"Sungguh miris, ketika pemerintah tetap ngotot menggulirkan kebijakan pelonggaran impor minol demi wisatawan asing ini. Padahal, keuntungan yang didapat dari bea cukai minol saja tak sebanding dengan kerugian yang bakal dialami negara."
Oleh. Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ironi hidup di negeri mayoritas muslim, namun negaranya diatur oleh sistem yang tak kenal Tuhan. Minol yang jelas-jelas diharamkan, begitu mudahnya dilegalkan atas nama konstitusi. Bahkan, dengan dalih mengundang wisatawan, regulasi impor minol makin dikendurkan. Hal ini seakan menegaskan kuatnya keberpihakan penguasa terhadap asing, dibanding memikirkan masa depan generasi.
Sebagaimana diberitakan dari cnnindonesia.com (8/11/2021), Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah mengubah kuota minuman beralkohol (minol) untuk warga yang berasal dari luar negeri dari sebelumnya sebanyak 1 liter menjadi 2,25 liter. Beleid tersebut termaktub dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2021 mengenai Kebijakan Pengaturan Impor. Penambahan kuota ini merevisi regulasi sebelumnya terkait Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014.
Tak terbayang, betapa semakin merajalelanya peredaran miras dengan adanya kelonggaran impor minol ini. Berbagai kalangan juga mempertanyakan bahaya di balik revisi impor minol ini, lantaran dianggap merugikan anak bangsa dan negara. Lantas, bagaimanakah sebenarnya dampak minol bagi masyarakat? Bagaimana pula Islam membabat habis minol hingga ke akarnya?
Latar Belakang Kebijakan Impor Minol
Problematik terkait pengawasan dan peredaran minol sudah lama menjadi pembahasan yang sensitif di negeri ini. Seperti diketahui, minol bertentangan dengan norma agama juga karakter bangsa Indonesia yang religius. Selain itu, produk minol juga telah banyak menelan korban jiwa serta menghasilkan dampak negatif yang begitu kompleks dan membahayakan masyarakat. Sayangnya, minol masih banyak diproduksi, diperjualbelikan dan diimpor secara ilegal, sedangkan penegakkan hukum negeri ini masih lemah. Berdasarkan hal ini, akhirnya pemerintah melakukan regulasi terkait pengadaan, peredaran dan penjualan produk minol.
Regulasi terkait impor minol ini sebenarnya telah mengalami beberapa kali perombakan. Mulai dari Permendag No. 20/MDAG/PER/4/2014 mengenai Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, demi merealisasikan ketentuan Perpres No.74 Tahun 2013 Pasal 9 mengenai Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Kemudian, Permendag ini juga beberapa kali direvisi dan diganti dengan Permendag Nomor 25 Tahun 2019 yang kemudian juga dicabut. Hingga akhirnya, regulasi impor minol teranyar dituangkan dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2021 mengenai Kebijakan Pengaturan Impor. Mengenai kuota impor minol, sebelumnya diatur dalam Permendag nomor 20 tahun 2014 pasal 27, yaitu setiap orang yang berasal dari luar negeri diperbolehkan membawa minol paling banyak 1 liter per orang dalam kemasan sekitar 180 ml. Pasal inilah yang kemudian direvisi, kuota impor minol wisatawan yang semula 1 liter menjadi 2,25 liter dalam regulasi terbaru impor minol. (kumparan.com, 7/11/2021)
Merugikan Anak Bangsa dan Negara
Menanggapi perubahan kuota impor minol pada beleid teranyar yang digulirkan Kemendag, KH Muhammad Cholil Nafis selaku Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, mendesak pemerintah agar membatalkan Permendag terbaru tersebut, demi menjaga akal sehat dan moral anak bangsa serta kerugian negara. Menurutnya, penambahan kuota impor minol tersebut bisa merugikan anak bangsa dan pendapatan negara. Beleid ini juga dianggap lebih memihak kepentingan wisatawan asing, ketimbang memikirkan nasib generasi dan negara. Dirinya juga mendesak agar RUU Minol segera dibahas dan diselesaikan.(economy.okezone.com, 7/11/2021)
