Ruang Sesak Oligarki di Balik Megaproyek Ibu Kota Baru

"Aroma kepentingan oligarki begitu pekat terendus. Ditambah lagi, adanya sosok asing yang didaulat untuk menjadi dewan pengarah pembangunan IKN semakin menegaskan bahwa pembangunan proyek ini hanya menjadi bancakan para korporasi kelas kakap, baik tingkat lokal maupun internasional"

Oleh.Renita
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Keterpurukan negara akibat pandemi tampaknya tak menyurutkan langkah pemerintah untuk terus mengejawantahkan berbagai proyek ambisius mereka, salah satunya megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) baru. Meskipun sebelumnya sempat mandeg karena adanya penanganan pandemi, namun akhirnya persiapan IKN mulai memasuki babak baru.

Sebagaimana diberitakan dari liputan6.com (5/9/2021), Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, mengungkapkan persiapan IKN sudah mulai berjalan, mulai dari skema pembangunan hingga RUU IKN sudah disiapkan. Selanjutnya, tinggal dilakukan pembagian segmentasinya terkait waktu untuk memulai pengerjaannya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 telah dipaparkan rencana pemindahan ibu kota ini. Pengerjaannya sendiri diperkirakan akan memakan waktu hingga 15-20 tahun. Adapun persiapan yang dilakukan yakni membangun sarana penyelenggaraan pemerintahan di ibu kota baru serta kegiatan pembangkit ekonomi bagi IKN dan sekitarnya. Meskipun banyak pihak yang melontarkan kritik pedas terkait megaproyek ini, nyatanya semua itu tetap tak digubris oleh pemerintah. Pemerintah berdalih adanya megaproyek ini akan dapat mempercepat pemerataan ekonomi di Indonesia. Benarkan demikian?

Kilas Balik Wacana Pemindahan Ibu Kota

Awalnya megaproyek ini digaungkan pada 26 Agustus 2019, saat pertemuan di istana negara, Jokowi mengumumkan Kalimantan Timur yakni di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai lokasi ibu kota baru. Anggaran untuk pemindahan ibu kota ini diperkirakan mencapai Rp466 triliun dengan rincian sebanyak 19 persen akan ditanggung oleh APBN, sedangkan sisanya didapatkan melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan usaha (KPBU) serta investasi langsung dari swasta dan BUMN. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), luas ibu kota baru mencapai 180 hektare, yakni sebanyak 90 persen lahan pemerintah dan 10 persen lahan milik swasta. (Bisnis.tempo.co, 21/8/2021)

Adapun alasan yang melatarbelakangi pemindahan ibu kota negara, yakni pertama, beban DKI sudah semakin berat terkait kepadatan penduduk, parahnya kemacetan lalu lintas, polusi udara dan air yang harus segera diatasi. Kedua, kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa yang terus meningkat. Ketiga, mengubah mindset Jawa sentris menjadi Indonesia sentris. Keempat, ibu kota negara diharapkan dapat merepresentasikan kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila. Kelima, meningkatkan pengaturan pemerintah pusat yang efisien dan efektif. Keenam, meningkatkan daya saing regional maupun internasional dengan memiliki ibu kota yang menggagas konsep smart, green and beautifull city.(cnbcindonesia.com, 30/4/2019)

Saat ini persiapan ibu kota negara sudah dilakukan skema pembangunan melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), persiapan RUU IKN sudah selesai dibahas oleh kementerian/lembaga. Persiapan lain yang terus dimutakhirkan seperti desain Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) lengkap dengan penyesuaian pemindahan ASN, BIN,TNI, Polri dan skala detail dari permodelan untuk perumahan dan perkantoran. Selain itu, pembangunan fisik IKN sudah ditandai oleh Presiden Jokowi dengan menentukan sodetan tol ke IKN di kilometer 14 jalan tol Balikpapan-Samarinda. Pemerintah juga sedang melaksanakan pemetaan aset-aset negara seperti gedung, kementerian/lembaga yang akan dikontrakkan demi mendukung pendanaan IKN. (liputan6.com, 5/9/2021)

Proyek IKN Demi Kesejahteraan Rakyat, Benarkah?

