Kedudukan perempuan di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya saat ini masih berada di posisi yang “tidak jelas”. Tidak adanya jaminan penghidupan yang layak serta ketidakjelasan aturan dan batas-batas peran perempuan dalam kehidupan menimbulkan ketimpangan status sosial, pendidikan dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan.
Oleh. Trisna AB
(Aktivis Muslimah)
NarasiPost.Com-“Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’. Rasulullah memberikan jawaban dengan ucapan ‘Ibumu’ sampai diulangi tiga kali, baru kemudian yang keempat Nabi mengatakan ‘Ayahmu’.”
(HR.Bukhari no. 5971dan Muslim no. 2548).
Hadist di atas menggambarkan bagaimana mulianya kedudukan seorang perempuan di dalam Islam -dalam hal ini adalah seorang ibu-. Namun apa jadinya ketika Islam tidak lagi menjadi pelindung kaum perempuan dengan sebab tidak diterapkannya hukum Islam di tengah masyarakat. Hilangnya hak-hak perempuan, terabainya kesejahteraan serta tingginya angka kekerasan yang menimpa perempuan menjadi masalah krusial di berbagai belahan dunia.
Kedudukan perempuan di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya saat ini masih berada di posisi yang “tidak jelas”. Tidak adanya jaminan penghidupan yang layak serta ketidakjelasan aturan dan batas-batas peran perempuan dalam kehidupan menimbulkan ketimpangan status sosial, pendidikan dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam acara Girls Leadership Class, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan berdasarkan hasil studi Bank Dunia, ada lebih dari 150 negara memiliki aturan yang justru membuat hidup perempuan menjadi susah. Ia mengatakan posisi perempuan cenderung terkungkung dengan norma kebiasaan budaya dan agama yang mendudukan posisi perempuan menjadi tidak selalu jelas. Meskipun demikian kondisinya, Ia berharap perempuan pantang menyerah dalam mencapai cita-cintanya (kompas.com, 20/12/2020).
Atas dasar ini, para pemimpin negara juga aktivis kesetaraan gender di dunia termasuk Indonesia mengerahkan berbagai program yang bersampul manis seperti “pemberdayaan perempuan”,”hak-hak perempuan”, dan “keadilan gender”. Bahkan mereka gigih menggaungkan diadopsinya program-program yang seolah membela perempuan dan menjadikannya sebagai peraturan negara. Hal tersebut digadang-gadang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan memberikan hak-hak bagi perempuan.
Padahal jika ditelisik lebih dalam, akar dari problem yang dihadapi perempuan adalah diterapkannya sistem demokrasi-kapitalisme. Telah nyata bahwa sistem tersebut telah gagal menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi perempuan. Di samping itu sistem kapitalis meniscayakan negara berlepas tangan atas tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.
Bagaimana tidak? sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh negara justru diberikan kepada pihak swasta/asing. Sudah menjadi rahasia umum, hal ini dilakukan sebagai “balas budi” atas modal yang didapat ketika hendak meraih kekuasaan. Bukan hanya itu, “bonus” didatangkannya tenaga kerja asing (TKA) semakin mempersempit gerak anak negeri terutama kaum laki-laki dalam memperoleh pekerjaan.
Lebih parahnya lagi, sistem sekuler-kapitalisme memanfaatkan kondisi semacam ini untuk menggiring perempuan ke ranah publik. Dengan dalih perempuan mempunyai andil dalam pemulihan ekonomi, terlebih di masa pandemi sekarang. Bukannya membuka lebar kesempatan bekerja bagi laki-laki, justru pengusaha lebih memilih memperkerjakan kaum perempuan karena diangap lebih gigih dan tangguh dibanding laki-laki.
Sebagai contoh PT.Amartha Mikro Fintek, sebuah perusahaan pendanaan yang fokus dengan pemberdayaan perempuan dan pendampingan usaha. Pada tanggal 22 Desember lalu yang bertepatan dengan hari ibu, Amartha meluncurkan kampanye #Saatnya Perempuan. Amartha ingin mengajak seluruh perempuan untuk saling bekerjasama dan membangun kohesi sosial, baik dari sisi pendana, mitra dan masyarakat (kontan.co.id, 22/12/2020).
Padahal merambahnya perempuan ke dunia kerja berakibat pada terabaikannya tugas utama seorang perempuan, yaitu sebagai ibu pencetak generasi dan pengatur rumah tangga. Tugas yang harusnya dilakukan dengan maksimal baik dalam penanaman akidah anak maupun sebagai seorang istri menjadi ala kadarnya. Sehingga munculah fenomena kenakalan anak-anak remaja, pergaulan bebas, narkoba, dan lain-lain. Tak hanya itu, meningkatnya penghasilan istri lebih daripada suaminya, sering kali menjadi pemicu permasalahan yang berujung pada perceraian.
Dari sini nampak jelas bahwasannya sistem demokrasi-kapitalisme yang membelenggu negeri-negeri Muslim khususnya Indonesia telah gagal memberikan kesejahteraan dan kemuliaan kepada kaum perempuan secara hakiki. Bahkan dengan sengaja sistem ini menarik perempuan ke dalam lingkaran setan kapitalisme yang justru berujung pada timbulnya bermacam kemudaratan bagi perempuan dan generasi.
Lain halnya dengan Islam, Islam diturunkan bukan hanya sebagai agama spiritual saja melainkan sebuah sistem hidup yang paripurna dari Sang Pencipta. Di dalam sistem Islam, pemimpin negara (Khilafah) berkewajiban menjamin terciptanya kesejahteraan warga secara menyeluruh termasuk perempuan. Kedudukan perempuan dalam khilafah sangat mulia. Urusan pemenuhan kebutuhan pokok tidak dibebankan kepada perempuan melainkan menjadi tanggungan para suami, anak laki-laki dan wali dari perempuan tersebut. Namun apabila ketiganya tersebut tidak dapat memenuhi -dengan ketentuan hukum syara- maka tanggung jawab akan diambil alih oleh negara.
Khilafah mendorong kaum laki-laki yang sudah baligh dan berakal untuk berusaha mencapai pemenuhan kebutuhan keluarganya. Dibukanya lapangan pekerjaan secara luas oleh khilafah akan mengurangi bahkan menghilangkan angka pengangguran kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan dalam Islam, negara tidak diperbolehkan menyerahkan SDA yang nilainya tak terbatas kepada pihak swasta/asing. Sehingga negara dapat mengelola dengan maksimal SDA yang tersedia dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok sehari-hari, tentu saja akan menjadikan kaum ibu tetap fokus pada tugasnya sebagai pendidik generasi dan pengatur rumah tangga. Di samping itu, sistem Islam menjamin kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan rakyatnya secara terjangkau bahkan gratis. Karena sesungguhnya sektor pendidikan, kesehatan dan keamanan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar yang dijamin sepenuhnya oleh negara. Dengan demikian tidak ada lagi kesenjangan ekonomi, keterbatasan pendidikan dan krisis keamanan bagi masyarakat, termasuk perempuan.
Maka dari sini jelaslah sudah bahwasanya hanya sistem Islam yang mampu menghilangkan kesenjangan kesejahteraan di tengah masyarakat termasuk perempuan, serta mengembalikan kemuliaan perempuan secara hakiki. Dan tentu saja hal tersebut akan terwujud jika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan dibawah naungan daulah khilafah Islamiyah.[]