonkan keberpihakannya pada pengelola kapital. Apalagi, adanya cuan yang menggiurkan oknum pejabat mata duitan, membuat mereka menjadi komplotan yang mencaplok tanah milik orang lain.
Islam Mengatur Masalah Pertanahan
Maka dari itu, untuk menggulung mafia tanah dan mengakhiri masalah pertanahan selama ini, tak akan bisa diberantas hanya dengan transparansi maupun pembenahan individu pegawai pemerintah saja. Tetapi, harus direvisi secara komprehensif terkait bagaimana penetapan hak atas tanah, menentukan sistem administrasi yang mapan serta menciptakan masyarakat Islam yang melahirkan individu masyarakat maupun pejabat negara yang amanah. Semua ini hanya bisa dilakukan ketika negara membenahi seluruh perangkat pemerintahannya dengan sistem Islam, yakni Khilafah.
Islam selalu menghendaki pengurusan umat oleh penguasa sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Bukhari dan Muslim, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” Hal ini termasuk pengelolaan pertanahan, sehingga potensi terjadinya sengketa di tengah masyarakat dapat dihilangkan. Sebab, kebutuhan individu atas tanah berbeda-beda, maka tidak mungkin menyamakan semuanya.
Dalam Islam, kepemilikan tanah atau penguasaan lahan ditentukan oleh produktivitas tanah. Salah satu sebab kepemilikan tanah dalam pengaturan sistem Islam adalah terkait menghidupkan tanah mati (ihyaul mawat). Menghidupkan tanah sama artinya dengan memakmurkannya, menjadikan tanah layak untuk lahan pertanian, membuat bangunan di atasnya, atau apa pun yang menunjukkan bukti kemakmuran tanah. Dalam HR Ahmad, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”
Ketika tanah dimiliki oleh orang yang malas atau lemah, maka tanah tersebut akan kehilangan produktivitasnya, karena tidak dikelola dengan baik. Sehingga, jika ada individu yang mampu berproduksi di atas lahan tersebut, maka dialah yang berhak memilikinya. Demikian pula, ketika seseorang tidak mampu mengelola dan berproduksi, maka dia tidak berhak atas tanah tersebut.
Dalam sejarah pemerintahan Islam, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khatab telah menjadikan masa penguasaan tanah seseorang adalah tiga tahun. Ketika tanah itu dibiarkan telantar hingga habis masa tiga tahun, kemudian tanah tersebut dihidupkan oleh orang lain, maka individu yang menghidupkan tanah inilah yang berhak atas tanah tersebut. Kebijakan Khalifah Umar ini disaksikan oleh para sahabat dan mereka pun tidak mengingkarinya. Sehingga, ketetapan ini menjadi ijmak sahabat dalam masalah kemampuan pengelolaan tanah menjadi produktif, sehingga peluang terjadinya sengketa lahan dapat dihindari.
Demikianlah pengaturan pengelolaan tanah dalam sistem Islam yang sesuai dengan fitrah dan menjauhkan manusia dari persengketaan yang berpotensi memunculkan kezaliman. Alih-alih arogansi para pemburu rente dan kapitalis. Marilah kita perjuangkan penerapan syariat Islam kaffah dalam institusi Khilafah. Sehingga, dapat terwujud pengaturan pertanahan yang memberikan keadilan bagi semua pihak, begitu pun oknum pejabat yang dihasilkan adalah individu yang amanah dalam tugasnya.
Wa’allahu A’lam bish shawwab[]