Di tengah kekecewaan pekerja terhadap berbagai regulasi yang membuat nasib mereka kian terpuruk, kebangkitan Partai Buruh seolah menemukan momentumnya. Apalagi menjelang kontestasi pemilu 2024, tentu saja Partai Buruh berharap dapat mengaet dukungan dari para pekerja, demi memuluskan langkahnya menuju parlemen. Namun, akankah nasib pekerja semakin baik dengan adanya Partai Buruh ini?
Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Disahkannya UU Ciptaker berbuntut panjang. Tidak hanya melahirkan perlawanan berbagai pihak, situasi ini juga memantik para pekerja untuk kembali membangkitkan Partai Buruh yang telah lama mati suri. Aspirasi politik para pekerja yang selama ini dilakukan melalui corong serikat, diklaim sebagai penyebab makin merananya nasib buruh. Tak pelak, bangkitnya Partai Buruh menjadi tumpuan asa bagi para pekerja, demi memperbaiki kehidupan tak manusiawi di bawah bayang-bayang korporasi hari ini.
Dilansir dari kompas.com (5/10/2021), sejumlah organisasi buruh telah menghidupkan kembali Partai Buruh melalui kongres di Jakarta pada Senin (5/10). Jabatan Ketua Umum Partai Buruh pada periode 2021-2026 dipegang oleh Said Iqbal selaku Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI). Iqbal mengungkapkan, adanya UU Omnibus Law merupakan pukulan telak bagi para pekerja, sehingga men-trigger reinkarnasi Partai Buruh. Dengan adanya Partai Buruh, diharapkan perjuangan para pekerja tidak lagi melalui aksi jalanan, tetapi dilakukan dengan jalur parlemen.
Di tengah kekecewaan pekerja terhadap berbagai regulasi yang membuat nasib mereka kian terpuruk, kebangkitan Partai Buruh seolah menemukan momentumnya. Apalagi menjelang kontestasi pemilu 2024, tentu saja Partai Buruh berharap dapat mengaet dukungan dari para pekerja, demi memuluskan langkahnya menuju parlemen. Namun, akankah nasib pekerja semakin baik dengan adanya Partai Buruh ini? Bagaimanakah perlakuan Islam terhadap para pekerja?
Lika-Liku Bangkitnya Partai Buruh
Reinkarnasi Partai Buruh awalnya bermula dari kekecewaan para pekerja, atas digulirkannya UU Cipta Kerja yang merupakan kekalahan telak bagi kaum buruh dalam hubungan industri. Selama ini pekerja memang tak memiliki jalur resmi dalam mengakomodasi aspirasinya. Mereka hanya menjadi aktor politik jalanan. Maka, pada momen menjelang Pemilu 2024 ini, sejumlah pengurus Partai Buruh lama dan beberapa serikat buruh menginisiasi dibentuknya Partai Buruh ‘reborn’. Said Iqbal akhirnya diangkat sebagai Presiden Partai Buruh 2021-2026. Tak hanya meneruskan eksistensi Partai Buruh 1998, Partai Buruh ‘reborn’ ini juga diklaim akan menjelma menjadi kekuatan politik penting yang mengantongi aspirasi dari pekerja, guru, nelayan, petani hingga kelompok perempuan.
Selain itu, Said beserta 11 serikat buruh lainnya mengungkapkan bahwa aksi jalanan yang selama ini dilakukan tak banyak membuahkan hasil, sehingga mereka harus melabuhkan delegasinya di parlemen. Secara ideologi, Partai Buruh akan mengemban ideologi pancasila dengan derivatnya yang terdiri dari tiga prinsip. Pertama, setiap orang memiliki kesempatan untuk hidup layak. Kedua, distribusi kekayaan yang merata. Masyarakat kelas atas boleh mereguk kekayaannya asal tidak menyusahkan masyarakat menengah dan bawah, sebab eksistensi Partai Buruh bukan untuk memecah-belah kelas. Ketiga, tanggung jawab publik. Berbagai program yang dirancang Partai Buruh untuk mengejawantahkan prinsip tersebut, yakni perluasan lapangan kerja, pemberian upah yang layak serta menentang PHK sepihak, jaminan sosial, pengaturan pajak, pemberantasan korupsi serta sejumlah program lain yang berkaitan dengan hubungan industrial.