Sementara itu, menurut Bhima Yudhistira selaku Direktur Center of Economic and Law Studies, kerugian negara yang diakibatkan oleh minol lebih besar daripada biaya cukai yang diperoleh negara. Berdasarkan kajian Montarat Thavorncharoensap pada 2009, perhitungan studi mengenai dampak ekonomi minuman alkohol akan menambah beban terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara sebanyak 0,45 persen hingga 5,44 persen. Maka, kerugian ekonomi akibat minol ini bisa mencapai Rp65,7 triliun hingga Rp256 triliun per tahun. Selain itu, minol juga berdampak tidak langsung pada masyarakat, di antaranya seperti penurunan produktivitas, kematian bayi prematur, naiknya biaya penahanan penjara akibat melesatnya kriminalitas, hingga risiko pensiun dini akibat penyakit yang merusak berbagai organ tubuh seperti jantung, otak, hati dan lainnya. (republika.com, 14/7/2021)
Wajar, jika Permendag terkait pelonggaran impor miras ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Sebab, keberadaan miras ini terbukti banyak menimbulkan kemudaratan, mulai dari segi agama, kesehatan, ekonomi hingga kehidupan sosial. Meskipun regulasi tersebut ditujukan untuk wisatawan asing, namun pada kenyataannya aturan tersebut bersifat umum, sehingga bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk masyarakat. Ditambah lagi, dengan lemahnya pengawasan pemerintah, memungkinkan minol makin merajalela di tengah masyarakat. Padahal, dampak buruk minol terbukti berbahaya bagi kehidupan. Lihat saja, bagaimana minol merusak akal sehat, mengancam kesehatan hingga memicu tindak kejahatan dan kekerasan.
Sungguh miris, ketika pemerintah tetap ngotot menggulirkan kebijakan pelonggaran impor minol demi wisatawan asing ini. Padahal, keuntungan yang didapat dari bea cukai minol saja tak sebanding dengan kerugian yang bakal dialami negara. Belum lagi, moral dan kesehatan anak bangsa yang juga dipertaruhkan dengan makin membludaknya produk minol. Semestinya pemerintah berpikir untuk memberantas peredaran minol, demi menyelamatkan anak bangsa dan juga perekonomian negara. Bukan malah makin memperlonggar regulasi minol yang jelas-jelas membuat negara makin terpuruk. Karena dengan eksisnya minol ini, bukan keuntungan yang didapat, justru kerugian negara makin berlipat.
Miras, Komoditas Ekonomi dalam Sistem Demokrasi Kapitalis
Sepertinya, punggawa negeri ini tak akan pernah mau mengabaikan sedikit pun profit yang didapatkan dari industri miras. Sebab, negara saat ini telah disetir oleh sistem demokrasi kapitalis. Penguasa dalam sistem ini hanya menjadi regulator yang menyerahkan pengaturan masyarakat pada mekanisme pasar bebas. Miras dalam pandangan ekonomi kapitalis merupakan produk yang boleh diperjualbelikan, karena diklaim dapat meningkatkan pendapatan negara. Maka, negara akan mengatur dan melegalkan peredarannya demi menstimulasi laju perekonomian. Jangan harap halal dan haram akan jadi rujukan dalam pengambilan kebijakan, sebab satu-satunya standar yang dijadikan patokan hanyalah manfaat semata. Mereka tak akan peduli dampak negatif yang ditimbulkan miras terhadap masyarakat. Selama masih ada yang menginginkan, maka keberadaan barang haram tersebut akan difasilitasi dan dilegalkan.
Faktanya, pelegalan miras telah menghasilkan petaka di tengah masyarakat. Berbagai sumber kejahatan dan kerusakan seperti pemerkosaan, pembunuhan, kecelakaan, perampokan hingga kejahatan lainnya adalah hasil nyata akibat minol yang dikonsumsi masyarakat. Selamanya, miras tak akan mungkin lenyap dari sistem demokrasi kapitalis. Sebab, pengaturan kehidupan dalam sistem ini hanya menyandarkan pada akal manusia dan standar profit semata. Asas manfaat yang melahirkan sikap individualis, nyatanya telah mematikan kepedulian terhadap sesama manusia. Dalam sistem ini, industri miras yang terbukti dapat menjerumuskan anak bangsa malah dilindungi oleh negara. Sementara perlindungan atas keselamatan dan masa depan generasi, justru diabaikan. Sungguh, pelegalan minol demi wisatawan bukan hanya bertentangan dengan norma agama, tetapi juga menambah keterpurukan negara serta kian menghancurkan anak bangsa.
Islam Tegas Mengharamkan Miras
Kekacauan negara akibat peredaran miras akan selamanya ada, ketika negeri masih dipimpin oleh penguasa yang tak taat syariat dan mengabaikan penerapan hukum Islam. Maka, dibutuhkan perombakan sistem yang dapat menjaga kebaikan dan menghilangkan ancaman miras dengan segala mudaratnya. Itulah sistem Khilafah Islam, dengan ketangguhan sistem bernegaranya telah terbukti dapat menjaga akal manusia serta menghasilkan kebaikan selama 14 abad lamanya.
Dalam Islam, miras (khamr) merupakan sesuatu yang menghasilkan banyak kemudaratan. Bahkan, Allah Swt. menegaskan aktivitas meminum khamr sebagai perbuatan setan. Dalam QS. Al-Maidah ayat 90, Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala serta mengundi nasib dengan panah merupakan perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.”
Kemudaratan miras tidak hanya merusak peminumnya saja, tetapi juga menimbulkan kerusakan bagi manusia lain. Sebab, mereka yang sudah terganggu akalnya karena konsumsi miras, berpeluang melakukan berbagai kejahatan. Tak aneh, jika Rasulullah saw. menilai khamr sebagai induk dari segala kejahatan. Dalam HR Ath-Thabarani, Rasulullah saw. bersabda, “Khamr adalah biang dari kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, dengan saudari ibunya dan saudari bapaknya.”
Melalui penerapan hukum Islam, semua hal yang terkait miras akan dilarang secara total. Mulai dari produsen dan pabrik miras, distributornya, penjual hingga peminumnya (konsumen). Dalam HR. At-Tirmidzi, “Rasulullah saw. telah melaknat terkait khamr sepuluh golongan, yakni pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pengantarnya, yang minta diantarkan, penuangnya, penjualnya, yang menikmati harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan.”
Sementara itu, berkaitan dengan sanksi bagi peminum khamr, maka Islam akan menerapkan sanksi berupa hukuman cambuk sebanyak 40 kali atau 80 kali bagi peminum miras. Hukuman ini akan menghasilkan efek jera dan mencegah perilaku yang sama dilakukan oleh yang lainnya. Dalam HR. Muslim, Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ”Rasulullah saw. mencambuk (peminum khamr) sebanyak 40 kali, Abu Bakar mencambuk peminum khamr sebanyak 40 kali dan Umar mencambuk peminum khamr sebanyak 80 kali. Masing-masing ini merupakan sunah. Ini adalah yang lebih aku sukai.”
Adapun sanksi Islam terhadap pihak selain peminum khamr maka akan dikenai sanksi takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Khalifah atau qadhi sesuai ketetapan syarak. Bagi produsen dan pengedar khamr, maka akan dikenai sanksi yang lebih keras dari peminum khamr, karena keberadaan mereka mudaratnya lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat.
Seperti inilah penerapan hukum Islam dan memberantas peredaran miras di tengah masyarakat. Islam jelas mengharamkan miras dan melarang total semua hal yang berhubungan dengan miras. Semua ini mustahil dapat diterapkan dalam sistem demokrasi kapitalis. Karena sistem ekonomi kapitalis hanya menjadikan manfaat sebagai landasannya, sehingga masyarakat akan selalu terancam dengan miras dan segala bahayanya. Sementara sistem Islam, pasti akan membawa kemaslahatan dan keberkahan bagi seluruh alam. Marilah kita perjuangkan penerapan hukum Islam secara kaffah, sehingga umat dapat terbebas dari segala kemaksiatan, menjadikan negeri ini penuh dengan keberkahan dan generasi pun dapat terselamatkan.
Wa’allahu A’lam Bish Shawwab[]
Begitulah Demokrasi kapitalis. Sistem rusak dan merusak . Rusak karena manusia bisa membuat mengangkangi hukum Allah. Merusak karena produk hukumnya membahayakan kehidupan manusia