Apa begitu sulit mencari seseorang yang memiliki komitmen untuk berjuang menyejahterakan rakyatnya? Mengapa putra-putri terbaik bangsa ini malah menjadi penonton di pinggiran?
Oleh: Ong Hwei Fang (Pemerhati Isu Politik)
NarasiPost.Com — Tim Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamankan 17 orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Rabu (25/11/2020) dini hari. Salah seorang yang ditangkap adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Penangkapan terhadap Menteri Edhy dan lainnya berdasarkan penugasan resmi dari pimpinan KPK. Bahkan, KPK menerjunkan lebih dari tiga kasatgas dalam operasi ini.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan belasan orang lainnya diamankan lantaran diduga terlibat tindak pidana korusi penetapan izin ekspor benih lobster atau benur. (Liputan6.com 25/11/2020).
Terlepas dari dugaan korupsi yang dilakukan oleh para elit politik tanah air, hal yang patut dipertanyakan, mengapa korupsi justru rawan menjangkiti para pejabat negeri? Ada apa dengan rasa malu hingga ribuan kasus pencurian hak rakyat terus berulang kembali?
Mengasah Ilmu Rasa Malu
Dalam berbagai kasus, terungkap begitu banyak para elite politik, politisi atau kepala daerah tersangkut masalah korupsi. Kehilangan rasa malu? Dalam konteks teologi, rasa malu itu bagian dari iman. Banyak pemimpin yang tak lagi punya rasa malu dalam menjalankan amanat yang diberikan kepadanya. Alhasil, rasa malu pun telah menjadi barang yang teramat langka di negeri ini.
Akibatnya, negeri ini terperosok dalam sebuah kondisi paradoksal. Di satu sisi, rakyat mengalami kelaparan. Namun di sisi lain, para pemimpin kekenyangan akibat kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Akibat dari kegemaran para elit mempertontonkan perilaku yang tidak pantas tersebut di hadapan publik. Pada gilirannya dapat membuat masyarakat semakin tidak percaya. Masyarakat dalam pemahaman yang sederhana, menilai elit politik tidak memahami aspirasi dan kebutuhan nyata masyarakat.
Padahal, pada saat elit politik berbicara soal pemberantasan korupsi, justru dalam berbagai kasus, terungkap begitu banyak para politisi yang tersangkut masalah korupsi. Itu semua terjadi karena sudah tidak punya rasa malu lagi, hingga mereka tidak berpikir ribuan kali untuk menipu rakyatnya dengan kalimat yang seolah menunjukkan keberpihakan kepada publik. Padahal, di balik itu semua, sejatinya para elite politik tengah memperjuangkan kepentingannya sendiri dan kelompoknya.
Atas kondisi itulah, terlihat bahwasanya krisis kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah dihadapi Indonesia dikarenakan telah hilangnya rasa malu dalam diri para elit dalam bersikap dan berperilaku. Hal ini tercermin dari perilaku elit politik yang lebih mengedepankan silang pendapat, perdebatan, konflik dan upaya untuk saling menyalahkan demi tercapainya kepentingan pribadi dan kelompok. Tanpa peduli dan menyadari keprihatinan rakyat.
Apa begitu sulit mencari seseorang yang memiliki komitmen untuk berjuang menyejahterakan rakyatnya? Mengapa putra-putri terbaik bangsa ini malah menjadi penonton di pinggiran? Sebenarnya, bangsa ini memiliki banyak putra-putri terbaik. Hanya saja, tidak punya private relationship dan connecting politic dengan kekuasaan. Mereka juga tidak memiliki gerbong jalur-jalur politik yang dapat digunakan untuk mendorong sampai pada tujuan. Hal ini didukung dengan kebobrokan politik, dimana untuk menang perlu kucuran dana yang besar.
Putra-putri terbaik ini harus mundur dari gelanggang pertempuran karena tidak punya uang. Mereka kalah dengan yang berkantong tebal dan berambisi menjadi pemimpin. Sehingga, tidaklah aneh jika beberapa saat menjabat sudah terjerat kasus korupsi. Dalam bahasa sederhana, para politisi terpilih tentunya harus mengembalikan dana yang sudah mereka keluarkan sewaktu pencalonannya.
Oleh karena itu, selama rasa malu tak lagi berada dalam diri politisi dan pejabat negara, negeri ini akan semakin terperosok lebih dalam lagi pada krisis kehidupan berbangsa dan bernegara. Ujung-ujungnya rakyat yang menjadi tumbalnya.
Jelas bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini tidak akan pernah bisa menghasilkan kebaikan dan kemajuan. Sebab, sistem yang dijalankan saat ini telah nyata-nyata menjauhkan umat dari harta miliknya yang paling berharga yaitu Akidah. Tanpa akidah yang benar, mustahil lahir rasa malu dari dalam diri manusia.
Karenanya, sistem ini kerap melahirkan pertentangan dan tidak pernah sungguh-sungguh mendapat dukungan dari rakyatnya. Lantas, bagaimana akan tercipta kebaikan dan kemajuan dalam sebuah masyarakat, bila sistem yang diterapkannya tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari rakyatnya? Wallahu a'lam.
Pictures by google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]