Sampai kapan pun, boikot tanpa persatuan kaum muslim di bahwa institusi Khilafah tidak akan memberikan efek yang signifikan terhadap perekonomian Israel.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Meraki Literasi)
NarasiPost.Com-Saat Israel melakukan pemusnahan massal, memutus akses listrik, bantuan medis, air bersih, dan makanan ke jalur Gaza, saat yang sama McDonald’s, KFC, Pepsi, Nestle, dan Starbucks justru memberikan sumbangan dana ke Israel. Hal itulah yang memicu kecaman dan aksi boikot dari berbagai pihak. Tak hanya di Indonesia, seruan boikot produk Israel juga dilakukan secara massal oleh seluruh masyarakat internasional karena diyakini efektif untuk menekan perekonomian Israel.
Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur, selaku Ketua PBNU menyampaikan bahwa boikot produk Israel termasuk dalam “jihad damai” di era modern untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Untuk itu, kaum muslim tidak boleh membeli produk yang berhubungan dan mendukung Israel. Namun, Buya Rozi juga berpendapat bahwa masyarakat boleh membeli produk Israel selama alasannya bukan untuk mendukung Israel, misalnya alasan kualitas atau ekonomi.
Sama halnya dengan Ketua PBNU, KH Asrorun selaku Ketua MUI Bidang Fatwa menegaskan bahwa mendukung pihak Israel, baik langsung maupun tidak langsung, seperti membeli produk Israel hukumnya haram. Pernyataan ini berdasarkan Fatwa MUI No. 83 Tahun 2023 tentang Dukungan Hukum terhadap Perjuangan Palestina.
MUI juga mengimbau agar mendukung perjuangan Palestina dengan menggalang dana kemanusiaan, mendoakan kemenangan bagi mujahid, membaca qunut nazilah, dan melakukan doa gaib bagi para syuhada. Selain itu, mereka merekomendasikan pemerintah Indonesia agar mengambil langkah tegas melalui jalur diplomasi di PBB untuk memberikan sanksi terhadap Israel, dan mengonsolidasi negara-negara OKI untuk menekan Israel. (Republika.co.id, 11/11/2023)
Adanya seruan boikot terhadap produk dan pendukung Yahudi memang perlu didukung dan diapresiasi, akan tetapi benarkah langkah ini akan berdampak signifikan terhadap perekonomian entitas Israel?
Boikot Tidak Berdampak Signifikan?
Jika kita analisis lebih dalam, perekonomian Israel didukung oleh negara-negara Barat, seperti Amerika, Jerman, Inggris, Prancis, dan Italia, serta para penguasa dunia lainnya. Misalnya dari sisi perdagangan, produk buatan Yahudi atau para pendukungnya banyak sekali dikonsumsi oleh masyarakat dunia, terutama di Eropa dan negara-negara nonmuslim di Asia. Tidak perlu jauh-jauh, misalnya saja alat-alat elektronik, handphone, Facebook, Instagram, aneka produk makanan atau minuman, dll.
Berdasarkan data tahun 2020, total ekspor bangsa Yahudi di negeri-negeri muslim yang tergabung dalam OKI hanya 4% saja atau senilai US$50 miliar, sedangkan sebagian besarnya atau 55% diekspor ke Uni Eropa dan AS.
Berdasarkan data pada 2022, ekspor entitas Israel ke negara-negara Asia yang nonmuslim seperti Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan mencapai lebih dari US$16,5 miliar. Di mana jumlah ekspor (dari Israel ke Cina) mencapai US$4,6 miliar dan total impor (dari Cina ke Israel) berjumlah US$ 13,1 miliar (Republika.co.id, 11/11/2023).
Artinya, ekonomi Yahudi lebih banyak bergantung kepada negara-negara nonmuslim, sehingga boikot produk tidak akan membuat entitas Yahudi bangkrut. Dengan kata lain, boikot produk Israel dan pendukungnya, tidak mampu menghentikan pendudukan atau penjajahan yang dialami Palestina. Terlebih lagi, 34 dari 57 negara yang tergabung dalam OKI justru terikat hubungan ekonomi dengan Israel. Mirisnya lagi, Indonesia justru termasuk ke dalam jajaran dari 34 negara tersebut (Kumparan.com, 19/5/2021).
Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik, namun hubungan Indonesia dengan Israel termasuk hubungan bilateral, yakni mencakup hubungan dagang, pariwisata, dan keamanan. Dalam hubungan dagang, pada 2022, total impor Indonesia dari Israel meningkat dari tahun sebelumnya, yakni mencapai US$47,8 juta (CNBC Indonesia, 20/4/2023).
Berdasarkan data BPS selama Januari hingga September 2023, total impor komoditas peralatan mekanis dan mesin dari Israel ke Indonesia mencapai US$14,4 juta (CNBC Indonesia, 16/10/2023).
Berdasarkan fakta di atas, kita bisa simpulkan bahwa aksi boikot tidak akan berefek signifikan terhadap perekonomian Israel. Karena, usaha boikot hanya dilakukan oleh rakyat tanpa adanya dukungan dari pemangku kebijakan. Alhasil, semangat pemboikotan tersebut tidak dapat dilakukan dengan sempurna. Bahkan ditakutkan, seperti tahun-tahun sebelumnya, seruan ini akan menguap dengan sendirinya seiring redanya genosida yang terjadi di Palestina.
Berbagai Cara Telah Dilakukan
Realitasnya, mengakhiri kejahatan entitas Yahudi juga tidak bisa ditempuh dengan jalur politik sekularisme, misalnya melalui jalur PBB. Sebab kejahatan perang oleh Israel didukung oleh negara-negara adidaya dan AS akan selalu menggunakan hak vetonya untuk mendukung Israel. Misalnya, ketika Brasil dan 12 negara lainnya memberikan dukungan dengan menyerukan resolusi terkait kemanusiaan yang terjadi di Palestina, AS justru memveto agar dibatalkan, sementara Inggris dan Rusia abstain (18/10).
Sedangkan seruan bantuan kemanusiaan memang harus dilakukan, terutama untuk para korban di Palestina. Namun, sekadar mengirimkan bantuan dana, makanan, obat-obatan, dan pakaian hanya meringankan sedikit duka para korban, tetapi tidak mampu menghentikan kejahatan Zionis Yahudi. Alhasil, mereka berobat dan makan hanya untuk siap digenosida lagi. Bantuan kemanusia bisa dilakukan oleh tingkat individu atau masyarakat, sedangkan tingkat penguasa memiliki kapasitas lebih dari sekadar memberi bantuan logistik.
Pun mendoakan para pejuang Palestina merupakan sebuah bentuk ibadah ruhiyah (nonfisik) yang harus dibarengi dengan aktivitas fisik, yakni berjihad. Bukankah tawakal harus dibarengi dengan ikhtiar? Sebagaimana Rasulullah saw. yang berdoa untuk kemenangan perang, namun beliau tetap ikut bergabung di medan tempur. Logika sederhananya, perang fisik harus dibalas dengan fisik, sebaliknya perang pemikiran harus dibalas dengan perang pemikiran juga. Artinya, kekuatan militer yang besar harus dihadapi atau dikalahkan dengan kekuatan militer yang sepadan juga.
“Oleh sebab itu, barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (TQS. Al-Baqarah: 194)
Itulah mengapa, kaum muslim sangat membutuhkan institusi politik yang mampu menyatukan kita dalam satu ikatan akidah. Namun, melihat realitas politik saat ini, tidak mungkin penguasa negeri-negeri muslim dapat bersatu jika masih mempertahankan ideologi sekularisme dengan keegoisan nasionalismenya masing-masing. Lihatlah, bagaimana pemerintah Mesir hanya menjadi penonton dan bersiaga di Sinai ketika kaum muslim di Gaza mengalami genosida.
“Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan di hadapannya, tetapi tidak menolong mukmin tersebut, padahal dia mampu, Allah pasti akan menghinakan dirinya di hadapan seluruh makhluk-Nya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Oleh karena itu, para penguasa negeri-negeri muslim, terutama yang berdekatan dengan perbatasan Israel dan Palestina, berdosa jika membiarkan muslim Palestina sendirian melawan penjajah Israel.
Baca juga : https://narasipost.com/opini/10/2020/ajakan-boikot-produk-perancis-buah-iman-yang-terasa-manis/
Sejak deklarasi perang oleh PM Netanyahu terhadap Gaza, sambil berapi-api penguasa negeri-negeri muslim mengutuk dan mengecam entitas Israel. Namun, hingga saat ini, mereka tidak melakukan apa pun untuk mencegah pembantaian tersebut, sebaliknya mereka hanya bisa menyaksikan pertumpahan darah itu sambil menikmati kenyamanan istananya masing-masing.
