Kapitalisme adalah biang dari masalah sampah pangan yang terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Menyedihkan! Di tengah tingginya kasus stunting yang melanda, Indonesia justru harus kehilangan 23-48 juta ton makanan per tahun. Jutaan ton makanan terbuang dan menjadi sampah. Bahkan Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan sampah pangan terbanyak. Sedihnya lagi, sampah ini malah didominasi dengan padi-padian yang merupakan makanan pokok Indonesia sebanyak 44%, disusul buah-buahan 20%, sayur-sayuran 16%, ikan sebanyak 9%, makanan berpati dan buah biji berminyak 3%, daging 2%, kemudian telur, susu, dan minyak sebanyak 1%, padahal jika pengelolaan dapat dilakukan dengan baik, maka makanan ini akan mampu menghidupi 61-125 juta orang di Indonesia. (rri.co.id, 5-7-2024)
Untuk menyikapi hal ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah mendesain program untuk menekan limbah pangan di Indonesia melalui Gerakan Selamatkan Pangan Menuju “Zero Waste to End Hunger”. Bapanas mendorong masyarakat melakukan pencegahan pemborosan pangan dan disalurkan kepada masyarakat rawan pangan dan gizi termasuk stunting. (cnbcindonesia.com, 13-7-2024)
Masih melansir dari CNBC Indonesia, Bapanas juga akan menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif terhadap pengelolaan susut dan sisa pangan (food waste and loss) dengan pemberian insentif fiskal dan nonfiskal kepada bisnis yang bisa mengurangi susut dan sisa pangan atau donatur surplus makanan ke organisasi amal. Bapanas pun menerapkan sistem penalti, denda, dan sanksi bagi rumah tangga atau industri yang tidak bisa memenuhi regulasi ini.
Lalu, apakah benar kebijakan ini akan mampu menyelesaikan permasalahan sampah pangan? Apa sebenarnya penyebab dari tingginya jumlah sampah pangan di Indonesia? Sebagai pihak yang paling berwenang, harusnya pemerintah mampu menemukan titik terang agar bisa memberikan solusi jitu untuk menyelesaikan tuntas kasus ini.
Kasus Stunting Masih Tinggi
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia, angka stunting di Indonesia masih sangat tinggi, yakni menembus angka 21,6%. Yang memprihatinkan, risiko terkena stunting meningkat sebanyak 1,6 kali lipat dari bayi usia 6-11 bulan ke kelompok 12-23 bulan. Kegagalan dalam memberikan MPASI diduga kuat menjadi penyumbang terbesar tingginya stunting.
Sungguh ironi, di tengah derasnya wacana penurunan stunting, negeri ini justru tertampar fakta jutaan ton pangan terbuang sia-sia.
Andai pemerintah mampu mengatur peredaran pangan dan setiap rakyat dijamin untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok, tentunya Indonesia tak harus kehilangan jutaan ton makanan secara sia-sia dan bisa menyelamatkan mereka dari stunting serta kelaparan.
Penyebab Tingginya Sampah Pangan
Setidaknya ada beberapa penyebab tingginya sampah pangan ini, di antaranya:
Pertama, kasus sampah pangan merupakan cermin dari buruknya distribusi pangan di negeri ini. Indonesia bukan tak mampu menghasilkan bahan pangan, bahkan produksinya berlimpah, ditambah lagi dengan kebijakan impor negara yang katanya untuk mengamankan konsumsi nasional. Sering pula kita temui berita tentang petani yang membuang hasil panen karena anjloknya harga.
Kedua, fokus pemerintah pada penggenjotan produksi agar mencapai total yang dibutuhkan secara nasional (pemerintah fokus pada capaian produk domestik bruto) mengakibatkan hasil produksi berlimpah, tetapi sering menumpuk di beberapa titik dan tak tersebar merata. Hal ini juga dialami oleh pabrik-pabrik yang memproduksi pangan besar-besaran, tetapi berujung pada pemusnahan massal produk karena tidak terdistribusi secara sempurna.
Ketiga, gaya hidup konsumtif yang tumbuh di tengah masyarakat turut memperparah kondisi sampah pangan. Masyarakat acap kali mubazir dalam membeli makanan, mengikuti tren makan yang ada, dan ujung-ujungnya makanan beralih ke tempat sampah.
Kapitalisme Biang Masalah
Kapitalisme adalah biang dari masalah sampah pangan yang terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penerapan kapitalisme berimbas pada buruknya pola distribusi, sebab kapitalisme memang tidak pernah mengatur masalah distribusi.
Kapitalisme menganggap masyarakat memiliki kemampuan yang sama untuk memenuhi kebutuhan pangan, padahal kemiskinan struktural yang diciptakan kapitalisme telah menyebabkan kesenjangan sosial begitu tinggi. Fenomena yang sangat biasa dalam kapitalisme, saat ada satu keluarga yang dapat mengonsumsi makanan “enak” dengan mudah, tetapi di sisi lain ada keluarga yang harus jungkir balik hanya untuk sekadar membeli beras.
Kapitalisme juga yang memaksa pemerintah hanya fokus terhadap capaian PDB, sehingga seluruh lini digenjot untuk memenuhi target PDB. Namun, sekali lagi, tidak pernah ada pembahasan serius mengenai distribusi.
Kapitalisme jua yang menumbuhkan gaya hidup konsumtif. Industri pangan yang bervariasi menyebabkan masyarakat suka bertualang kuliner, mencoba variasi makanan dan membelinya dalam jumlah berlebih.
Pemerintah harusnya peka untuk melihat hulu masalah sampah pangan ini. Bukan hanya fokus pada hilirnya saja, sebab pemberian solusi akan menjadi zero solution, bila pemerintah tak menyentuh pangkal masalahnya.
Permasalahan ini akan sulit teratasi apabila pemerintah hanya fokus mengatasi penumpukan sampah pangan tanpa melakukan perubahan sistem.
Khilafah Menyelesaikan Masalah Sampah Pangan
Islam memiliki seperangkat aturan untuk menyelesaikan perkara sampah pangan dan melibatkan berbagai komponen yang ada, yakni individu, masyarakat, dan aturan dari negara.
Dari sisi individu, Islam menetapkan seorang individu untuk tidak mubazir dalam makanan. Individu dituntut untuk mengonsumsi segala sesuatu berdasarkan kebutuhan tubuhnya, bukan keinginan semata. Bahkan Rasulullah juga mencontohkan untuk tidak pernah berlebih-lebihan dalam makan, cukuplah mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 minuman, dan 1/3 lagi udara.
Dari sisi masyarakat, Islam akan mewujudkan masyarakat yang saling peduli satu sama lain, saling membantu, dan saling memberi. Tidak ada individualisme dalam masyarakat Islam. Islam mendorong umatnya untuk senantiasa peduli dengan masyarakat tempat tinggalnya, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Tidaklah disebut mukmin orang yang kekenyangan sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan.” (HR. Bukhari)
Dari sisi negara, Islam yang diterapkan dalam naungan Khilafah akan menetapkan mekanisme distribusi ke seluruh masyarakat dengan membuat seluruh masyarakat mampu memperoleh bahan pangan. Mekanisme ini akan dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara tidak langsung, pemerintah akan menciptakan iklim ekonomi yang sehat, menyediakan lapangan kerja bagi para pencari nafkah, dan mengatur regulasi produksi pangan yang tidak hanya berfokus pada cuan semata. Masyarakat akan dengan mudah memperoleh makanan pokok dan bergizi (pemerintah juga akan memberikan edukasi makanan bergizi), sehingga kasus stunting pun dapat teratasi. Secara langsung, bisa jadi khalifah akan melakukan sidak ke tengah warga untuk melihat kondisi mereka, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab.
https://narasipost.com/opini/05/2024/food-loss-bukti-gaya-hidup-bermasalah/
Khatimah
Kapitalisme adalah biang penumpukan sampah pangan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Sistem ini telah menciptakan kesenjangan yang luar biasa di tengah masyarakat. Abainya kapitalisme terhadap distribusi pangan, fokus pemerintah pada capaian PDB, dan gaya hidup konsumtif telah mengakibatkan penumpukan jutaan ton sampah pangan.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki seperangkat aturan untuk menyelesaikan problem ini, mulai dari sisi individu, masyarakat, dan negara. Alhasil, permasalahan sampah pangan ini hanya bisa selesai dengan penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiah.
Wallahu’alam bishowab []
Terbayang sampah makanan ber ton-ton jadi tumpukan sampah. Di wilayah lain, ada orang kelaparan. Siistem sekuler kapitalis menyeret seseorang menjadi egois hanya mementingkan diri sendiri.
Beneer mbaak..
Di sini sampah pangan berton2, di wilayah lain, mau makan pun susah..