Demokrasi menyuburkan mental korup, penyakit ini dibuat sendiri oleh sistem yang diterapkan saat ini. Solusi mengobati penyakit tersebut tak lain adalah dengan mengganti sistem yang menyebabkan mental korup tumbuh subur.
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag (Kontributor media dan pemerhati kebijakan publik)
NarasiPost.Com — Tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Korupsi Sedunia. Ironinya, korupsi terus menerus terjadi. Bahkan, tak segan-segan dilakukan di masa pandemi. Jika sebelumnya korupsi izin ekspor lobster, kini dana bansos covid-19 pun jadi korban. Entah dimana nurani para menteri, padahal rakyat sangat membutuhkan bantuan tersebut.
Benarlah ungkapan Goenawan Mohamad, "titik bahaya dari korupsi tak cuma dilihat persentase kebocoran uang, tapi juga dari menipisnya kepercayaan kepada bersihnya aparatur negara secara keseluruhan."
Lagi, korupsi dilakukan oleh pejabat tinggi negeri. Mensos Juliari diduga melakukan korupsi pengadaan bantun sosial (bansos) penanganan covid-19. Status tersangka ini turut menjerat pejabat Kemensos dan sejumlah pihak yang menjadi pemberi suap. Berawal dari pengadaan bansos penanganan covid-19, berupa paket sembako di Kemensos RI tahun 2020. Nilainya sekitar Rp5,9 Triliun, total sebanyak 272 kontrak dan dilaksanakan dua periode. (CNNIndonesia, 7/12/20).
Mensos menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan. KPK mengungkap ada kesepakatan fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus. Untuk fee tiap paket bansos, disepakati sebesar Rp10.000 per paket sembako dari nilai Rp300.000 per paket bansos yang akan diterima Juliari. Total fee yang didapat Rp17 M dari dua periode. KPK membuat wacana hukuman mati bagi menteri yang korupsi bansos.
Miris, saat rakyat dilanda musibah wabah tapi pejabat tinggi negeri sibuk mencari celah korupsi. Padahal, mereka memiliki gaji tetap tiap bulan, dibanding rakyat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja tak menentu. Pemerintah pun mengalami defisit dalam menangani pandemi, hingga harus berutang ke beberapa negara.
Kasus korupsi selalu berulang dalam sistem demokrasi, apa yang sebenarnya yang salah? Apakah gaji mereka kurang atau gaya hidup mereka yang berlebihan. Terlebih, saat ini yang dikorupsi adalah bansos yang sangat dibutuhkan rakyat. Dimana hati nurani mereka, hingga harus melakukan tindakan zalim tersebut. Demokrasi bagian dari sistem kapitalisme yang tak bisa dipisahkan, dengan sekulerisme sebagai asasnya yaitu pemisahan agama dari kehidupan dan negara.
Maka konsekuensinya adalah jangan bawa-bawa agama dalam kehidupan dan pemerintahan. Agama cukup di mesjid, gereja dan tempat ibadah lainnya. Tak heran, jika dalam melaksanakan amanah sebagai pejabat negara tak memedulikan halal-haram. Bagi mereka sah melakukan apa saja, terlebih budaya materialistik begitu mengakar dalam sistem kapitalisme. Para pejabat berpikir bagaimana caranya menghasilkan materi dan bisa mengambil keuntungan dari rakyat bukan menjadi pelayan rakyat.
Semua tahu mahalnya hidup di alam demokrasi, untuk menjadi pejabat negeri banyak modal yang harus dikeluarkan. Modal tersebut bukan hanya dari kontestan pemilu atau pilkada saja, namun ada bantuan dari para pemilik modal yang memiliki kepentingan. Oleh karenanya, kemenangan pemilu atau politik, sarat akan kepentingan politik dari para pemodal. Ada modal yang dikeluarkan, maka ada timbal balik balas budi yang harus dilakukan selama nanti menjabat di pemerintahan. Sibuk mencari keuntungan dari rakyat adalah konsekuensi logis dan hal biasa bagi mereka.
Rakyat pun menjadi kian apatis dengan kinerja pemerintah. Wajar jika hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia, menyatakan bahwa tren persepsi publik tentang korupsi di Indonesia meningkat dalam 2 tahun terakhir. Hasil survei tersebut 45,6% responden, hampir 50% angka yang patut diperhitungkan. (newsdetik.com, 6/12/20).
Kasus korupsi marak terjadi jelang pilkada kemarin, 9 Desember 2020. Praktik dan trik yang biasa dilakukan dalam demokrasi ialah saling menjatuhkan lawan politik. Korupsi yang dilakukan seseorang dari parpol tertentu, akan membuat opini jatuhnya pamor parpol tersebut. Sehingga, membuat rakyat tak lagi percaya pada parpol tempat kadernya melakukan korupsi. Padahal, bisa jadi hampir semua terjebak melakukan korupsi, hanya belum Allah buka semua para pelakunya.
Demokrasi menyuburkan mental korup, penyakit ini dibuat sendiri oleh sistem yang diterapkan saat ini. Solusi mengobati penyakit tersebut tak lain adalah dengan mengganti sistem yang menyebabkan mental korup tumbuh subur. Dengan sistem yang menyehatkan mental dan akidah, sehingga kehidupan bisa berjalan normal sesuai fitrah manusia. Sistem yabg berasal dari Allah Swt, zat yang menciptakan alam semesta dan mengatur kehidupan ini dengan baik dan sempurna.
Islam memiliki aturan yang lengkap dan jelas. Berkaitan dengan kesejahteraan diatur dengan sistem ekonomi Islam. Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok warga negara per kepala, karena hal tersebut tanggung jawab penguasa terhadap rakyat. Dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Dorongan melakukannya semata akidah dan berharap mendapat ridha-Nya.
Untuk kebutuhan kolektif yaitu keamanan, pendidikan dan kesehatan negara juga menjamin bagi seluruh warga negara baik muslim ataupun kafir dzimmy. Negara membantu membuka lapangan pekerjaan, membantu dari sisi modal dan apa saja yang dibutuhkan warganya. Jika kesejahteraan dirasakan, tak ada celah untuk melakukan korupsi. Rakyat dan penguasa sama-sama memiliki self control yaitu akidah, suasana diliputi dengan aktifitas amar makruf nahi munkar sebagai tanda sayang karena Allah.
Negara pun mengondisikan agar keimanan tetap 'on' sehingga suasana taat dan patuh pada perintah Allah menjadi prioritas. Pandangannya jauh ke negeri akhirat, tak terlena dengan kehidupan dunia yang fana penuh fatamorgana. Keuangan negara diatur dengan baik, pemasukan dan pengeluaran dikelola melalui Baitul Mal (kas negara).
Pemasukan dari harta kepemilikan umum dan negara, fa'i, kharaj, jizyah, zakat, dan sebagainya. Begitu pun dengan pengeluarannya, pos kepemilikan umum misalnya untuk tenaga pekerja di dalam daulah dan hal yang tak terduga seperti bencana, pandemi, dan semisalnya. (Sistem Keuangan Daulah)
Tak ada aturan yang sempurna selain dari Dzat yang Maha Sempurna yaitu Allah. Lalu, masihkah berharap pada aturan manusia yang serba lemah dan terbatas. Demokrasi yang diterapkan di negeri-negeri kaum muslim telah nyata rusak dan merusak. Saatnya umat Islam kembali pada fitrahnya, tunduk dan patuh hanya pada aturan Allah sebagai konsekuensi keimanan. Jalan yang menyelamatkan di dunia dan akhirat. Wallahu'alam bishawab []