79 Tahun: Merdeka untuk Siapa?

79 Tahun Merdeka

Walaupun sudah 79 tahun negeri ini merdeka, rupanya tidak mencerminkan kepemimpinan yang amanah, bahkan cenderung otoriter, populis dan oligarkis.

Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hari kemerdekaan yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus merupakan momen yang selalu dinantikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bendera merah putih berkibar dengan penuh kebanggaan di setiap sudut negeri. Namun, seiring berjalannya waktu, makna dan hakikat dari hari kemerdekaan ini semakin dipertanyakan.

Sudah 79 tahun Indonesia merdeka. Namun, kenyataannya masih terbelenggu oleh pengaruh kepentingan asing. 79 tahun merdeka tapi negeri ini belum sepenuhnya merdeka, rakyatnya masih menderita. Bahkan, gelagatnya negeri yang kaya raya ini justru berada dalam kondisi tergadaikan, terutama dengan adanya kebijakan pemerintah yang kontroversial terkait Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN). Lantas, apa arti 79 tahun kemerdekaan bagi bangsa?

Memaknai Kemerdekaan

Jika membaca perjalanan sejarah, kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 diperoleh melalui perjuangan panjang dan pengorbanan luar biasa dari para pahlawan. Tujuan dari kemerdekaan ini sangat jelas, yaitu membebaskan diri dari penjajahan, mengelola sumber daya alam sendiri, dan menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat.

Oleh karena itu, selama dekade awal kemerdekaan, pembangunan nasional berjalan dengan semangat tinggi, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan. Hanya saja, faktanya masih banyak masalah yang belum terselesaikan. Ketimpangan ekonomi, korupsi, dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat masih menjadi permasalahan utama.

Di satu sisi, Indonesia memang mengalami berbagai kemajuan di bidang infrastruktur dan ekonomi. Namun, di sisi lain hal itu hanyalah data statistik, kemakmuran semu berdasarkan pada pendapatan rerata per kapita. Banyak kebijakan pemerintah yang justru dianggap merugikan kedaulatan bangsa, seperti utang negara yang selalu menggunung dan proyek yang tidak tepat sasaran, apalagi rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) hanya sekadar memenuhi ambisi oligarki.

Adanya UU IKN yang menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur penuh dengan tekanan oligarki dan telah menimbulkan berbagai kontroversi. Salah satu kekhawatiran utama adalah keterlibatan swasta dan asing dalam proyek ini, yang bisa saja berdampak pada kedaulatan bangsa.

Hal ini terbukti dengan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), terutama pada pasal 9 ayat (1) memberi sinyal Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) memiliki kewenangan untuk menarik investasi yang sebesar-besarnya baik investasi dalam negeri maupun investasi luar negeri. Bahkan, dalam hal memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor asing, pemerintah bisa memperpanjangnya hingga masa 190 tahun. Artinya sama saja dengan menjual negeri ini kepada investor. Inikah hasil 79 tahun kemerdekaan? Miris!

Padahal, jika mengacu pada agenda pemerintah mencanangkan visi Indonesia Emas 2045, sebuah masa di mana Indonesia diharapkan menjadi salah satu negara maju dengan ekonomi kuat dan masyarakat sejahtera. Tentunya, untuk mencapai visi tersebut, diperlukan upaya yang lebih serius dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dan menjaga kedaulatan bangsa.

Dalam hal ini, pemerintah seolah terjebak kepada pembangunan infrastruktur yang terkesan mercusuar tanpa mempertimbangkan kemaslahatan rakyat banyak. Infrastruktur memang penting, tetapi harus diimbangi dengan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat dan tidak mengorbankan kedaulatan nasional.

Pun dalam soal kepemimpinan, walaupun sudah 79 tahun negeri ini merdeka, rupanya tidak mencerminkan kepemimpinan yang amanah, bahkan cenderung otoriter, populis dan oligarkis. Misalnya, dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk lahan tambang adalah salah satu aspek penting dalam kedaulatan dan kesejahteraan suatu negara. Di Indonesia, konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa sumber daya alam harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyat.

Namun, dalam praktiknya, terdapat opsi pengalihan di mana lahan tambang malah diserahkan kepada organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan yang notabene tidak berkompeten. Fenomena ini tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga membawa berbagai bahaya yang dapat memicu konflik kepentingan dan kecemburuan antarormas lainnya.

Di dalam konstitusi negara, Pasal 33 UUD 1945, disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penyerahan lahan tambang kepada ormas jelas melanggar konstitusi. Pengelolaan tambang oleh pihak yang tidak memiliki kapabilitas dan kewenangan yang sah menimbulkan pertanyaan serius mengenai legalitas dan transparansi dari kebijakan tersebut.

Ketika lahan tambang dikelola oleh ormas, potensi konflik kepentingan sangat tinggi. Ormas, yang sering kali memiliki agenda politik atau kepentingan kelompok tertentu, mungkin lebih mementingkan keuntungan jangka pendek bagi kelompok mereka daripada kesejahteraan masyarakat luas. Hal ini dapat mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan merugikan lingkungan serta masyarakat lokal.

Pengelolaan lahan tambang yang tidak profesional memberi kesan negara sengaja berlepas tangan, bahkan cuci tangan dari dampak buruk lingkungan dan sosialnya. Ormas yang tidak memiliki keahlian dalam pengelolaan tambang mungkin tidak memerhatikan aspek-aspek lingkungan dan sosial yang penting. Pengelolaan tambang yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, seperti deforestasi, pencemaran air, dan tanah longsor. Selain itu, masyarakat lokal yang terkena dampak langsung dari kegiatan tambang mungkin tidak mendapatkan kompensasi yang layak, atau bahkan diusir dari tanah mereka tanpa ganti rugi yang adil.

Pengelolaan lahan tambang oleh ormas juga menyulitkan pengawasan dan transparansi. Pemerintah dan lembaga terkait mungkin kesulitan untuk mengontrol dan memastikan bahwa praktik-praktik penambangan dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku. Hal ini membuka peluang bagi praktik-praktik korupsi dan manipulasi data, yang pada akhirnya merugikan negara dan masyarakat.

Merdeka yang Hakiki

Makna kemerdekaan yang hakiki tidak hanya sebatas terbebas dari penjajahan fisik. Kemerdekaan sejati adalah ketika suatu negara terlepas dari bayang-bayang pengaruh asing dan menerapkan aturan Islam secara kaffah (menyeluruh).

Terlepas dari pengaruh asing berarti bahwa suatu negara mampu berdiri di atas kakinya sendiri, membuat keputusan secara mandiri tanpa intervensi dari kekuatan luar. Pengaruh asing sering kali datang dalam bentuk ekonomi, politik, budaya, dan militer. Ketergantungan pada negara asing bisa menghambat kedaulatan suatu bangsa dan mengarahkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyatnya. Oleh karena itu, penting bagi sebuah negara untuk menjaga kemandirian dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil adalah untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri.

Dalam syariat Islam, aturan yang diberikan oleh Allah Swt. berfungsi untuk kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) memberikan panduan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan, baik individu maupun sosial. Penerapan Islam secara kaffah berarti menjalankan semua aspek hukum Islam, termasuk sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, dan hukum, sesuai dengan syariat Islam.

https://narasipost.com/opini/08/2024/kemiskinan-merajalela-di-negeri-kaya-tambang/

Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 208, berupa seruan Allah Swt. kepada orang-orang yang beriman,
”Wahai orang-orang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Setan itu sungguh musuh yang nyata bagimu.”

Wallahu'alam bish Shawwab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Balas Dendam Iran, Nyata atau Retorika?
Next
Desentralisasi: Kesenjangan ala Kapitalisme
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram