Food waste merupakan salah satu imbas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Problem ini pun kian membuktikan buruknya distribusi pangan di tengah masyarakat saat ini.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Food waste masih menjadi problem yang belum terselesaikan di negeri ini, bahkan Indonesia menjadi juara pertama food waste di Asia Tenggara dan menduduki posisi keempat di dunia. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwignyo bahwasanya sampah makanan atau food waste di Indonesia terbilang sangat tinggi sehingga mereka berupaya merancang strategi untuk mengatasi permasalah tersebut (cnbcindonesia.com, 13-07-2024).
Sebelumnya, United Nations Environment Programme (UNEP) bertajuk Food Waste Index Report 2024 juga merilis data jumlah sampah makanan di Indonesia. Dalam laporannya disebutkan, Indonesia menempati posisi tertinggi dengan jumlah food waste atau sampah makanan rumah tangga dengan jumlah mencapai 14,73 juta ton per tahun. (unep.org, 02-04-2024). Sebagai pengetahuan, menurut laporan Bappenas, jenis makanan yang sering dibuang yakni beras dan jagung. Bappenas menyebutkan, sisa makanan dari jenis beras dan jagung yakni mencapai 3,5 juta ton (cnbcindonesia.com, 03-07-2024).
Problem di atas seharusnya menjadi bukti bahwa rakyat Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga makanan yang harusnya dikonsumsi untuk menambah energi justru terbuang percuma. Lantas, benarkah rakyat negeri ini sejahtera?
Ironi Food Waste
Predikat Indonesia yang menjadi juara di ASEAN sebagai negara food waste seharusnya membuktikan bahwa rakyat negeri ini telah berada pada kata "sejahtera" atau rakyat telah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya per individu. Namun, predikat tersebut nyatanya justru berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh rakyat negeri ini. Pasalnya, Indonesia hingga saat ini masih mengalami problem stunting atau kekurangan gizi yang tidak kunjung terselesaikan.
Berdasarkan laporan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2021 sebesar 24,4% menjadi 21,6% di tahun 2022. Kemudian, pada tahun 2022 sebesar 21,6% menjadi 21,5% pada tahun 2023. Memang benar, terjadi penurunan angka stunting dari tahun ke tahun, tetapi angka ini masih terbilang cukup tinggi. Menurut Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK YB. Satya Sananugraha, walaupun prevalensi stunting Indonesia mengalami penurunan, tetapi angka tersebut masih cukup tinggi.
Di sisi lain, menurut data WHO dan UNICEF, prevalensi stunting Indonesia masih menempati posisi tertinggi yakni pada urutan ke-27 dari 154 negara di dunia, sedangkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menduduki posisi kelima. (Kemenkopkm.go.id, 21-07-2023). Dari fakta tersebut membuktikan bahwa stunting masih menjadi problem yang membelit negeri ini. Namun, ironisnya banyak makanan yang terbuang percuma, padahal menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, sisa makanan yang terbuang setiap tahunnya bisa menjadi sumber energi sekitar 62% dari total penduduk Indonesia yang kekurangan energi. Lantas, mengapa sisa makanan tersebut tidak terserap, padahal sebagian besar penduduk masih mengalami problem kelaparan hingga stunting?
Buruknya Distribusi Pangan
Sungguh ironis nasib negeri ini, di satu sisi banyak sisa makanan yang terbuang, terkhusus beras dan jagung sebagai makanan pokok. Namun, di sisi yang lain sebagian masyarakat negeri ini juga berada di bawah garis kemiskinan hingga menyebabkan stunting. Kondisi ini kembali mencerminkan buruknya distribusi pangan di negeri ini. Dengan kata lain, produksi banyak, tetapi tidak mampu terserap oleh masyarakat seluruhnya sebagai asupan gizi.
Buruknya distribusi bisa dilihat dari pengelolaan beras oleh para penguasa negeri ini. Kita ketahui, para penguasa berusaha menggenjot produksi panen padi untuk menjaga ketersediaan beras di tengah masyarakat dan menjaga stabilitas harga beras. Akan tetapi, pada waktu yang sama para penguasa membuka keran impor beras di tengah panen raya. Kondisi ini pun jelas membuat beras bertumpuk di gudang Perum Bulog. Alhasil, beras menjadi berkutu dan tidak layak konsumsi yang berakhir pada penyusutan pangan karena terlalu lama berada di gudang.
Contohnya, pada tahun 2023, bantuan beras untuk masyarakat di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tidak layak konsumsi. Kondisi belasan karung beras tersebut berjamur, menggumpal, dan terdapat kutu beras di dalamnya. Kepala Desa Dadap, Kabupaten Indramayu Asyriqin Syarif Wahadi menyebutkan bahwa beras tersebut merupakan bantuan ketahanan pangan dari Badan Pangan Nasional. Artinya, beras tersebut berasal dari Perum Bulog (detik.com, 17-05-2023).
Buruknya distribusi pangan ini tidak hanya terjadi pada jenis beras, tetapi juga terjadi pada jenis pangan lainnya seperti sayuran, jagung, buah-buahan, dan lainnya. Acapkali beredar video para petani lebih memilih membuang hasil panen mereka daripada menjualnya. Hal ini karena mereka merasa rugi akibat anjloknya harga di pasaran, sedangkan biaya produksi lebih tinggi.
Buruknya distribusi ini pun terus berulang sampai saat ini yang berakhir pada food waste dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negeri ini. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) mengungkapkan sebuah laporan bahwa terdapat potensi kerugian ekonomi mencapai Rp551 triliun setiap tahunnya yang disebabkan food loss atau susut pangan pascapanen dan food waste atau sampah pangan. Kondisi ini wajar terjadi dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme.
Sistem Kapitalisme Dalangnya
Sistem ekonomi kapitalisme merupakan akar masalah dari food waste yang disebabkan buruknya distribusi pangan. Dalam pandangan sistem ekonomi kapitalisme, distribusi merupakan tersedianya pasokan kebutuhan pokok rakyat di pasar sesuai dengan jumlah masyarakat. Mereka tidak melihat, apakah barang itu dapat terserap dan mampu dibeli oleh rakyat ataukah tidak, padahal ketika ada satu rakyat yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya bisa dikatakan negara tersebut gagal melakukan distribusi. Mereka justru beranggapan bahwa solusi kelangkaan bahan pangan di tengah masyarakat dengan cara meningkatkan produksi barang tersebut. Alhasil, negara hanya fokus untuk menggenjot produksi barang dan jasa, tanpa memperhatikan terserapnya produksi barang oleh individu per individu rakyat.
Fokus negara kepada produksi barang ini juga sebagai salah satu upaya peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebab sistem kapitalisme beranggapan bahwa apabila produksi barang naik, PDB akan tumbuh. Pertumbuhan PDB itu merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara.
Di sisi lain, kesalahan dalam masalah distribusi pangan menjadi sebuah kewajaran dalam sistem ekonomi kapitalisme. Pasalnya, distribusi yang harusnya dilakukan oleh negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh masyarakat justru diserahkan kepada para oligarki atau pengusaha. Negara hanya berfungsi sebagai regulator, yaitu negara memberikan kekuasaan kepada swasta untuk melakukan distribusi pangan, sedangkan penguasa hanya menerima laporan dari distribusi tersebut. Mereka tidak memastikan apakah seluruh masyarakat mampu menjangkau bahan pangan tersebut ataukah tidak.
Alhasil, ketika para pengusaha yang bermain dalam proses distribusi pangan, standar yang digunakan bukan lagi terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, melainkan keuntungan yang harus diperoleh para pengusaha tersebut. Hal ini menjadi wajar ketika bahan pangan di lapangan sangat melimpah, tetapi tidak terserap oleh seluruh masyarakat disebabkan mahalnya harga bahan pokok tersebut. Lihat saja stok beras yang melimpah di pasaran, tetapi banyak masyarakat yang tidak bisa membelinya. Kemudian, ketika bahan pokok tidak terserap oleh masyarakat, hasil akhirnya jelas mengalami kerusakan dan dibuang akibat tidak layak konsumsi lagi.
Tidak hanya itu, sistem ekonomi kapitalisme juga membuat harta hanya beredar di kalangan si kaya, sedangkan si miskin tetap berada di posisi miskin. Hal ini disebabkan tidak ada pengaturan tentang distribusi harta secara sempurna. Prinsip ekonomi kapitalisme terhadap sebuah harta adalah kebebasan, siapa pun yang memiliki harta, mereka bisa menguasai dan memiliki harta apa pun termasuk harta kepemilikan umum seperti tambang emas, batu bara, nikel, dan lainnya.
https://narasipost.com/opini/05/2024/food-loss-bukti-gaya-hidup-bermasalah/
Selain itu, sistem kapitalisme juga membentuk manusia memiliki sikap hedonis. Makanan bukan lagi dipandang sebagai kebutuhan untuk memenuhi nutrisi tubuh, tetapi hanya sebatas untuk memenuhi gaya hidup hedonis. Alhasil, sebagian besar masyarakat rela membuang makanan dengan percuma karena konsumsi yang berlebihan.
Sejatinya, permasalahan food waste merupakan permasalahan yang menyeluruh yang membutuhkan perubahan mendasar, bukan sekadar solusi parsial. Misalkan, penguasa membuat Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan ataupun menerapkan denda bagi orang yang membuang makanan. Semua solusi itu tetap tidak akan menyelesaikan food waste sebab solusi utamanya berada pada sistem ekonomi kapitalisme yang tidak akan mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan per individu rakyat.
Islam Menjamin Kebutuhan Rakyat
Food waste sejatinya hanya bisa diselesaikan dengan penerapan Islam secara kaffah dalam sendi kehidupan manusia. Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, kesejahteraan rakyat menjadi fondasi utama untuk menjalankan roda perekonomian, sedangkan indikator kesejahteraan rakyat dalam pandangan Islam adalah terpenuhinya kebutuhan per individu rakyat. Dengan demikian, Islam mewajibkan khalifah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan per individu rakyat, baik sandang, pangan, dan papan, serta pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Seorang khalifah menjadi penanggung jawab pengurusan urusan rakyat. Pengurusan urusan rakyat tidak boleh diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Prinsip kepemimpinan pun bukan berdasarkan untung rugi, tetapi kesejahteraan rakyat. Hal ini sebagai wujud tanggung jawab negara kepada rakyat. Rasulullah bersabda,
“Imam/khalifah adalah pengurus atau pelayan bagi rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan dan pelayanan kebutuhan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Mekanisme Distribusi Pangan
Dalam pemenuhan kebutuhan rakyat, Islam memiliki mekanisme sempurna untuk mendistribusikan pangan agar tiap-tiap masyarakat mampu untuk menjangkaunya, serta rakyat terhindar dari perilaku mubazir.
Ada beberapa mekanisme praktis yang dilakukan oleh khalifah, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Islam mewajibkan seluruh laki-laki yang sudah balig untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Mekanisme ini ditempuh dengan cara membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya oleh negara.
Kedua, negara memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak bersikap hedonis. Makanan merupakan sumber kekuatan bagi tubuh yang diatur sesuai syariat Islam sehingga mengonsumsinya harus sesuai dengan syariat Islam, yakni halal, tayib, dan tidak berlebihan. Negara memberikan edukasi untuk menghindari perilaku mubazir sebab perilaku tersebut tidak disukai Allah. Islam justru mengajarkan untuk saling berbagi. Ketika memiliki makanan berlebih, alangkah baiknya diberikan kepada tetangga. Dengan demikian, tidak ada yang akan membuang makanan dengan semena-mena.
Ketiga, khalifah akan memperhatikan sistem pertanian, yakni produksi pertanian dimaksimalkan dengan cara memberikan kemudahan para petani dalam mengelola lahan pertaniannya. Negara tidak akan membiarkan lahan pertanian menganggur selama tiga tahun berturut-turut. Ketika ada lahan pertanian yang menganggur selama tiga tahun berturut-turut, negara akan memberikan lahan tersebut kepada siapa pun yang bisa mengelolanya dengan cara "menghidupkan" (mengelola) atau memagarinya.
Di sisi lain, untuk memaksimalkan produksi pertanian, negara juga menyediakan bibit unggul, pupuk murah, dan membantu membangun sarana dan prasarana penunjang keberhasilan panen. Misalkan, membangun bendungan, drainase, kincir angin, dan lainnya. Tidak hanya itu, khalifah juga akan melakukan penelitian guna meningkatkan produksi pertanian.
Keempat, negara menjadi penanggung jawab dalam pendistribusian pangan. Seorang khalifah memastikan bahwa seluruh rakyatnya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Ketika terjadi kekurangan pasokan di suatu daerah, sedangkan di daerah lain memiliki kelebihan pasokan, khalifah akan mengirim surat kepada para gubernur untuk menyuplai daerah yang kekurangan pasokan tersebut. Dengan demikian, ketersediaan pasokan akan stabil.
Kelima, negara melakukan pengawasan di setiap pasar agar pasar berjalan sesuai dengan permintaan dan penawaran secara wajar, tidak disetir oleh oknum-oknum tertentu. Negara akan terjun mencegah terjadinya kecurangan dalam pasar seperti penimbunan bahan pangan, monopoli harga, dan praktik-praktik nakal di dalam pasar. Negara menerapkan sanksi bagi oknum-oknum nakal tersebut dengan tegas dan adil.
Dengan beberapa mekanisme di atas, food waste pun dapat teratasi. Begitu pula distribusi pangan akan sampai pada setiap individu rakyat. Kesejahteraan rakyat akan tercapai.
Khatimah
Food waste merupakan salah satu imbas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Problem ini pun kian membuktikan buruknya distribusi pangan di tengah masyarakat saat ini. Oleh karena itu, sudah saatnya kaum muslim sadar bahwa negeri ini tidak akan pernah lepas dari permasalahan pangan ketika masih bersandar pada sistem ekonomi kapitalisme. Sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam sebab hanya Islam yang memiliki pengaturan yang sempurna dalam kehidupan manusia. Wallahua'lam bishawab. []
Syukron jazakillah Mom dan Tim NP