Arah Perpres Publisher Rights tidak tegak di atas kepentingan rakyat. Keberadaannya hanya untuk memuluskan bisnis para pemilik cuan di ranah platform digital. Penyajian berita yang mendidik dan meningkatkan ketakwaan individu, masyarakat, dan negara sepertinya benar-benar tidak dipikirkan.
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Syahdan, digitalisasi semakin berkibar. Sejak pandemi tiga tahun silam hingga saat ini, menjadikan dunia digital memiliki panggung di setiap jiwa manusia. Secara kolektif, dunia digital dibuatkan regulasi oleh pemangku kebijakan. Tentu saja regulasi itu hadir atas sebuah tuntutan kepentingan dalam dunia jurnalisme dan platform digital.
Munculnya Perpres Publisher Rights
Kehadiran dunia digital ke tengah kehidupan masyarakat membawa atmosfer tersendiri dalam perkembangan zaman. Era Revolusi 4.0 melahirkan banyak platform media sosial yang menyajikan konten sesuai kepentingan penghuni dan peminat platform tersebut. Tak mau ketinggalan, kehidupan jurnalisme juga bermutasi ke dunia digital yang makin eksis.
Baru-baru ini, jurnalisme digital harus berhadapan dengan Perpres Publisher Rights. Hanya saja, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Indonesian Digital Association (IDA) meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengkaji kembali naskah Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme yang Berkualitas atau Perpres Publisher Rights(Liputan6.com, 29/7/2023).
Penolakan itu muncul karena dianggap belum melibatkan berbagai platform digital yang berkecimpung langsung dalam atmosfer informasi di negeri ini. Adanya Perpres Publisher Rights diprediksi akan memunculkan keambiguan dalam kerja platform digital dalam memberitakan atau menginformasikan segala hal. Berbagai pandangan kontra melambung dengan alasan rasional.
Ketua Umum AMSI, Wenseslaus Manggut menegaskan bahwa substansi Perpres tersebut seharusnya tidak lepas dari upaya memperbaiki ekosistem jurnalisme di Indonesia. Dia mengingatkan, platform digital juga perlu dilibatkan sebagai pemangku kepentingan ekosistem informasi di Indonesia. Menurutnya, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan seperti di negara lain. Misalnya, designation clause yang ada dalam Media Bargaining Code di Australia, dan ini bisa diterapkan di Indonesia.
Adapun Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan meminta agar regulasi ini semata-mata untuk menciptakan rasa keadilan bagi seluruh penerbit media termasuk yang berskala menengah maupun kecil sehingga tercipta ekosistem media digital yang sehat, berkualitas, professional, dan menyejahterakan para jurnalisnya. Sementara Ketua Umum IDA, Dian Gemianomengungkapkan aspirasi organisasinya agar Perpres tersebut tidak menjadi langkah mundur untuk industri media digital di Indonesia (liputan6.com, 29/7/2023).
Mendedah Arah Perpres Publisher Rights
Adanya Perpres Publisher Rights yang dicanangkan ini diniatkan untuk mengondusifkan platform digital agar lebih berkualitas dalam industri media. Hal itu dinyatakan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika,Wamen Nezar Patria menjelaskan pemerintah mencoba membangun keberlanjutan atau sustainability industri media di tengah disrupsi digital. Oleh karena itu, Wamenkominfo menyatakan kerja sama bisnis menjadi hal yang paling penting antara industri media dan platform digital (kominfo.go.id, 25/7/2023).
Sungguh, adanya Perpres Publisher Rights ini seakan menegaskan di mana dia berdiri untuk platform media. Pandangan khusus pada sebuah asas materi alias meraih keuntungan finansial tetap menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan sebuah kebijakan. Bahkan, platform media sekelas Google sampai mengulik dan membahasnya. Google mengkritisi kebijakan berwajah Perpres Publisher Rights tersebut.
Menurut "Mbah" Google, Perpres tersebut akan memberi batasan keragaman sumber berita dan bisa jadi hanya akan menguntungkan pihak tertentu. Google sendiri telah menjabarkan sebuah penjelasan dalam blog resminya pada Selasa (25/7/2023). Sebagaimana dilansir Metro.suara.com (28/7/2023), "Alih-alih membangun jurnalisme berkualitas, peraturan ini dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik karena memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga nonpemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul online dan penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan."
Aroma bisnis menguar begitu kuat. Pertarungan antarperusahaan yang bergerak dalam platform media digital akan semakin ketat. Sepertinya ke depan, siapa yang jauh dari pemangku kebijakan akan sekarat, sementara pihak yang dekat dengan pemangku kebijakan akan meraih nikmat berupa asas manfaat. Masih menurut Google, akan ada dampak negatif apabila Perpres Publisher Rights tersebut disahkan. Dampak negatif tersebut antara lain:
Pertama, akan muncul pembatasan media online karena hanya segelintir media atau penerbit saja yang diuntungkan.
Kedua, akan ada ancaman terhadap media dan kreator berita yang dinilai menjadi sumber informasi utama masyarakat di dunia digital. Ancaman ini muncul dari pembentukan lembaga nonpemerintah yang dibentuk dan terdiri dari perwakilan Dewan Pers dan yang hanya akan menguntungkan media tradisional.
Arah jurnalisme berkualitas dalam pandangan Perpres tersebut tetap dinilai dari nominal cuan. Getaran kontra seakan sedikit saja yang dirasakan. Ambisi bisnis di dunia platform digital tak lepas dari bagaimana sebuah negara menundukkan dan mendudukkan sebuah pandangan.
Sudah menjadi rahasia umum, negeri ini juga menjadikan sistem kapitalisme yang berasaskan manfaat sebagai aturan kehidupan. Kalkulasi untung rugi dalam sejumlah aturan menjadi perhatian. Suguhan berita dan konten dalam platform media sosial selama ini cenderung merusak peradaban dan generasi calon pemimpin di masa depan. Namun, negara seolah-olah membiarkan kerusakan itu terjadi secara terus-terusan.
Polemik dunia maya ditambah hadirnya Perpres Publisher Rights, diduga akan menjadi sebuah ajang pertarungan bisnis perusahaan. Pemerintah tampaknya sangat tergugah untuk meningkatkan kualitas jurnalisme dengan Perpres Publisher Rights yang hendak disahkan. Magnet cuan tampaknya akan menjadi kunci siapa yang dimaksud Perpres tersebut.
Arah Perpres Publisher Rights tidak tegak di atas kepentingan rakyat. Keberadaannya hanya untuk memuluskan bisnis para pemilik cuan di ranah platform digital. Penyajian berita yang mendidik dan meningkatkan ketakwaan individu, masyarakat, dan negara sepertinya benar-benar tidak dipikirkan. Begitulah watak kapitalisme yang menjadikan negara hanya menjadi kendaraan bagi kepentingan segelintir orang yang memiliki modal. Sehingga, pelayanan utama dalam memberikan informasi aktual, benar, dan mendidik jauh panggang dari api.
Kapitalisme menjadikan media, cetak maupun online, sebagai corong atau mercusuar penjajahan pemikiran. Di samping itu, pandangan pakem terkait asas manfaat benar-benar menihilkan peran negara dalam kondusifnya berita dan konten yang berseliweran. Jadi, Perpres Publisher Rights seakan hanya menjadi pemulus kapitalisme dalam menancapkan hegemoninya dalam media. Sementara, platform digital yang tidak dimaksud oleh Perpres tersebut, makin berada di ujung tanduk.
Media dalam Tatanan Syariat Islam
Betapa pelik perkara Perpres Publisher Rights dan polemik media di alam kapitalisme. Korporasi yang diuntungkan dalam bisnis media, sementara rakyat yang menanggung derita dengan serangan pemikiran yang ada di dalamnya. Maka dari itu, harus ada perubahan revolusioner dalam memperbaiki atmosfer media yang ada.
Seorang muslim memiliki konsekuensi keimanan untuk hidup di bawah naungan syariat Islam. Perubahan cara pandang dari kapitalisme terhadap media dan segala perniknya menuju cara pandang Islam butuh perjuangan ekstra. Apalagi Allah menegaskan ruang ikhtiar perubahan ada pada manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Ra'du ayat 11, yang artinya:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasibnya sendiri."
Wajah platform digital ala kapitalisme akan musnah jika kaum muslim mengubah kesalahan dasarnya, yakni berjuang menghapus sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam. Islam bukan sekadar agama, tetapi juga ideologi yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk urusan penerangan alias media, baik cetak ataupun digital. Media dan segala platform digital tak akan dikomersialisasikan seperti saat ini.
Dalam sistem Islam, media tegak berlandaskan akidah Islam. Media memiliki peranan strategis untuk menjadi pelayan ideologi Islam. Negara akan bersungguh-sungguh mengontrol media agar memiliki performa yang menjaga suasana keimanan. Segala sesuatunya akan berada di bawah pengawasan Diwan I'lamiyahatau Departemen Penerangan.
Media dalam sistem Islam tidak akan menyajikan konten yang menggerus akidah dan merusak pemikiran. Media menjadi jembatan harmonisasi hubungan rakyat dan penguasa. Media massa, termasuk platform digital, dalam sistem Islam juga tidak akan lepas dari tugas mulianya di dalam dan di luar negeri. Di dalam negeri, media massa memiliki peranan untuk membangun masyarakat Islam yang berakidah kokoh. Sedang di luar negeri, media massa berperan untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai untuk menunjukkan betapa agungnya ideologi Islam, sekaligus untuk membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia ataupun membongkar makar musuh.
Bukan hanya konten, mekanisme industri platform digital juga berada dalam pengawasan Departemen Penerangan Khilafah. Perusahaan yang bergerak di bidang media juga harus mematuhi syariat Islam, harus berkhidmat menjadi pelayan ideologi Islam, tidak sebatas mendulang dinar dan dirham. Bisnis media tidak akan menghalalkan segala cara untuk meraih materi.
Media swasta akan benar-benar dalam adikontrolKhilafah lewat Departemen Penerangan. Ada garis-garis politis yang sesuai syariat Islam dalam kebolehan individu atau swasta memiliki perusahaan media. Batas syariat Islam tidak boleh dilanggar sedikit pun. Sebab, negara memiliki kewajiban menjaga kemaslahatan Islam dan kaum muslim. Maka dari itu, perusahaan media juga harus berjalan searah dengan kewajiban negara tersebut agar tidak merusak dan mencederai pemikiran rakyat.
Dengan demikian, perusahaan media tersebut tidak akan serampangan dalam menayangkan konten dan memuat suatu berita. Tak akan ada celah bagi perusahaan media untuk mengejar cuan semata tanpa memperhatikan isi dari suguhan medianya. Jika ada pelanggaran etika jurnalisme atau penayangan konten oleh perusahaan media, sistem sanksi Islam akan berlaku tanpa tebang pilih. Adapun sanksinya berupa keputusan khalifah yang berdasarkan pada syariat Islam, bisa pencabutan izin usaha, penjara, denda, dan lainnya. Sanksi tersebut sifatnya tegas, adil, dan menjerakan. Demikianlah tatanan media dalam naungan sistem Islam.
Wallahu a'lam bishawab
Lagi-lagi yang diendus materi berupa cuan... padahal, cuan-cuan itu enggak akan dibawa pulang y akhirat..
Meterialistik yang tersistem
Bahaya kalau sampai Perpres Publisher Rights disahkan.
Begitulah watak kapitalisme. Asas manfaat yang dikedepankan.
Sungguh berwatak penjajah. Media, cetak maupun online pun jadi sasaran empuk melanggengkan penjajahan pemikiran asing bin sekulernya. Lalu peran negara di mana ya?
Miris
Lagi2 keuntungan..emm watak kapitalime memang menyakitkan
Perpers Publisher Right sebenarnya ingin membungkam suara kritis para jurnalis.
Adanya Perpres Publisher Rights semakin menguatkan bukti rezim bahwa media dalam sistem kapitalis memang disetir untuk kepentingan para kapitalis.
Mendedah(mengungkap) Arah Kebijakan Perpres Publisher Rights. Masya Allah, judul dengan menggunakan kata yang jarang digunakan membuat orang penasaran sehingga mau membuka dan baca isinya. Semoga semakin banyak umat tercerahkan. Pasalnya, jarang orang mengerti dunia pers/media.
Jelaslah, media di sistem kapitalis tujuannya pasti satu yakni sebagai lahan bisnis. Jika segalanya sudah menjadi ajang bisnis pasti keuntunganlah yang diburu.
MasyaAllah barakallah untuk penulis, indahnya tatanan kehidupan Islam yang menjaga akidah umat.
Mendedah itu kata dasarnya apa ya mbak? Membedah kah maksudnya? Memang dalam dunia kapitalis semua mua serba keuntungan yg dipikirkan
Semua lini, segi, bidang jika di tnagan para kapitalis, maka tujuannya tentu bukan maslahat, tapi cuan lagi2 cuan
MasyaAllah, makin rindu dengan sistem Islam. Mengatur media sedemikian rupa.