Pidato pamer yang dilakukan Jokowi terkait keberhasilan Indonesia menangani karhutla dalam agenda COP26 ternyata jauh panggang dari api. Faktanya, potret alam Indonesia berbanding terbalik dengan pernyataan yang dilontarkan presiden. Bagaimana tidak, pemerintah seolah hanya mengutip data-data yang minim mengenai kondisi alam bumi pertiwi, tanpa ditopang dengan akurasi data yang mumpuni.
Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Konferensi iklim terbesar COP26 kini tengah menjadi sorotan di dunia internasional. Acara yang digawangi oleh PBB ini, menjadi ajang diskusi para punggawa dunia untuk menentukan berbagai strategi demi menekan suhu bumi serta membendung ancaman krisis iklim yang kian mengkhawatirkan. Dalam perhelatan tersebut, Presiden Joko Widodo didaulat sebagai salah satu pembicara yang mempresentasikan kesuksesan Indonesia dalam mengatasi kebakaran hutan.
Sebagaimana diwartakan dari cnnindonesia.com (2/11/2021), Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato yang berdurasi 4 menit pada KTT PBB terkait perubahan iklim (COP26) yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia. Dalam pidatonya, Jokowi membeberkan capaian Indonesia yang telah berhasil menurunkan laju deforestasi dalam dua puluh tahun terakhir, yakni sebanyak 82 persen penurunan kebakaran hutan terjadi pada 2020. Jokowi menambahkan, Indonesia juga telah merehabitasi lahan kritis sebanyak 3 juta ha pada 2010-2019. Selain itu, Indonesia mulai merehabilitasi hutan mangrove sebanyak 600 ribu ha hingga 2024. Sehingga, Indonesia akan mencapai karbon nett selambatnya tahun 2030.
Sekilas, pidato tersebut melegakan sekaligus membanggakan bagi Indonesia. Apalagi, sebagai negara yang terkenal dengan julukan paru-paru dunia, tentu hal ini menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia, karena telah sukses memulihkan kondisi lingkungan. Namun, benarkah Indonesia telah mencapai kemajuan dalam masalah deforestasi? Bagaimanakah sebenarnya kondisi hutan di Indonesia?
Perhelatan COP26, ‘Deadline’ Komitmen Perjanjian Paris
Perhelatan COP (Conference of The Parties) atau Konferensi Perubahan Iklim PBB merupakan konferensi iklim terbesar yang dihadiri sekitar 200 petinggi dunia. Dalam konferensi tersebut, mereka bertemu untuk berdiskusi dan menyetujui rencana-rencana dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Jika menilik sejarah, COP pertama kali diselenggarakan di Berlin pada tahun 1995. Sejak saat itu, konferensi ini digelar setiap tahun, kecuali tahun 2020 yang ditiadakan karena adanya pandemi Covid-19.
Tahun ini merupakan acara COP ke-26 dan digelar di Glasglow, Skotlandia dari 31 Oktober - 12 November 2021. Pertemuan COP26 digadang-gadang sebagai pertemuan paling urgen sejak COP21 yang diadakan di Paris tahun 2015 lalu. Di pertemuan COP21, sebanyak 191 petinggi negara meratifikasi Perjanjian Paris. Lewat perjanjian tersebut, mereka berjanji untuk menekan kenaikan suhu bumi pada rata-rata 2 derajat celcius, idealnya bahkan 1,5 derajat celcius. Beberapa negara kaya setuju untuk menyokong pendanaan dan teknologi bagi negara-negara lain untuk mempercepat perubahan. Ketika itu, di Paris semua negara yang hadir juga berkomitmen untuk mengembangkan strategi memangkas emisi karbon mereka, serta mempresentasikan rencana ini lima tahun kemudian. Ini yang disebut NDCs (Nationally Determine Contribution). COP26 adalah ‘deadline’ bagi semua negara yang terlibat untuk mempresentasikan rencana-rencana mereka sesuai janji dan target yang disepakati di Paris. COP26 menjadi krusial, karena berjalan atas dasar konsensus dengan harapan rencana dalam COP menjadi nyata. Empat negara akhirnya dipilih untuk menyampaikan pandangannya dan realisasi dari target mereka mengenai perubahan iklim, termasuk Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, selain menjelaskan keberhasilan Indonesia menangani kebakaran hutan, Jokowi juga menjabarkan tiga strateginya dalam mengukuhkan hutan sebagai salah satu elemen dari aksi iklim global. Pertama, memfokuskan perhatian pada semua jenis ekosistem hutan, mulai dari hutan tropis, hutan iklim hingga boreal. Kedua, pemberian insentif bagi pengelolaan hutan secara berkesinambungan, sesuai dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Ketiga, perlunya sokongan anggaran dan teknologi bagi negara berkembang sebagai pemilik hutan. Namun, Indonesia tetap konsisten mengatasi masalah lingkungan meski tanpa adanya dukungan dari internasional. Menurutnya, keberhasilan Indonesia dalam pengelolaan iklim dicapai dengan sinkronisasi parameter lingkungan dengan ekonomi dan sosial. Selain itu, mengutamakan kemitraan dengan masyarakat. (detik.com, 2/11/2021)
Kritikan Greenpeace Indonesia
Menanggapi isi pidato Presiden Joko Widodo mengenai perubahan iklim di COP26, Glasgow, Skotlandia, Greenpeace Indonesia menakar Indonesia semestinya memberi contoh bagi negara berkembang untuk mengakhiri ketergantungan terhadap energi kotor, merealisasikan nol deforestasi serta berlepas diri dari sokongan internasional.
Beberapa poin yang disorot oleh Greenpeace Indonesia pada pidato Jokowi, yakni pertama, pernyataan turunnya deforestasi selama 20 tahun terakhir. Kenyataannya deforestasi justru melesat dari 2,45 juta ha pada 2003-2011 menjadi 4,8 juta ha pada 2011-2019. Sedangkan, penyusutan deforestasi pada 2019-2021 tak lain akibat dari situasi sosial politik dan pandemi Covid-19, sehingga menghambat kegiatan pembukaan lahan. Kedua, klaim mengenai penurunan luas kebakaran hutan sebanyak 82 persen pada 2020. Greenpeace mengungkapkan, penurunan luas kebakaran hutan dan lahan pada 2020 sebanyak 296.942 ha dibanding 2019, salah satunya karena adanya fenomena La Nina, bukan hasil gebrakan pemerintah secara utuh. Ketiga, pernyataan pemerintah terkait rehabilitasi mangrove sebanyak 600 ribu ha pada 2024 dinilai Greenpeace sebagai rencana yang sangat hebat. Sayangnya, luas hutan mangrove yang rusak justru lebih besar mencapai 1,8 juta ha. Padahal, mangrove mempunyai fungsi ekologis penting untuk kawasan pesisir dalam menghadang ancaman krisi iklim. (detik.com, 3/11/2021)
Pidato pamer yang dilakukan Jokowi terkait keberhasilan Indonesia menangani karhutla dalam agenda COP26 ternyata jauh panggang dari api. Faktanya, potret alam Indonesia berbanding terbalik dengan pernyataan yang dilontarkan presiden. Bagaimana tidak, pemerintah seolah hanya mengutip data-data yang minim mengenai kondisi alam bumi pertiwi, tanpa ditopang dengan akurasi data yang mumpuni.
Jika dilihat, kebakaran hutan di Indonesia memang tampak menurun. Sayangnya, hal tersebut bukan karena keseriusan pemerintah dalam rangka melindungi hutan. Namun, karena adanya fenomena La Nina yang juga dibarengi dengan hantaman pandemi Covid-19. Sementara Indonesia, sama sekali tak melakukan regulasi apa pun untuk mengurangi kebakaran hutan. Lihat saja, bagaimana banyaknya perusahaan yang masih melakukan pembakaran hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat pada tahun 2021.
Sungguh miris, jika adanya klaim ini hanya sebagai topeng untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam merealisasikan target pemulihan lingkungan demi memperbaiki citra Indonesia di dunia internasional. Presiden merasa telah berhasil mengatasi karhutla di Indonesia, bahkan mengimbau negara lain mengikuti jejak yang sama. Padahal, semua itu hanyalah isapan jempol belaka.
Karhutla, Bukti Kerakusan Kapitalis
Sudah sejak lama tragedi karhutla menjadi bencana tahunan di negeri yang dijuluki paru-paru dunia ini. Kenyataannya, Indonesia tak akan pernah bisa lepas dari ‘teror’ karhutla selama negeri ini masih dikungkung dengan sistem kapitalis. Penguasa dalam sistem ini hanya menjadi “satpam” yang menjaga kepentingan para korporat. Pemberian hak konsesi oleh pemerintah kepada korporasi telah menjadikan hutan dan lahan gambut sebagai objek untuk dieksploitasi dan dikapitalisasi. Bayangkan saja, ketika hak pengelolaan jatuh ke tangan kapitalis, mereka akan melakukan pembukaan lahan dengan jalan membakar hutan. Sebab, ini merupakan strategi mereka dalam rangka meminimalisasi biaya produksi demi meraup profit maksimal. Sekali lagi, mereka tak akan peduli dampak deforestasi yang bakal mengganggu keseimbangan lingkungan, yang terpenting adalah ambisi mencari keuntungan.
Faktanya, sistem rusak inilah yang telah melahirkan berbagai krisis lingkungan yang tak kunjung usai. Adanya kebakaran hutan, banjir bandang, longsor, kekeringan dan bencana alam lain adalah dampak nyata dari kebebasan kepemilikan dan berlepas tangannya penguasa dalam pengelolaan hutan. Selamanya kemudaratan akan terus hadir ketika negeri ini masih dicengkeram rezim kapitalis neoliberal. Asas manfaat yang menjadi tolak ukur perbuatan dalam sistem ini, telah sukses mencetak sifat rakus sekaligus melenyapkan kepedulian terhadap sesama dan juga alam raya. Bahkan, pengelolaan hutan berdasarkan asas ini telah secara nyata merenggut keberkahan hutan sebagai paru-paru dunia, yang ada justru hutan berubah menjadi cerobong asap dunia. Sungguh, keserakahan kapitalis bukan hanya membuat rakyat menderita dan alam porak-poranda, tetapi juga merampas ketenangan hidup flora dan fauna lain karena kerusakan lingkungan yang kian mengkhawatirkan.
Pengelolaan Hutan dalam Islam
‘Teror’ karhutla akan sangat sulit dimusnahkan dalam sistem kapitalisme. Sebab, sistem ini telah melegalkan pengelolaan hutan kepada swasta yang bervisi kepentingan ekonomi semata. Selain itu, bencana karhutla hanyalah gejala kerusakan yang diakibatkan oleh paradigma rusak dan merusak. Maka, mengakhiri masalah karhutla tak cukup hanya dengan solusi teknis, tetapi harus melalui perombakan sistem pengaturan negara yang berlandaskan pada aturan Sang Pencipta, yakni Khilafah Islam.
Islam memiliki aturan paripurna untuk mengakhiri seluruh problematika kehidupan manusia, termasuk dalam hal pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan dalam Islam akan dilakukan secara optimal tanpa merusak lingkungan sekitar. Dalam pandangan Islam, hutan dan lahan gambut merupakan sumber daya alam yang terkategori sebagai kepemilikan umum, sehingga, tidak boleh dikuasai oleh individu atau asing. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu dawud, Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal : air, padang gembalaan dan api."
Maka dari itu, haram hukumnya bagi siapa pun untuk menyerahkan kepemilikannya pada korporasi atau individu dengan alasan apa pun. Negara dalam Islam wajib mengelola kekayaan alam tersebut dengan optimal. Bukan hanya agar umat dapat merasakan kemaslahatan dari pengelolaanya, tetapi juga keberkahannya dapat menaungi seluruh alam semesta. Selain itu, negara berkewajiban untuk mendidik dan membangun kesadaran umat dalam rangka merealisasikan kelestarian hutan serta manfaatnya untuk generasi masa depan.
Jika masih terjadi kebakaran hutan, maka negara akan memberlakukan mekanisme hukum yang menjerakan bagi pelaku. Penguasa dalam Islam akan sigap dalam mengurus urusan umat serta menjaga kemaslahatan mereka. Sebab, pemimpin dalam Islam berperan sebagai penanggung jawab urusan umat. Rasulullah saw. menegaskan dalam HR. Muslim yang berbunyi, “Imam adalah ibarat penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).”
Inilah paradigma Islam yang hari ini telah lenyap dalam benak kaum muslimin. Maka, paradigma ini harus segera kita kembalikan ke tengah-tengah kaum muslimin dengan jalan mendukung perjuangan penegakan hukum Islam dalam institusi Khilafah, sehingga umat dapat kembali menjalani kehidupan sesuai dengan fitrahnya. Begitu juga bumi sebagai tempat hidup manusia, akan terselamatkan dari kerusakan yang berpangkal dari kerakusan.
Wa’allahu A’lam Bish shawwab[]