Hambat Syariat, Sikat Dana Umat?


Begitulah wajah kapitalisme. Agama hanya digunakan sebagai jalan untuk memuluskan berbagai kepentingan dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya, dengan risiko sekecil-kecilnya.


Oleh: Ummu Syanum (Anggota Komunitas Setajam Pena)

Narasipost.com -- Covid-19 di Indonesia saat ini benar-benar menimbulkan dampak di berbagai macam sektor. Salah satunya adalah bidang ekonomi yang menyebabkan Indonesia terancam resesi pada kuartal lll 2020. Hal ini tentu membuat pemerintah mencari cara untuk mengatasinya.

Seperti dilansir cnnindonesia.com (25/10/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membidik partisipasi pengumpulan dana wakaf yang lebih besar dari masyarakat kelas menengah Indonesia, khususnya generasi muda alias milenial. Ia menyebut kesadaran kalangan ini terhadap instrumen wakaf tengah meningkat, sehingga bisa dijadikan sumber keuangan baru untuk memenuhi pembiayaan dari dalam negeri.

Realisasi pengumpulan dana instrumen wakaf kalangan menengah Indonesia tahun ini senilai Rp 217 triliun, atau setara 3,4 % total Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini, menurut Sri Mulyani, bisa ditingkatkan sejalan dengan pertumbuhan penduduk kelas menengah di Indonesia yang saat ini mencapai 74 juta orang.

Lebih lanjut, instrumen wakaf saat ini sejatinya tidak hanya berupa tanah atau benda bergerak, tapi berkembang menjadi dengan sukuk alias surat utang negara. Sosialisasi wakaf tunai terintegrasi sukuk ini tengah dilakukan pemerintah agar semakin banyak peminatnya.

Berbagai cara dilakukan pemerintah, seperti mempersiapkan instrumen Cash Waqaf Linked Sukuk (dana abadi wakaf tunai), hingga Gerakan Nasional Wakaf Tunai (GNWT) yang dipelopori Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Beliau menyampaikan, dana abadi umat ini pokoknya tidak boleh berkurang, namun manfaatnya berkembang. Caranya? Dana yang notabene adalah donasi masyarakat luas itu akan dikembangkan melalui investasi dan kemudian hasilnya akan bermanfaat untuk peningkatan prasarana ibadah, pendidikan, dan kesejahteraan umum (liputan6.com,30/10/2020).

Cara ini dilakukan seolah pemerintah sudah kehabisan cara untuk menambah sumber pendapatan negara selain pajak dan utang. Maka tidak heran jika kini menyasar dana abadi umat dalam bentuk wakaf yang tentu menjadi alternatif dengan low risk (risiko rendah) dibanding dengan harus menambah utang baru.

Alasan pemerintah menjadikan ekonomi syariah sebagai jalan keluar ekonomi, tidak bermakna persetujuan terhadap pemberlakuan syariat secara total. Pemerintah melalui pejabat negaranya hanya mengambil manfaat atas pengelolaan keuangan syariah demi kepentingan tertentu. Jika dirasa sudah tidak dibutuhkan, syariat Islam akan ditinggalkan.

Begitulah wajah kapitalisme. Agama hanya digunakan sebagai jalan untuk memuluskan berbagai kepentingan dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya, dengan risiko sekecil-kecilnya.

Padahal permasalahan di negeri ini karena masih berpegang pada sistem ekonomi kapitalisme. Dimana sistem ini sangat rapuh karena dibangun dari struktur ekonomi semu, yakni ekonomi non riil. Yang mana dengan tekanan kecil saja ekonomi ini bisa meledak sewaktu-waktu. Apalagi saat ini negara dihadapkan pada wabah virus Covid-19.

Berbeda sekali dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam yang dibangun dari struktur ekonomi riil (sektor riil), tidak mencari bunga (riba) akan lebih bertahan terhadap krisis ekonomi global.

Pengaturan ekonomi dalam Islam diawali dengan pembagian kepemilikan ekonomi secara benar. Dimana dalam ekonomi Islam kepemilikan dibagi menjadi tiga yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dimana pembagian ini sangat penting agar tidak terjadi hegemoni ekonomi dimana pihak kuat menindas pihak yang lemah, atau hanya sekelompok orang kapitalis yang menguasai sumber daya ekonomi.

Sistem ekonomi Islam menjamin seluruh rakyat Indonesia akan terpenuhi semua kebutuhan dasarnya dan dapat meraih pemenuhan kebutuhan sekunder serta tersiernya. Begitu pula, seorang Muslim wajib masuk Islam secara kaffah, yaitu masuk ke dalam segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya. Karena Islam bukanlah ideologi prasmanan yang jika kita sukai dan menguntungkan kita ambil ajarannya, sedangkan yang tidak kita sukai dan tidak menguntungkan kita tinggalkan. Wallahu a'lam bishawab.[]

Picture Source by Getty Images

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Paradoks Kebebasan Berekspresi
Next
Bela Nabi Saw Wujud Keimanan, bukan Baperan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram