”Khilafah senantiasa mengawasi rantai perdagangan dan menegakkan sanksi bagi siapa saja yang terbukti melakukan pelanggaran syariat.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Untuk ke sekian kalinya, inflasi kembali mendera negeri ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi bulan Juni lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan Mei, yakni dari 0,09% menjadi 0,14%. Penyumbang utama inflasi kali ini akibat meningkatnya harga komoditas tertentu, seperti harga ayam ras dengan andil sebesar 0,06%, biaya transportasi sebesar 1,23%, dll.
Dilansir dari CNN Indonesia (3/7/2023), Ketua Umum Garda Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Herry Dermawan mengungkapkan bahwa sebenarnya harga ayam tidak mengalami kenaikan, tetapi telah berganti harga. Perlu diketahui bahwa harga ayam meningkat hampir di semua wilayah, yang biasanya berkisar antara Rp30.000/kg meningkat menjadi Rp50.000/kg.
Lagi! Terkait kasus ini, pemerintah berdalih bahwa penyebab kenaikan harga ayam karena banyaknya permintaan menjelang Iduladha. Anehnya, mengapa pemerintah tidak mampu memprediksi dan mengantisipasi dengan cepat terkait jumlah permintaan daging ayam yang sudah pasti akan meningkat menjelang Iduladha.
Penyebab Kenaikan Harga
Inflasi merupakan penyakit bawaan ekonomi kapitalisme yang membuat harga barang dan jasa meningkat secara terus-menerus. Banyak faktor yang memicu terjadinya inflasi, seperti meningkatnya permintaan di saat jumlah produksi tetap atau menurun. Ironisnya, dari lebaran Idulfitri tahun lalu hingga saat ini, harga daging ayam tidak mengalami penurunan. Jika ditelusuri, ada beberapa faktor yang memicu semua ini, antara lain:
Pertama, meningkatnya biaya produksi. Diketahui bahwa biaya pakan ternak akan mempengaruhi biaya produksi ayam sebesar 55,1%. Umumnya, bahan pokok pakan adalah jagung. Sedangkan, antara Januari hingga Maret 2023, harga jagung meningkat dari Rp4.049/kg menjadi Rp6.008/kg. Oleh karena itu, kenaikan harga jagung yang signifikan akan mempengaruhi harga pakan ternak (www.neraca.co.id, (24/5/2023).
Kemudian, salah satu penyebab mahalnya harga jagung karena minimnya pasokan dalam negeri. Bukan memajukan pertanian dalam negeri, pemerintah justru mengimpornya dari beberapa negara. BPS menunjukkan bahwa impor jagung meningkat pesat pada Januari 2023, yakni sebesar 97,48 juta kilogram. Alhasil, Indonesia telah mengimpor sebesar 60% untuk mengatasi minimnya pasokan pakan ternak nasional. Misalnya, soybean meal yang diimpor dari produsen utama, yakni Cina dan AS. (CNBC Indonesia, (17/6/2022)
Inilah yang membuat para peternak ayam mandiri dalam skala kecil mengalami tekanan dan kerugian akibat harga pakan yang terus naik. Alhasil, selama tiga tahun ini, mereka terpaksa terus menaikkan harga ayamnya untuk tidak rugi.
Kedua, alur atau rantai distribusi yang panjang dan mahal. Harga ayam di toko ritel besar sebenarnya agak cenderung murah karena mereka mendapatkan ayam dari distributornya langsung. Sedangkan di pasar tradisional alurnya lebih panjang, mulai dari peternak pertama, kemudian ke distributor, lanjut ke bandar-bandar, dan terakhir ke pengecer. Makanya harganya bisa membengkak.
Umumnya, pembengkakan harga tersebut akibat naiknya biaya transportasi, imbas naiknya harga BBM. Selain itu, jalur yang panjang ini biasanya akan dimanfaatkan oleh para broker dan pedagang pengecer culas untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Karena umumnya, konsumen di pasar tradisional tidak tahu harga persis di tingkat peternak. Artinya, ada pihak yang sengaja memanfaatkan momen Lebaran untuk menahan persediaan ayam sampai mengalami kelangkaan agar harganya mahal.
Padahal ‘kan, pemerintah daerah telah berkoordinasi dengan Satgas Pangan Polri dan instansi terkait untuk memastikan kelancaran distribusi transportasi pangan. Namun, mengapa praktik seperti ini terus terulang? Dari sini dapat disimpulkan bahwa negara selalu gagal memangkas dan mengawasi rantai distribusi untuk mengurangi margin harga sampai di tingkat konsumen.
Ketiga, ekspor di saat yang tidak tepat. Bukan mendistribusikannya ke daerah yang kekurangan ayam, pemerintah melalui PT Japfa Comfeed Indonesia justru mengekspor 23.040 ekor ayam atau setara 41,47 ton ke Singapura (13/5/2023). Di tengah stok ayam yang menipis, Indonesia justru menjadi alternatif sumber pasokan ayam bagi negara Singapura karena kebutuhan ayam di sana terus meningkat.
Jalan Buntu Ekonomi Kapitalisme
Sejatinya, harga pangan yang terus meningkat dan memicu inflasi berpangkal pada lemahnya peran negara dalam mengatur sektor pertanian dan peternakan. Alhasil, berbagai komoditas penting seperti jagung, pakan ternak, bibit ayam, bahkan hampir semuanya diimpor. Indonesia sendiri menjadi importir pakan terbesar kedua di dunia setelah Uni Eropa, yakni 35,38 juta ton. (CNBC Indonesia, 17/6/2022)
Bukankah mengemukanya aktivitas impor bahan baku ternak di negeri agraris seperti Indonesia merupakan hal yang harus dipertanyakan. Kebijakan impor mungkin akan menjadi solusi jangka pendek untuk meningkatkan stok bahan pangan di dalam negeri. Namun, jika sifatnya berkelanjutan akan membuat kondisi ekonomi tidak sehat karena solusi ini akan berpengaruh pada paradigma pengelolaan sumber daya pangan di dalam negeri. Ketergantungan pada impor dan asing akan memandulkan peran dan tanggung jawab negara untuk memaksimalkan pengelolaan di bidang pertanian dan peternakan nasional.
Sebaliknya, kebijakan ini akan menguntungkan produsen atau perusahaan selaku korporasi besar yang berkekuatan multinasional. Para kapitalis dengan modal besar akan menguasai pasar, dari sektor produksi, hulu hingga hilir. Sedangkan peternak mandiri dengan modal kecil akan tersingkir dengan sendirinya karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar. Bagaimana tidak, mereka akan kewalahan memenuhi kebutuhan produksi, seperti bibit ayam dan pakan ternak yang harganya kian meningkat. Sedangkan para korporasi besar telah memegang lisensi impor bahan baku dalam negeri dengan mudah.
Parahnya, negara hanya fokus pada produksi tanpa memperhatikan distribusinya. Kemudian, semua ini diperburuk oleh penerapan pasar bebas yang meniscayakan adanya distorsi pasar. Selalu saja ada pihak yang ingin menguasai pasar untuk memperoleh keuntungan di atas batas wajar. Tentu saja, para pemilik modal menggunakan kesempatan ini untuk mengeruk keuntungan dari berbagai sektor.
Negara pun tidak lebih hanya sebagai regulator dan fasilitator bagi para kapitalis dengan aneka kebijakan yang tidak prorakyat. Kebijakan yang dikeluarkan hanya berpihak pada korporasi dengan memberikan kebebasan untuk mengelola aset publik secara masif. Mereka bebas melakukan ekspor-impor tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi rakyat.
