Desentralisasi: Kesenjangan ala Kapitalisme

Desentralisasi : Kesenjangan ala kapitalisme

Desentralisasi dalam sistem kapitalisme juga memunculkan elite-elite penguasa daerah yang bermuara pada politik dinasti.

Oleh. Amelia Al Izzah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan bahwa pembangunan desa memiliki peran sentral dalam mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah. Pembangunan desa merupakan penyeimbang untuk memangkas jurang perbedaan antara kehidupan di perkotaan dan di pedesaan. Ini karena pembangunan desa memiliki peran sentral dalam upaya pengentasan kemiskinan (Antara.com, 32-07-2024).

Sebelumnya juga terdapat konsep Nawacita pada era Presiden Jokowi yang salah satu programnya adalah membangun Indonesia dari pinggiran, yakni dengan memperkuat daerah-daerah pedesaan. Program ini dinilai berhasil mewujudkan desentralisasi pembangunan. Hasilnya, pembangunan tidak lagi terpusat di perkotaan, tetapi tersebar di wilayah-wilayah daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Kini daerah luar Jawa hampir semua sudah tersentuh pembangunan. Menurut aktivis kepemudaan Karman B. M., kepemimpinan Presiden Jokowi mampu mengorganisasi strategi pembangunan dari pinggir, kebijakan ini mampu mengembangkan pembangunan yang tadinya hanya bertumpu di Pulau Jawa menjadi merata di luar Jawa. (JPNN.com, 07-11-2022). Namun, apakah klaim terkait keberhasilan pembangunan daerah pinggiran tersebut benar adanya?

Desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Desentralisasi terkait dengan penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus dan membangun wilayahnya (menjalankan otonomi daerah). Desentralisasi mulai familier pada era Orde Baru, puncaknya pada era Reformasi tahun 1998 ketika Indonesia mengalami transformasi politik yang cukup signifikan. Saat itu model pemerintahan Indonesia sentralistis (terpusat).

Pasca-Reformasi, desentralisasi dianggap penting untuk dilaksanakan secara menyeluruh, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak provinsi. Tiap pemerintah daerah diberikan otoritas penuh dalam mengelola dan menggarap potensi ekonominya tanpa ada intervensi dari pusat.

Jalan Panjang Desentralisasi Tanpa Hasil

Desentralisasi dan otonomi daerah memang menjadi isu penting setelah era Reformasi. Namun, perjalanan panjang kewenangan daerah untuk mengatur sendiri wilayahnya belum memiliki format otonomi daerah yang jelas. Dimulai dari UU No. 22/1948, UU No. 32/2004, hingga UU No. 23/3014 yang belum membuahkan hasil signifikan terkait pembangunan di daerah-daerah.

Dalam kurun waktu tersebut, desentralisasi pada realitasnya belum berhasil mengembangkan potensi-potensi yang ada di tiap-tiap daerah, terutama di pedesaan. Angka kemiskinan dan pembangunan juga tidak beranjak signifikan dari sebelumnya. Data BPS per Maret 2024 mencatat persentase angka kemiskinan di desa mencapai 11,79%, jauh lebih tinggi dibandingkan perkotaan yang mencapai 7,09% (www.antaranews.com).

Desentralisasi dalam sistem kapitalisme juga memunculkan elite-elite penguasa daerah yang bermuara pada politik dinasti. Praktik korupsi, penggembosan dan penyelewengan dana desa, serta program tidak tepat sasaran merupakan fenomena yang lumrah terjadi di sistem ini. Pemerintah pusat sebagai penyelenggara negara pun memiliki hubungan yang tidak sehat dengan pemerintah daerah. Klimaksnya, bibit-bibit disintegrasi bangsa dapat menjadi "bom" waktu bagi keutuhan negara.

Tidak mengherankan jika jalan panjang desentralisasi hanya melanggengkan penguasaan kekayaan alam oleh segelintir orang-orang tertentu, yakni elite-elite penguasa dan para kapitalis. Makin kukuh desentralisasi atau kewenangan daerah maka makin terbuka pula kesempatan bagi kapitalis global untuk menguasai kekayaan alam Indonesia.

Sumber daya alam yang dimiliki tiap-tiap daerah tidak luput dari cengkeraman para kapitalis. Pengelolaan SDA diserahkan pada pihak swasta atau asing sehingga rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari kekayaan alam daerahnya. Pemerataan pembangunan di desa pun hanya ilusi sebab pembangunan hanya berorientasi pada keuntungan semata, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Sentralisasi dalam Sistem Islam

Kondisi tersebut berbeda 180° dengan realitas dalam sistem Islam (Khilafah). Khilafah akan memenuhi kebutuhan tiap-tiap individu warga negaranya, terutama terkait dengan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Khilafah melakukan pembangunan infrastruktur untuk kemaslahatan rakyat sehingga pembangunan tidak hanya fokus pada masalah ekonomi, melainkan merata di segala bidang. Tidak akan ada ketimpangan pembangunan, baik di desa maupun di kota, semua akan menjadi prioritas negara.

Islam sebagai agama paripurna berusaha mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Sumber daya alam milik umum, baik di kota maupun di desa, akan dikelola oleh negara untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat. Pembangunan akan tersentralisasi dan semua daerah akan dipantau oleh negara, baik dari segi pendanaan maupun para pejabat negara yang bertugas. Pembangunan infrastruktur akan diambil dari dana baitulmal, baik itu untuk pembangunan di kota maupun di desa secara merata.

Sejarah Khilafah yang selama 13 abad menguasai dunia telah membuktikan betapa sejahtera dan adilnya sistem Islam dalam memenuhi kebutuhan individu maupun warga negara. Jika penguasaan diserahkan kepada ahlinya, tentu Indonesia akan menjadi negeri yang diberkahi oleh Allah Swt. Namun sebaliknya, jika sebuah negeri diserahkan bukan pada ahlinya dan tidak dalam sistem yang diturunkan Allah Swt., tunggulah kehancurannya. Ini seperti hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ ، يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذِّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ قَالَ: السَّفِيْهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Artinya: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di saat itu orang yang berdusta dianggap jujur dan orang yang jujur dianggap berdusta, orang yang berkhianat dipercaya dan orang yang jujur dikhianati, serta ruwaibidah berbicara." Beliau bertanya, "Apa itu ruwaibidah?" Beliau menjawab, "Orang bodoh yang berbicara tentang urusan rakyat." Redaksi lain menyebut, "Orang yang lemah akalnya berbicara tentang masalah orang-orang kebanyakan." []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Amelia Al Izzah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
79 Tahun: Merdeka untuk Siapa?
Next
Cinta Tanah Air yang Hakiki
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram