Selain itu, negara akan memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya. Sehingga, tercukupi kebutuhannya baik secara primer, sekunder hingga tersier. Dan setiap akhir masa jabatannya, harus mengikuti ketetapan kebijakan perhitungan kekayaan aparatur negara dari sebelum dan setelah selesai masa jabatan.
Oleh : Ageng Kartika (Pemerhati Sosial)
NarasiPost.Com — KPK beraksi kembali setelah sekian lama tertidur. Menteri KKP, Edhy Prabowo terjaring OTT dengan dugaan gratifikasi. Atas kasus izin ekspor beniu lobster. Edhy langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Pada awal penetapan kebijakan ekspor benih lobster (benur) oleh Edhy Prabowo telah menimbulkan kontroversi. Susi Pudjiastuti telah menjelaskan regulasi pelarangan ekspor benur pada masa kepemimpinannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Yaitu untuk menyelamatkan populasi dan habitat dari benih-benih tersebut dan tidak mengganggu pendapatan nelayan karena penjualan lobster dewasa justru memiliki nilai jual yang tinggi.
Ternyata, seiring jalannya regulasi baru, dibukanya keran ekspor benur ini tidak sesuai dengan tujuan awal dari Edhy Prabowo. Dimana, hendak menyejahterakan rakyat terutama nelayan dengan membuka peluang untuk budidaya benih benur. Yang terjadi, regulasi ini dibuat untuk menambah pundi-pundi kekayaan pribadi dengan jalan menerima suap (gratifikasi). Kemudahan penetapan izin para eksportir yang tidak transparan. Serta monopoli bagi satu perusahaan kargo. Menunjukkan kesalahan dalam pelaksanaan ekspor benur. Hal ini dibenarkan oleh Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menteri Kelautan dan Perikanan ad interim. (m.cnnindonesia.com, 28/11/2020)
Kementerian KKP dinilai telah abai pada program yang lain. Menyangkut pengelolaan dan penanganan potensi kekayaan laut lainnya. Hanya regulasi yang membuka peluang korup saja yang menjadi prioritas dalam programnya. Hal ini membuktikan, bahwa kebijakan ekspor benur ini berkelindan dengan pejabat korup.
Potensi kekayaan laut yang besar dari perairan Indonesia belum optimal dalam pengelolaannya. Baik dari peningkatan sumber daya manusia, infrastruktur dan teknologi. Konsistensi aturan belum menyentuh ke perbaikan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat. Terutama nelayan dan pesisir di sekitarnya. Hal ini menggambarkan sengkarut penanganan potensi kekayaan laut.
Perubahan kebijakan yang terjadi di dalam demokrasi merupakan kewajaran. Karena tidak memiliki pijakan mendasar dalam pengelolaan dan pengaturan negara. Perubahan kebijakan disesuaikan dengan pergantian menteri dan kepentingan di dalamnya. Akibatnya, kesalahan dalam pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan tersebut sering terjadi. Apalagi pemangku kebijakannya memiliki jiwa korup.
Slogan berantas korupsi selalu menggaung di setiap kampanye-kampanye. Namun, korupsi tetaplah subur bak jamur di musim hujan. Lalu, adakah solusi tuntas untuk memberantas tindak korupsi, suap dan lainnya ini?
Islam tidak hanya sebagai agama spiritual. Namun, juga merupakan agama politik. Maka, Islam telah memiliki aturan yang jelas agar pemangku kebijakan terhindar dari tindakan korupsi selama menjabat.
Pemerintahan Islam berdiri atas asas akidah Islam. Maka setiap aparatur negara dan kebijakan yang dikeluarkan harus sesuai dengan asas negara. Memiliki ketaatan kepada Sang Khalik menjadi pijakan mendasar dalam membuat dan menetapkan kebijakan bagi rakyat. Dengan demikian, akan ada kontrol diri yang kuat agar terhindar dari penyalahgunaan wewenang.
Sebagaimana firman Allah Swt. yanga artinya ;
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa, 4:59)
Selain itu, negara akan memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya. Sehingga, tercukupi kebutuhannya baik secara primer, sekunder hingga tersier. Dan setiap akhir masa jabatannya, harus mengikuti ketetapan kebijakan perhitungan kekayaan aparatur negara dari sebelum dan setelah selesai masa jabatan. Maka, jika ada selisih yang tidak dapat dijelaskan dengan baik atau berasal dari sumber yang tidak masuk akal, tugas Khalifah sebagai kepala negara untuk merampasnya. Dan mengembalikannya ke kas baitul mal.
Hukuman diberlakukan bagi pelaku tindak korupsi yang ditetapkan dalam bentuk berbagai macam. Sanksi tersebut bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Hukuman positif ini berlaku bagi semua aparatur negara yang menyelewengkan wewenangnya tanpa kecuali. Apakah besar atau kecil kerugian yang ditimpakan kepada negara.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dibuat kebijakan bagi aparatur negara dengan menghitung kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Jika terdapat selisih dan tidak mampu menjelaskan sumbernya, maka tak segan-segan beliau merampasnya. Untuk memudahkan pengawasannya, diangkat pengawas khusus. Pada masa itu ditugaskanlah Muhammad bin Maslamah, untuk mengawasi kekayaan para aparatur negara. Pada masa kepemimpinannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis untuk menghindari konflik kepentingan.
Dengan cara demikian, maka bisa dipastikan peluang untuk melakukan korupsi tertutup rapat. Sebab, selain aturan yang ketat, juga para aparatur negara menjabat berdasarkan keimanan dan ketakwaannya pada Allah. Jadi, dengan demikian maka sangat mungkin korupsi itu hampir mustah ada dalam sistem Islam.
Harapannya, umat kian terbuka pemikirannya bahwa Islam solusi dari segala permasalahan dalam kehidupan dengan diterapkannya sistem Islam dalam naungan khilafah. Wallahu'alam bishawab []