Umat Membutuhkan Khilafah
Dalam Islam, negara berperan sebagai pelayan yang mengatur semua urusan rakyat, termasuk menyediakan kebutuhan pokok. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Imam/pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk memaksimalkan penyediaan bahan pangan sampai pada rakyatnya, Khilafah akan menerapkan beberapa kebijakan, antara lain:
Pertama, mengatur produksi, penawaran, dan daya beli masyarakat. Untuk mengatur hal ini, Khilafah harus memiliki data akurat yang terukur jelas terkait jumlah penawaran daging ayam di lapangan. Permintaan yang terukur akan memudahkan peternak lokal menyesuaikan produksinya sesuai kebutuhan masyarakat. Mulai dari hulu, Khilafah akan melakukan perhitungan data terkait permintaan bibit ayam dan pakan ternak, misalnya jagung. Setelah data ditemukan maka Khilafah akan mengerahkan segala potensi yang ada di dalam Daulah untuk memenuhi penawaran tersebut secara mandiri.
Urusan vital seperti ini tidak boleh diserahkan oleh kapitalis asing, apalagi harus bergantung padai impor. Sebab, semua ini merupakan komoditas yang dibutuhkan rakyat dan akan memengaruhi kestabilan pangan dalam negeri.
Agar daya beli masyarakat tetap tinggi dan kompetitif maka Khilafah akan berupaya menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dewasa untuk menunaikan tanggung jawabnya sesuai syariat Islam. Negara juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kemajuan industri yang mampu menyerap kebutuhan daging ayam, misalnya industri sosis yang halal dan tayib. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan ekonomi tetap berjalan karena kebutuhan daging ayam akan meningkat.
Demi menekan biaya produksi, negara tidak boleh gegabah mengeluarkan kebijakan impor untuk memenuhi pakan ternak dalam negeri. Karena itu, Khilafah harus memenuhi bahan pakan secara berkesinambungan dengan memaksimalkan lahan pertanian. Khilafah juga akan memberi kemudahan bagi para petani untuk memperoleh pupuk, bibit, dan pestisida yang murah.
Demi memenuhi kebutuhan daging ayam yang meningkat di hari-hari besar, Khilafah tetap mengoptimalkan produksi dari peternak lokal. Berdasarkan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, Khilafah akan mengantisipasi dengan menyediakan stok yang sesuai penawaran.
Selain itu, Khilafah akan mendukung para ilmuwan untuk melahirkan teknologi modern yang mendukung peternakan dan pertanian, seperti menemukan pakan ternak yang bergizi tinggi dan bibit ayam unggul. Para ilmuwan akan mendapat dukungan penuh oleh Khilafah dengan menyediakan laboratorium, perpustakaan, kandang percobaan, dan dukungan dana penelitian, serta penghargaan atas karya mereka.
Kedua, mengatur jalur distribusi di dalam Khilafah. Negara dalam Islam akan mengatur distribusi hasil produksi agar harga terjaga dan ketersediaannya merata di seluruh wilayahnya. Negara juga akan memastikan mekanisme pasar berjalan dengan benar sesuai syariat Islam. Negara tegas mengharamkan penimbunan, mafia, kartel, penipuan, dan segala transaksi yang mengandung unsur riba.
Apabila produksi dan jumlah daging ayam melimpah di suatu daerah, maka negara akan mendistribusikan ke daerah yang kekurangan. Untuk itu, Khilafah akan mengawasi rantai distribusi, seperti biaya jasa angkut, biaya karyawan, dan biaya prosedural lainnya. Jika jumlah daging ayam berlimpah dan telah memenuhi kebutuhan seluruh warga Khilafah, maka negara boleh mengeluarkan kebijakan ekspor ke negara lain yang membutuhkan.
Khilafah senantiasa mengawasi rantai perdagangan dan menegakkan sanksi bagi siapa saja yang terbukti melakukan pelanggaran syariat. Untuk kasus ini, ada qadi hisbah yang bertugas mengawasi tata niaga di pasar dengan memastikan makanan yang beredar sudah halal dan tayib. Semua pejabat negara Khilafah memiliki pola pikir bahwa tugas ini dilakukan demi kemaslahatan umat dan sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah Swt.. Tidak seperti kapitalisme, semua dilakukan atas dasar bisnis demi meraih keuntungan sebesarnya-besarnya.
Penerapan semua kebijakan ini akan mendatangkan kemaslahatan bagi warga negara dalam Khilafah, baik penjual maupun konsumen. Dengan penerapan Islam secara kaffah, maka pedagang dapat memperoleh barang dengan mudah dan murah, sehingga konsumen dapat memperoleh harga dengan wajar dan terjangkau. Semua ini membuktikan bahwa syariat Islam sesuai dengan fitrah manusia dan mampu menjadi solusi tuntas bagi persoalan kehidupan manusia.
Wallahu a’lam bishawwab.[]
umat butuh peraturan yang jelas lagi haq.. yakni peraturan Islam....
Dalam sistem kapitalisme, para pengusaha yang memegang kendali. Keadaan pasar pun mereka yang memainkannya. Demi keuntungan golongan tertentu, rela melakukan apa saja yang merugikan rakyat.
Sistem kapitalis yang diterapkan terbukti gagal menstabilkan harga pangan. Naiknya harga ayam karena tingginya permintaan saat lebaran idul Adha hanya secuil alasan. Nyatanya masalah dari hulu hingga hilir tak mampu diatasi. Solusi yang dihadirkan hanya jangka pendek impor. Namun solusi jangka panjang tak mampu sistem kapitalis hadirkan. Maka kembali pada sistem Islam adalah solusi terbaik. Agar inflasi dan kenaikan harga tak terulang lagi.
Kenaikan harga yang terus menerus sudah menjadi problem sistem kapitalisme. Negara yang seharusnya bertanggung jawab, justru hanya jadi regulator. Makanya gak heran, solusi yang dikeluarkan pemerintah justru selalu lebih condong pada para kapitalis, bukan rakyat. Tata kelola kapitalisme yang karut-marut justru menambah hidup rakyat makin sengsara.
Kenaikan harga yang terus menerus sudah menjadi problem sistem kapitalisme. Negara yang seharusnya bertanggung jawab, justru hanya jadi regulator. Makanya gak heran, solusi yang dikeluarkan pemerintah justru selalu lebih condong pada para kapitalis, bukan rakyat. Tata kelola kapitalisme yang karut-marut justru menambah hidup rakyat makin sengsara.
Iyaa,jika ketersediaan dalam negeri minim, pemerintah langsung keluarkan kebijakan impor. Coba uang impornya digunakan untuk mengelola pertanian dalam negeri, y. Giliran ada perusahaan yang menghasilkan banyak pangan, ee langsung diekspor ke luar, bukan didistribusikan ke wilayah yang kekurangan. Akhirnya pangan dalam negeri stoknya terbatas dan harganya mahal. Semua kebijakannya tidak melihat ke bawah, ke rakyat. Seperti kemarin, kasus minyak goreng. Aneh sekali, di sebelah kami itu ada gunung pohon sawit semua,tapi kenapa di daerah kami stok minyak goreng langkah dan mahal.
MasyaAllah tulisan Mbak Muthiah keren. Menyodorkan solusi Islam yang gamblang terhadap problem kenaikan harga daging ayam. Seharusnya pemegang kebijakan negeri ini yakin dan mau mengambil sistem Islam untuk mengurusi urusan rakyatnya.
Inflasi disebabkan permintaan yang tinggi sedangkan stok barang minim. Nyatanya stok barang itu banyak, hanya distribusinya yg tidak merata.
Harga ayam hingga sekarang masih tinggi. Bukti bahwa sistem kapitalisme telah gagal memberikan kesejahteraan.
Hingga sekarang harga ayam ga mau turun, makin tak terjangkau oleh rakyat kecil. Sistem ini tak pernah memihak rakyat.
Lagu lama ketika harga mahal karena banyaknya permintaan. Memang ada yang perlu diperbaiki dari tata kelola negaranya.