Jika menilik sejarah, sebenarnya Partai Buruh bukanlah satu-satunya partai yang menggandeng para buruh di dalamnya. Pasca ambruknya Orde Baru, banyak serikat buruh yang mendirikan parpol untuk menyongsong Pemilu 1999. Sebut saja, Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI). Mereka semua mengakomodasi aspirasi buruh dalam panggung politik sepanjang pemerintahan Orde Baru. Sayangnya, suara yang mereka kantongi pada pemilu 1999, 2004 dan 2009 merosot jauh dari partai lain. Sehingga, pemilu 2014 menjadi pemilu perdana tanpa kehadiran partai ‘berbaju’ buruh. (voi.co.id, 5/10/2021)
Melihat rentetan kegagalan partai buruh sebelumnya, apakah Partai Buruh ‘reborn’ akan menciptakan gebrakan baru bagi panggung politik Indonesia? Akankah para pekerja Indonesia melabuhkan pilihannya pada Partai Buruh ‘reborn’?
Waspada Politik Praktis Hingga Isu Sayap ‘Kiri’
Menanggapi kebangkitan Partai Buruh, Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menakar peluang besar yang dimiliki para pekerja untuk membangkitkan Partai Buruh. Menurutnya, buruh bisa menjadi kekuatan politik dengan massa yang membludak jika ada kesatuan antarburuh di Indonesia. Sayangnya, saat ini kekuatan buruh tidak berada dalam satu wadah yang menggemukkan partainya. Buruh banyak terpencar dan tidak dalam kepentingan yang sama. Wajar, pada pemilu sebelumnya Partai Buruh selalu gagal melaju ke Senayan.
Sementara itu, Pengamat Politik LIPI, Wasisto Raharjo Jati, mengapresiasi kebangkitan Partai Buruh yang bukan berasal dari para elite melainkan bermula dari akar rumput. Namun, dirinya mengamati ada dua tantangan yang bakal menghadang Partai Buruh dalam kancah politik Indonesia. Pertama, kebutuhan akan adanya modal untuk bisa bertahan di arena politik. Kedua, kecenderungan ideologi buruh identik dengan ‘kiri’ yang banyak diartikan dengan komunisme dan sosialisme. (merdeka.com, 4/10/2021)
Menurut data BPS tahun 2020, jumlah pekerja formal dan nonformal Indonesia sebanyak 125,5 juta. Sayangnya, masih banyak buruh yang buta politik dan apolitis karena dogma politik yang kotor. Selain itu, lazimnya buruh identik dengan pekerja pabrik, sehingga banyak buruh yang merasa bukan buruh, seperti petani, nelayan dan guru honorer misalnya. Nasibnya yang tak diperjuangkan dan selalu menjadi objek penindasan para korporasi, menjadikan mereka antipati terhadap perjuangan politik. Alhasil, adanya Partai Buruh tetap saja sulit menggaet dukungan dari para buruh. Begitu pula, eksistensi para buruh dalam parpol yang kini bertengger di pemerintahan maupun di wilayah oposisi, semakin menambah terjal jalan Partai Buruh untuk melaju ke gedung DPR.
Selain itu, perlu diwaspadai adanya Partai Buruh yang justru menjadi corong politik praktis, demi memuluskan hasrat sebagian kalangan menuju tampuk kekuasaan. Demikian pula, rekam jejak perjuangan buruh yang memiliki hubungan ‘mesra’ dengan ideologi komunisme, membuat sebagian kalangan menyangsikan Partai Buruh bisa menuntaskan persoalan buruh. Alih-alih menyolusi, reinkarnasi partai buruh ini justru rawan ditunggangi ideologi sosialisme-komunisme.
Mekanisme Pasar Bebas Menyengsarakan Buruh
Kebangkitan Partai Buruh tak bisa dijadikan tumpuan asa para pekerja untuk mengubah nasib mereka. Sebab, pada faktanya negeri ini masih berada dalam genggaman sistem demokrasi kapitalis, yang tak akan mungkin memberikan kesejahteraan pada buruh. Penguasa saat ini adalah penguasa oligarki yang berlepas tangan terhadap permasalahan buruh dan menyerahkan permasalahan buruh pada mekanisme pasar bebas. Berbagai regulasi yang digulirkan hanya untuk memuluskan kepentingan para investor agar mereka tak angkat kaki dari negeri ini. Wajar, para kapitalis begitu digdaya dalam menentukan nasib para buruh yang menjadi bawahan mereka. Lihatlah, bagaimana penguasa menentukan upah minimum yang ditekan serendah-rendahnya, demi keuntungan fantastis para pengusaha.
Sementara itu, demi meredam amukan para buruh atas kezaliman upah, mereka dininabobokan dengan jaminan sosial, kebebasan berserikat, hak mogok yang sama sekali tak menyolusi. Sejatinya, masalah perburuhan ini akan terus menumpuk, selama sistem kapitalis menjadi landasan relasi antara buruh dan majikan. Sejumlah kebijakan tambal sulam untuk menyumbat kemarahan para buruh, nyatanya hanya untuk melanggengkan hegemoni para kapitalis. Maka dari itu, reinkarnasi Partai Buruh tak akan pernah bisa menjembatani peliknya permasalahan buruh selama ini. Karena, pangkal masalahnya adalah sistem kapitalis yang tak menganggap buruh sebagai manusia yang harus diupah dengan layak, melainkan hanya sebagai faktor produksi yang dapat mengokohkan dinasti bisnis mereka.
Kelayakan Upah Buruh dalam Islam
Jika sistem kapitalis terbukti tak mampu menggaji buruh dengan layak, hal ini berbeda dengan Islam yang memberikan jaminan kelayakan upah bagi pekerja sesuai dengan kualifikasinya. Islam memosisikan pekerja dan majikan setara. Keduanya memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan posisinya. Seorang majikan harus memberikan upah yang layak kepada pegawai sesuai dengan keahlian dan keterampilannya. Begitu juga sebaliknya, pegawai harus melaksanakan pekerjaan yang menjadi tangung jawabnya sesuai kontrak kerja yang ditetapkan.
Seorang majikan harus segera memberikan upah ketika pekerja telah menuntaskan pekerjaannya tepat waktu sesuai beban kerja mereka. Apabila majikan menunda, mengurangi bahkan tidak membayar upah, maka terkategori perbuatan zalim yang dapat mendatangkan kebencian dari Allah dan Rasul-Nya. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Majah dan at-Thabrani dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya. ”
Dalam Islam, standar gaji buruh adalah manfaat tenaga yang diberikan buruh kepada majikannya, bukan upah minimum. Sehingga, tidak akan terjadi eksploitasi oleh majikan. Buruh mendapat upah yang sepadan dengan jenis pekerjaan dan keahliannya dalam suatu pekerjaan. Jika terjadi persengketaan antara buruh dan majikan, maka akan diselesaikan oleh pakar atau negara sebagai penengah di antara keduanya. Penguasa dalam Islam tak akan menentukan UMR (upah minimum regional). Sebab, penetapan seperti ini sama saja dengan penetapan harga di pasaran, sehingga haram dilakukan.
Islam Memandang Hak Berserikat dan Serikat Pekerja
Berkaitan dengan hak berserikat bagi pekerja, hal ini diperbolehkan dalam Islam. Namun, Islam melarang para buruh untuk membentuk serikat buruh, sebab keduanya adalah hal yang berbeda. Hak berserikat adalah hak buruh untuk berkumpul yang dijamin oleh syara’. Sedangkan serikat buruh, aktivitasnya mengurusi kesejahteraan buruh yang sebenarnya adalah wewenang negara. Seharusnya negaralah yang berkewajiban memenuhi dan mengurusi urusan rakyatnya secara menyeluruh, bukan lembaga atau perserikatan yang dibentuk masyarakat.
Dengan demikian, semua solusi yang ditawarkan sistem kapitalis hari ini hanya akan menimbulkan masalah baru bagi buruh. Negara Islam adalah satu-satunya negara yang mengurusi urusan umat hingga tercapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat, termasuk buruh.
Sementara, sistem kapitalis hanya menguntungkan para pengusaha dan membuat buruh semakin merana. Oleh karena itu, marilah kita perjuangkan tegaknya institusi Islam yang akan menyelamatkan manusia dari cengkeraman kapitalisme, sehingga umat dapat hidup dalam keberkahan serta jauh dari kemelaratan.
Wallahu’alam Bish shawwab[]