Misalnya Presiden Erdogan, sampai sekarang tidak memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel maupun dengan AS. Sebaliknya, Erdogan justru berperan penting untuk memperkuat Israel dengan memasok minyak yang sangat dibutuhkan Israel. Minyak dialirkan dari Azerbaijan melalui pipa Baku Tbilisi Ceyhan untuk menggerakkan mesin perang Israel dan memastikan perdagangan bilateral senilai US$7,5 miliar (termasuk produk pertanian, mesin, dan produk kimia). Mirisnya lagi, semua ini dilakukan ketika Israel intens memutus pasokan air, medis, makanan, dan listrik warga Gaza (12/10).
Sikap presiden Turki tak ubahnya dengan penguasa negeri-negeri muslim lainnya, di mana pengecaman terhadap Israel dilakukan hanya untuk meredam tuntutan rakyatnya. Setelah melihat realitas politik saat ini, dapat disimpulkan bahwa akar masalah kaum muslim saat ini adalah akidah, batangnya adalah tidak diterapkan syariat Islam kaffah, dan ujungnya adalah masalah kepemimpinan. Maka agenda kita untuk membasmi penjajahan adalah menguatkan akidah umat agar mau menaati syariat Islam, dengan memberikan pemahaman dan kesadaran politik menuju persatuan di bawah satu komando.
Boikot Total
Entitas Yahudi dan negara-negara kafir yang mendukung Israel untuk memerangi dan membunuh kaum muslim, haram hukumnya untuk melakukan kerja sama perdagangan dan lainnya. Melakukan hubungan kerja sama dengan negara kafir penjajah (kafir harbi fi’lan) termasuk bentuk pengkhianatan terhadap muslim Palestina. Namun, akibat cengkeraman sekularisme, para penguasa negeri-negeri muslim justru melanggar hukum syarak dan menjalin kerja sama dengan negara kafir penjajah.
Oleh karena itu, hal yang pertama dilakukan adalah memboikot sekularisme beserta turunannya seperti kapitalisme, demokrasi, nasionalisme, dan pemikiran-pemikiran kufur lainnya dari dunia Islam. Penerapan pemahaman kufur inilah yang menjadi tembok penghalang kebangkitan Islam. Akibat sekularisme juga, hukum-hukum Allah Swt. tidak dapat diterapkan, dan telah menyebabkan penguasa kaum muslim menjalin hubungan diplomatik, bilateral maupun multilateral dengan negara penjajah di atas darah muslim Palestina. Alhasil, negeri-negeri Islam menjadi target jajahan negara adidaya dan objek permainan kepemimpinan ideologi asing.
Jika memang penguasa negeri-negeri muslim serius untuk menghentikan penjajahan yang dialami Palestina, maka jalan satu-satunya adalah mengusir penjajahnya. Salah satu cara yang dilakukan selain mengecam, dan boikot, negeri-negeri muslim bisa memblokade kebutuhan air dan minyak untuk Israel.
Jika memang penguasa negeri-negeri muslim serius ingin melumpuhkan perekonomian Israel, maka mereka bisa melakukan strategi berikut:
Pertama, memutus semua perjanjian damai dan hubungan diplomatik dengan Israel dan semua negara Eropa yang mendukungnya. Usir perwakilan negara penjajah dari tanah kaum muslim dan sita seluruh aset mereka. Misalnya Indonesia, harus mengambil alih sepenuhnya PT Freeport yang telah dikuasai Amerika, yang merupakan salah satu negara yang mendukung Israel.
Kedua, menghentikan segala hubungan bilateral, seperti hubungan dagang, budaya, keamanan, dan lain sebagainya. Misalnya, Turki yang menjadi mitra dagang terbesar ketiga bagi entitas Israel. Sementara UEA memfasilitasi lebih dari 140 penerbangan dalam seminggu untuk memperkuat hubungan dengan Israel. Semua bentuk hubungan ini harus dihapuskan dengan tegas. Pun pemerintah Yordania harus berani memutus pasokan air untuk Israel.
Ketiga, menghentikan segala jenis bantuan dengan memutus hubungan kontrak minyak dengan entitas Israel. Misalnya Kazakhstan, Nigeria, dan Azerbaijan yang menjadi pemasok minyak mentah sebesar 50% lebih ke entitas Israel.
Keempat, Pakistan harus berani mengancam akan memobilisasi dan menyebarkan pasukan senjata taktis dengan menyiapkan persenjataan nuklir strategisnya untuk menakuti negara penjajah.
Kelima, negeri-negeri Islam bersatu menghilangkan dominasi dolar Amerika atau mata uang negara penjajah lainnya, misalnya dengan memberlakukan dinar dan dirham.
Keenam, negeri-negeri Islam bersatu untuk tidak terlibat, bergabung, dan mengakui eksistensi organisasi global beserta hukum-hukumnya yang memiliki “standar ganda” dalam menyelesaikan kejahatan perang yang dilakukan Israel. Karena, PBB atau pun NATO adalah organisasi buatan Barat untuk melanggengkan neoimperialismenya di tubuh kaum muslim.
Sebagai negara, penguasa negeri-negeri muslim memiliki kekuatan untuk menggertak bahkan menghentikan kejahatan perang yang dilakukan Israel. Namun, akibat ketiadaan institusi yang menyatukan kaum muslim, mereka berubah menjadi pecundang yang menjadi kaki tangan Barat. Untuk itu, kehadiran Khilafah untuk menyatukan kembali seluruh kaum muslim bukan hanya kewajiban, namun juga menjadi solusi hakiki bagi permasalahan kaum muslim saat ini.
Khatimah
Sampai kapan pun, boikot tanpa persatuan kaum muslim di bahwa institusi Khilafah tidak akan memberikan efek yang signifikan terhadap perekonomian Israel. Sekadar boikot juga tidak dapat mengurangi duka Palestina, apalagi membuat mereka merdeka. Sebab antara rakyat dan pemimpin kaum muslim tidak pernah bersatu. Padahal, urusan Baitulmaqdis adalah masalah seluruh kaum muslim, baik rakyat dan pemimpinnya, hingga pasukan tentaranya.
Wallahu a’lam bishawab. []
Boikot hanya efektif jika yang melakukan adalah negara.
Boikot jangka pendek dan jangka panjang yg terbaik hanya dengan solusi tegakan Khilafah dan jihad
Setuju Pake banget Mba
Betul, secara umum boikot produk Zionis memang gak membawa solusi atas kemerdekaan Palestina. Ya, mungkin itu bentuk pembelaan kaum muslim secara individu maupun kelompok karena negara-negara malah berdiam diri.
Iya, bukti abainya negara, selalu kalah cepat dibanding dengan masyarakat dan ormas Islam. Rakyat beraksi, penguasa mati rasa
Setuju Mbak, boikot produk-produk Isr43l memang tidak bisa memberi pengaruh signifikan untuk melumpuhkan zionis dan menolong saudara muslim di Palestina. Yang lebih urgen lagi adalah boikot sekularisme dan turunannya. Tulisannya sangat mencerahkan umat, bahwa solusi utamanya adalah mengembalikan keberadaan perisai umat. Yakni khilafah yang akan menyatukan kaum muslim dengan satu komando jihad fisabilillah. Barakallah.
Boikot yang paling utama adalah ideologi kufurnya itu...Setuju Mba..
Boikot adalah sikap spontanitas umat Islam untuk menunjukkan solidaritas sesaat. Tetapi akar masalahnya tidak terselesaikan. Apalagi jika tidak didukung kebijakan negara yang tegas seperti melarang semua usaha yang berafiliasi dengan negara Yahudi tsb. Solusi tuntasnya dengan jihad dan khilafah.
saat genosida redah sesaat, seruan boikot juga akan menguap. Sebab, negara tetap menjalin hubungan dagang dengan Israel dan sekutunya
Boikot produk memang bisa berpengaruh. Tapi tak mampu menyelesaikan peperangan ini sebelum zionis Yahudi terusir dari Palestina
Iya Mba, karena akar masalahnya adalah penjajahan. Boikot hanya berpengaruh sedikit terhadap perekonomian Israel. Tapi, tetap harus diapresiasi dan didukung
tidak ada cara lain, kecuali penjajah pergi dari Palestina