Wacana megaproyek IKN terus mendapat kritikan dari berbagai pihak. Salah satunya Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Emil Salim, yang mempertanyakan sikap pemerintah tetap melanjutkan pembangunan IKN di tengah pandemi Covid-19 dengan anggaran yang fantastis. Padahal menurutnya, kondisi keuangan negara saat ini sedang tertekan akibat pandemi. (cnnindonesia.com, 27/8/2021)

Selain itu, megaproyek IKN juga tak banyak berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi makro. Hal ini disampaikan oleh M Rizal Taufikurahman selaku Head of Center of Macroeconomics and Finance Indef. Dirinya mengacu pada kajian Indef yang mengungkapkan IKN hanya berkontribusi sebesar 0,02 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional jangka pendek. Bahkan, dampak ekonomi jangka pendek bagi Kalimantan Timur sendiri hanya berkisar 6,83 persen. Menurutnya, ada hal yang perlu diprioritaskan saat ini, yakni penanganan pandemi Covid-19. (rmoljatim.id, 17/4/2021)

Di tengah kondisi ekonomi negara yang porak-poranda, pemerintah tetap bersikukuh untuk melanjutkan proyek pembangunan IKN. Padahal, anggaran yang diperlukan begitu fantastis. Bukankah saat ini kas negara sedang pailit akibat penanganan pandemi? Belum lagi utang negara yang terus meroket membuat kondisi ekonomi kian sempoyongan. Bahkan, untuk sekadar membayar bunganya saja pemerintah harus selalu mengandalkan utang. Jika begini, dari mana anggaran untuk membiayai IKN? Ketika kas negara compang-camping, mengapa pemerintah tetap ngotot untuk memindahkan ibu kota? Di mana urgensinya proyek ini?

Semestinya pemerintah berpikir keras menuntaskan berbagai masalah yang ada, bukan malah sibuk dengan proyek-proyek ambisius yang manfaatnya saja belum tentu bisa dinikmati masyarakat banyak. Sebab, pada faktanya pembangunan IKN tak banyak berkontribusi pada perekonomian negara. Jangankan menghilangkan kesenjangan sosial, meningkatkan kondisi ekonomi nasional saja nihil. Lantas untuk siapa sebenarnya proyek ini dibuat?

Pekatnya Aroma Oligarki

Sebelumnya, kajian mendalam terkait megaproyek IKN ini telah dilakukan oleh Walhi Indonesia, Walhi Kalimantan Timur, serta lembaga terkait yang dituangkan dalam dokumen resmi mereka. Dalam dokumen tersebut diungkapkan bahwa pembangunan megaproyek IKN disinyalir akan mengalirkan keuntungan pada segelintir korporasi lahan seperti tambang batu bara, kayu, sawit, PLTU batu bara, PLTA level naga serta korporasi properti. Lebih dari itu, proyek ambisius ini akan memuluskan 'cuci dosa perusahaan' atas kerusakan lingkungan akibat eksplotasi lahan di Kalimantan Timur.
Perlu diketahui, lahan seluas 180 hektare yang akan dijadikan kawasan ibu kota negara ini bukanlah ruang kosong. Di daerah ini terdapat 162 konsesi pertambangan, kebun sawit, kehutanan, PLTU batu bara serta pengusaha properti. Dari 162 konsesi ini terdapat 156 konsesi batu bara yang masih menyisakan 94 lubang tambang yang menganga. Sejumlah nama populer dalam jagat politik pun disebut-sebut ada di balik kepemilikan konsesi perusahaan tersebut. (walhi.or.id, 17/12/2019)

Pantas saja pemerintah begitu bernafsu untuk menggolkan proyek ini, nyatanya banyak kepentingan aktor-aktor politik di balik proyek ibu kota baru. Sejak awal, pembangunan proyek ini memang telah mengabaikan hak aspirasi publik serta krisis lingkungan hidup. Wajar, aroma kepentingan oligarki begitu pekat terendus. Ditambah lagi, adanya sosok asing yang didaulat untuk menjadi dewan pengarah pembangunan IKN semakin menegaskan bahwa pembangunan proyek ini hanya menjadi bancakan para korporasi kelas kakap, baik tingkat lokal maupun internasional. Sejatinya, megaproyek ini merupakan bukti nyata adanya praktik korporatokrasi. Semua kebijakan pengaturan negara disetir oleh para korporat demi memuluskan ambisi mereka.

Inilah konsekuensi ketika negara konsisten menerapkan sistem kapitalis yang berasas untung rugi. Berbagai proyek yang digulirkan semakin memperkuat bukti eratnya perselingkuhan antara penguasa dan korporasi. Praktik simbiosis yang terjadi antara kekuatan politik transaksional dan kekuatan bisnis meniscayakan pengaturan negara yang dikendalikan peran para oligarki. Alhasil, kebijakan yang digulirkan semakin memberi ruang kepada mereka untuk mengeruk kekayaan alam negeri.

Beginilah paradigma kepemimpinan dalam kapitalis dimana para penguasanya hanya mengabdi demi kepentingan oligarki, bukan untuk kepentingan rakyat.

Ibu Kota dalam Sejarah Kekhilafahan Islam

Berbeda dengan Islam yang memprioritaskan segala kebijakannya di atas akidah Islam. Segala prinsip bernegara ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan para korporat. Sebab, pemimpin dalam Islam berperan sebagai pengurus dan pemelihara urusan rakyat. Nabi saw telah bersabda dalam HR Al-Bukhari yang berbunyi: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus."

Adapun kedudukan ibu kota dalam sistem pemerintahan Islam merupakan kawasan yang penting. Sebab, ibu kota merupakan pusat seluruh aktivitas kenegaraan. Pertimbangan dalam menentukan ibu kota bukan hanya dilihat dari sisi strategis secara ekonomi tetapi juga politik, pertahanan, dan keamanan. Ibu kota merupakan representasi kedudukan negara di mata dunia.
Sejarah Islam mencatat bahwa Kekhilafahan sedikitnya lima kali pernah melakukan pemindahan ibu kota, salah satunya perpindahan ibu kota Khilafah Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad. Sebelum dilakukan pembangunan ibu kota Baghdad, Khalifah al-Manshur sebagai inisiator mengumpulkan para surveyor, arsitek, dan insinyur seluruh dunia untuk merencanakan kawasan ibu kota. Setiap wilayah kota dibangun masjid, taman, sekolah, perpustakaan, area komersil, industri gandum, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum juga dibangun secara terpisah antara laki-laki dan perempuan, tempat pengolahan sampah hingga pemakaman umum.

Selain mempertimbangkan lokasi yang strategis, pembangunan ibu kota Baghdad juga memperhatikan sisi pertahanan terhadap serangan musuh. Inilah falsafah ibu kota baru dalam Islam. Negara berperan untuk memakmurkan rakyat pada setiap jengkal daerah serta menjaga daerah perbatasan dari musuh. Pertimbangannya bukan hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi seperti sistem kapitalis saat ini, tetapi untuk kepentingan seluruh warga negara Khilafah.

Khatimah

Rencana pembangunan ibu kota bukan sekadar urusan pindah tempat saja, tetapi harus melihat dari sisi kelayakan serta aspek politis yang di dalamnya. Sehingga, pembangunan IKN dapat meningkatkan taraf hidup rakyat sekaligus menguatkan posisi negara di mata dunia. Bukan malah menjadi bancakan para kapitalis yang semakin menggerus kedaulatan negara. Maka dari itu, kesejahteraan rakyat hanya akan terwujud ketika pembangunan ibu kota dilaksanakan dalam sistem pemerintahanan Islam yakni Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a’lam Bish shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Renita Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Kebocoran Data, Bukti Abainya Negara pada Keamanan Warganya
Next
Gaming Disorder; Hangover!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram