Modernisasi Pertanian, Menguntungkan Siapa?

Modernisasi Pertanian

Modernisasi pertanian menghendaki proses pertanian dengan modal yang besar. Hal ini menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap alat-alat impor.

Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Di tengah arus teknologi yang terus berkembang, sektor pertanian tak luput mengalami transformasi. Kebudayaan pertanian mengalami modernisasi dari pertanian tradisional yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menjadi pertanian industri yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan penduduk di seluruh penjuru dunia.

Sebagai salah satu kunci mewujudkan swasembada pangan nasional, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman bakal memaksimalkan penggunaan teknologi di bidang pertanian. Bahkan Arman mengungkapkan berencana membangun klaster lumbung pangan di setiap provinsi dengan menggunakan teknologi modern yang setara dengan Jepang dan Amerika Serikat. Hal tersebut ia ungkapkan ketika menjadi pembicara di Gedung Kementerian Pertahanan. (Kumparan.com, 29-6-2024)

Modernisasi pertanian merupakan perubahan orientasi pertanian, mulai dari pergeseran budaya, budidaya, distribusi, bahkan perkembangan ekonomi suatu negara pada sektor pertanian. Sederhananya, modernisasi pertanian bertujuan meningkatkan hasil produksi dalam waktu yang singkat sebab adanya teknologi modern memungkinkan petani mengoptimalkan penggunaan lahan, udara, dan energi. Salah satu contohnya, penggunaan alat dan mesin pertanian yang canggih dapat mengurangi beban tenaga kerja manual, baik pada manusia maupun hewan ternak sehingga mempercepat proses produksi.

Demikianlah, tujuan besar modernisasi pertanian yang diklaim dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan diharapkan menjadi awal penegakan kedaulatan pangan nasional. Namun, benarkah hasilnya seperti demikian?

Kondisi Swasembada Pangan Indonesia

Indonesia mulai mengupayakan modernisasi pertanian sejak orde baru ketika adanya program revolusi hijau. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan pasokan pangan, seperti memperbaiki sistem irigasi untuk penyediaan air, penggunaan pupuk secara optimal, penggunaan pestisida berdasarkan tingkat serangan hama, dan penggunaan bahan tanam berkualitas. Program tersebut membuahkan hasil berupa  swasembada beras selama lima tahun (1984-1989). (Detik.com, 24-3-2022)

Pada tahun 1980-an, pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia sempat menjadi negara swasembada pangan besar dunia. Bahkan Indonesia berhasil menjadi salah satu negara pengekspor pangan dan mampu mengirim ratusan ton beras kepada negara-negara Afrika yang mengalami bencana kelaparan. Ketika itu, kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional mengalami peningkatan.

Kondisi ini mulai berubah ketika Soeharto terjebak arus kebijakan global yang makin liberal. Liberalisasi pertanian dalam rangka menuju pasar bebas makin nyata sejak Indonesia menjadi anggota WTO pada 1995, lalu menyetujui perjanjian di sektor pertanian yang dikenal dengan Agreement on Agriculture (AoA).

Komitmen terhadap AoA berpengaruh besar terhadap liberalisasi sektor pertanian. Terutama makin bebasnya pasar impor yang mengacu pada tingkat multilateral, seperti pada tingkat ASEAN (AFTA) dan Asia Pacifik (APEC). Kondisi ini diperparah dengan adanya belenggu utang luar negeri yang mengharuskan Indonesia berada dalam tekanan IMF.

Dampak liberalisasi sektor pertanian ditandai dengan pencabutan berbagai subsidi untuk petani, tarif impor bahan pangan yang turun secara drastis, serta penghapusan monopoli Bulog dalam impor bahan pangan. Kebijakan proteksi dan subsidi yang selama ini dinikmati petani dihapus sehingga petani kecil harus bertarung dengan petani korporasi.

Dengan kata lain, petani lokal tanpa proteksi harus bertarung dengan produk petani negara maju yang penuh subsidi di pasar bebas. Secara konkret, semua ini dapat kita amati pada pasar dalam negeri, di mana produk pangan impor dari berbagai negara membanjiri swalayan, pasar tradisional, bahkan pedagang kaki lima.  

Tampaknya, negara-negara adidaya yang ada di balik skenario ini tidak menginginkan Indonesia menjadi produsen pangan dunia, tetapi cukup menjadi end user. Hingga kini, mereka berhasil mencegah Indonesia membalikkan posisinya seperti dahulu. Alhasil, keberadaan modernisasi pertanian justru menjelma menjadi jembatan pasar bebas dan membuat Indonesia ketergantungan pada industri pangan.

Artinya, keberadaan modernisasi pertanian memang dapat meningkatkan hasil produksi, tetapi hasilnya tidak selamanya indah. Dari sisi produktivitas memang dapat ditingkatkan, tetapi peningkatan tersebut tidak selalu berhubungan positif dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Buktinya, data BPS 2022 menggambarkan tingkat kemiskinan di pedesaan masih tinggi dan kebanyakan berasal dari kalangan petani.

Kelemahan Modernisasi Pertanian

Di bawah naungan kapitalisme, modernisasi pertanian bak tirai yang tampak bagus di luar, tetapi sejatinya keropos di dalam. Rencana ini terlihat baik karena sekilas bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, tetapi secara praktik memiliki kelemahan yang patut diperhatikan.

Modernisasi pertanian menghendaki proses pertanian dengan modal yang besar. Hal ini menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap alat-alat impor. Akibatnya, Indonesia tak hanya harus mengimpor beras hingga kedelai, bahkan diketahui sering mengimpor berbagai alsintan (alat dan mesin pertanian).

Perihal tersebut, Presiden Jokowi sempat memberikan ultimatum kepada Mentan periode 2019-2023 Syahrul Yasin Limpo ketika melihat banyak alsintan seperti traktor-traktor yang diimpor di Atambua, NTT (CNBC Indonesia, 25-3-2022). Jika memang pemerintah serius mewujudkan ketahanan pangan, sebaiknya negara memulai dengan mengoptimalkan industri pertanian dalam negeri untuk meminimalisasi impor.

Masuknya alsintan impor secara bebas tentu akan mematikan alsintan yang dihasilkan oleh pabrik lokal, seperti Puspetek (milik Pupuk Indonesia) dan UKM lain yang bergerak dalam produksi alsintan. Jika ketergantungan pada impor terus berlanjut, ke depannya Indonesia akan menghadapi masalah pangan yang lebih serius. Ketidakmampuan sebuah negara mewujudkan kemandirian pangan merupakan bentuk kelemahan karena dapat menyebabkan gangguan keamanan dan ketahanan.

Di hulu, petani lokal dengan modal kecil perlahan akan digeser oleh korporasi yang menguasai alat produksi, seperti tanah berskala besar, pupuk hingga bibit.  Situasi ini membuat keuntungan bidang pertanian hanya terkonsentrasi pada korporasi yang menjual sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida, benih, dll. Alhasil, para kapitalis inilah yang akan menanam dan membudidayakan tanaman secara langsung, lalu mengontrol distribusi pasar komoditas pertanian dari hulu hingga hilir.

Selain itu, keberadaan modernisasi pertanian justru dapat meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Pengenalan teknologi pertanian yang canggih sering kali membutuhkan investasi tinggi yang tidak dapat diakses oleh petani kecil. Hal ini menyulut ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesenjangan antara petani kecil yang tidak memperoleh akses sama sekali dengan petani korporasi yang mampu mengadopsi teknologi modern. Akibatnya banyak lahan pertanian dan perkebunan yang luas hanya menguntungkan segelintir orang.

Ringkihnya Ekonomi Kapitalisme

Modernisasi pertanian yang ditumpangi paham liberalisasi akan meminimalisasi kehadiran dan peran negara. Dalam kapitalisme, negara akan selalu dibuat tidak punya kuasa atau memiliki keterbatasan wewenang dalam urusan produksi pangan. Misalnya saja, polemik minyak goreng sawit yang sempat menggegerkan publik kemarin. Indonesia yang dinilai sebagai produsen sawit terbesar tidak mampu mengontrol harga dan jalur distribusinya. Alhasil, produk turunan sawit ditentukan oleh kapitalis dan rakyat dirugikan akibat fluktuasi harga yang tak terkontrol.

Demikianlah letak kesalahan ekonomi kapitalisme. Negara memberi peluang dan kebebasan kepada swasta dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Sebaliknya, Islam memandang bahwa masalah swasembada pangan dilandasi oleh filosofi peran penguasa dalam menjalankan pengurusan urusan umat. Seorang khalifah adalah pemimpin sekaligus pelayan rakyat. Konsekuensinya, negara wajib memenuhi kebutuhan rakyat secara berdaulat dan tidak boleh membiarkan pihak lain mengganti perannya dalam mengontrol urusan strategis ini.

Pada akhirnya, akibat penerapan ideologi kapitalisme, modernisasi pertanian belum mampu menjawab permasalahan ketahanan pangan nasional. Ini karena keberhasilan bidang pertanian tak cukup dengan memperbaiki masalah teknis saja,tetapi perlu adanya pembangunan lingkungan pertanian berkelanjutan di bawah naungan sistem yang sahih.

Industri Pertanian dalam Islam

Islam tidak bersikap antipati terhadap modernisasi pertanian. Sebaliknya, melalui sistem pemerintahan Islam, industri pertanian menjadi langkah penting dalam mencapai kemajuan ekonomi Daulah serta mewujudkan pertanian yang adil, produktif, berkelanjutan, dan inklusif untuk mengatasi kelaparan bagi rakyatnya. Oleh karena itu, seorang khalifah membebaskan rakyatnya berkreasi dalam urusan-urusan teknis pertanian selama tidak melanggar hukum syarak.

Ini sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

Riwayat hadis di atas berhubungan dengan kisah perizinan penyerbukan kurma oleh petani Madinah kepada Nabi Muhammad saw. Penyerbukan buatan merupakan urusan pertanian yang bersifat teknis untuk meningkatkan hasil dan kualitas kurma. Hadis tersebut menunjukkan bahwa Khilafah tidak akan mengatur atau melarang secara langsung dalam urusan pertanian yang bersifat teknis.

Melalui politik pertanian Islam, khalifah akan melakukan kebijakan di sektor hulu guna meningkatkan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi pertanian dibiayai dari biro subsidi yang terdapat di baitulmal Daulah untuk menjamin semua kebutuhan para petani, mulai dari modal, peralatan, benih, pupuk, teknologi, teknik budi daya, dan sebagainya. Ini karena tujuan intensifikasi pertanian akan terlaksana jika sarana produksi pertanian tersedia dengan baik.

https://narasipost.com/opini/07/2024/ketahanan-pangan-terwujud-dengan-modernisasi-pertanian/

Adapun ekstensifikasi pertanian bertujuan untuk meningkatkan luas lahan produksi. Khilafah menerapkan kebijakan untuk mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian melalui kebijakan menghidupkan lahan mati, penyitaan lahan yang terlantar selama tiga tahun berturut-turut, dan pemagaran (tahjir). Kemudian negara juga berhak memberikan lahan pertanian kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.

Untuk mendukung dan merealisasikan kebijakan di atas, Negara Islam harus menjadi negara industri agar mampu menjalankan modernisasi pertanian tanpa intervensi asing. Politik luar negeri Islam tidak akan melibatkan diri dalam berbagai perjanjian internasional yang bertujuan mengendalikan suatu negara, seperti halnya kebijakan pasar bebas. Derasnya produk pertanian impor tidak hanya karena masuknya korporasi, melainkan konsekuensi kebijakan pasar bebas. Oleh sebab itu, negeri ini tidak hanya membutuhkan solusi teknis, lebih dari itu, Indonesia membutuhkan solusi sistemis yang merujuk pada Islam untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Khatimah

Di bawah asuhan kapitalisme, modernisasi pertanian akan  selalu bergeser dari tujuan awalnya. Sedangkan untuk mewujudkan swasembada pangan, negara harus menerapkan pendekatan pertanian yang berkelanjutan, memperhatikan keadilan sosial, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Terkhusus kepala negara, semestinya mampu berperan sebagai subjek kebijakan, bukan objek dari kebijakan kapitalis global.

Sebaliknya, Islam memiliki metode khas untuk mewujudkan suatu negara menjadi negara yang independen dan antikrisis. Implementasi Islam secara kaffah akan menjadikan negara berdaulat. Mulai dari karakteristik politik ekonomi Islam yang memanusiakan manusia, mewajibkan penguasa me-riayah urusan rakyatnya hingga pengaturan hak kepemilikan. Wallahua’lam bishawab. []

#MerakiLiterasiBatch2
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Di Balik Gagasan Woman Support Woman
Next
Fosil dan Perannya dalam Rekontruksi Kehidupan
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
4 months ago

Modernisasi pertanian di bawah sistem kapitalisme tetap tidak bisa menjadi solusi bagi petani di negeri ini. Nasib petani tetap saja menyedihkan. Semua rantai dari hulu hingga hilir sudah dikuasai korporasi besar. Hanya mimpi rasanya melihat petani sejahtera saat ini.

Angesti Widadi
4 months ago

Kalo bahasanya anak muda mah bilangnya "Daebakk", naskah ini luar biasa kerennya, dikupas setuntas tuntasnya! keren

Mahganipatra
Mahganipatra
4 months ago

Modernisasi pertanian akan menjadi jalan untuk meraih kesejahteraan para petani jika didukung dan dilaksanakan oleh negara Islam. Sayangnya, hal ini hanya akan menjadi bumerang ketika dilandasi oleh ruh kapitalisme. Rakyat khususnya petani akan semakin sengsara. Tanpa modernisasi pertanian saja para petani sudah terlatih apalagi dikuasai oleh para korporasi di bidang alsintan. Duh jadi sedih ingat di kampung yang mayoritas buruh tani....

Hanimatul Umah
Hanimatul Umah
4 months ago

Mengharap kesejahteraan bagi petani di era kapitalisme memang hanya mimpi belaka. Hanya di sistem Islam petani akan sejahtera dan jauh dari kesulitan berkaitan dengan proses produksi pertaniannya. Barakallah buat penulis.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram