Disahkannya UU KIA adalah bukti pergerakan masif negara, menciptakan zona kerja yang produktif dan inklusif bagi wanita
Oleh. Witta Saptarini, S.E
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam yang bengkok, maka jangan menjadikannya sebagai tulang punggung. Ia pun tak sekadar menemani Adam di dunia, namun memiliki tupoksi menjalankan peran strategis dan politis atas mandat Sang Pencipta sesuai fitrahnya. Maka, bila kaum hawa ditakdirkan menyandang predikat ibu, kedua peran tersebut memiliki korelasi yang kuat, menjadi prasyarat mencetak profil generasi cemerlang pengukir peradaban. Tak heran, setiap ibu tak ingin melewatkan momentum paling krusial bagi tumbuh kembang anak dari seluruh siklus hidupnya, yakni masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Dari perspektif medis dan psikologis, di masa emas ini terjadi perkembangan otak 80%, sebagai modal awal dan cadangan untuk anak di masa depan, yang memengaruhi kecerdasan dan bakat. Bahkan, potensi lainnya yang ditentukan golden period.
Oleh sebab itu, asistensi pada golden period ini menjadi poin yang crucial dan critical, dalam UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang baru saja disahkan 4 Juni 2024, dengan dimensi luas sesuai terms and conditions, yang dirancang untuk mewujudkan generasi emas dan menyejahterakan keduanya. Dalam Pasal 4 dan 5, pada fase tersebut ibu pekerja memiliki hak cuti 6 bulan, yakni 3 bulan dengan full salary hingga bulan ke-4. Kemudian, 75% di bulan ke-5 dan ke-6 alias pada 3 bulan tambahan, bila ada komplikasi dan kondisi medis lain pada ibu dan anak. Pun, hak cuti pendamping (suami) turut diatur dalam Pasal 6, yakni 2 hari pendampingan persalinan. Kemudian, mendapat maksimal 3 hari tambahan sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja. Bilamana mengalami keguguran, ibu pekerja mendapat cuti recovery 1,5 bulan, dan 2 hari untuk suami.(Kompas.com, 5-6-2024)
Menuai Kontroversi
Baru saja disahkan, kalangan pebisnis ramai menyoroti UU KIA. Bahkan, reaksi cepat datang dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Di satu sisi, Shinta Kamdani memberi support atas upaya pemerintah menyejahterakan ibu dan anak. Di sisi lain, menilai aturan yang ditetapkan dalam UU KIA berpotensi merugikan para pengusaha. Pasalnya, secara financial maupun non-financial memengaruhi marginal cost sebagai salah satu instrumen memaksimalkan profit dalam konstelasi ekonomi bisnis. Bahkan, berimplikasi pada rekrutmen pekerja wanita. Tak ketinggalan, Sekjen Komisi Perempuan Indonesia pun turut memberi reaksi sefrekuensi. Mike Verawati Tangka menilai, pemerintah terlalu bersicepat melegalkan UU KIA ini. Ia khawatir dalam hal rekrutmen, banyak perusahaan akan mempertimbangkan bahkan mengeliminasi pekerja wanita.
Faktanya, implementasi cuti melahirkan pada UU Kesejahteraan Ibu dan Anak sebelumnya, kerap terjadi pelanggaran dan intimidasi pada ibu pekerja. Seperti halnya pemutusan kontrak atau hubungan kerja sementara di sebagian perusahaan, saat ibu hamil dan melahirkan tanpa kompensasi. Artinya, secara prosedur boleh melamar kerja kembali setelah melewati masa tersebut.
Aroma Menyengat Pemberdayaan Perempuan
Perlu diketahui, bahwasanya UU ini masih prematur. Sebab, belum ada kekuatan hukum yang mengikat terkait konsekuensi dan sanksi. Wakil Ketua Komisi VIII, Diah Pitaloka menyatakan, belum ada UU turunan yang mengatur terkait pengawasan implementasi. Bilamana perempuan melahirkan tidak mendapat hak cutinya, akan ada pendampingan hukum dari pemerintah. Artinya, masih banyak “PR” terkait penegakan hukumnya. Pun, dalam praktiknya belum menghadirkan rasa keadilan. Justru, hal ini menjadi blunders (kesalahan serius) dan backfired (bumerang) bagi pemerintah.
Kendatipun demikian, ambisi pemerintah kian bergelora melegalkan UU KIA, seolah berjuang demi menyejahterakan ibu dan anak. Namun, tercium aroma menyengat pemberdayaan perempuan demi membidik pencapaian ekonomi. Seperti pernyataan salah satu petinggi F-Sarbumusi, Irham Ali Saifudin, bahwa disahkannya UU KIA adalah bukti pergerakan masif negara, menciptakan zona kerja yang produktif dan inklusif bagi wanita.
https://narasipost.com/opini/05/2024/pemberdayaan-perempuan-benarkah-memuliakan/
Sungguh sesat nalar cara pandang materialis ini, kaum hawa dipaksa menjadi tulang punggung atas nama pemberdayaan perempuan dalam sektor ekonomi. Tak heran, karakter regulasi dalam sistem kapitalisme tak ramah perempuan, namun dipoles secantik mungkin demi pergerakan ekonomi. Ya, benar-benar merepresentasikan terminologi “beauty is pain”, ingin cantik namun menyakitkan. Ideologi yang menjadikan materi sebagai parameter keberhasilan ini, telah membentuk stereotip bahwa perempuan berkarier adalah perempuan berdaya dan produktif. Alhasil, menyesatkan peran kaum hawa dari tupoksi hakikinya sebagai tulang rusuk suami, ibu, serta pengurus rumah tangga.
Pemberdayaan Sejati dalam Islam
Kaum hawa harus paham, bahwa dalam Islam hukum bekerja bagi mereka adalah mubah alias boleh. Namun, tetap mengemban peran strategisnya yang Allah amanahkan, sebagai al-umm wa rabbatul bayt, yakni pengurus rumah tangga. Meski dituntut membangun keluasan hati dan ilmu, janji surga itu pasti. Sungguh telah diriwayatkan dalam hadis Bukhari Muslim serta Tirmidzi, bahwa Rasulullah saw., memberi kabar gembira melalui sabdanya,
“Ketahuilah wahai ayah dan ibu, jika kalian berupaya menghadirkan kelapangan hati diterjangan badai kegetiran, namun tetap bersih hati dan berbuat makruf terhadap yang Allah amanahkan (anak-anak) kepadamu, niscaya merekalah yang menjadi perisai bagi pengasuhnya (orang tua) dari azab neraka.”
Islam tetap memosisikan status kaum hawa sesuai fitrahnya, sebagai pengemban tugas mulia. Maka, bila aktivitas publik menjadi pilihannya, hendaklah merupakan bagian dari peran keumatannya dalam wujud aktivitas dakwah politik. Pun, asistensi terbaik seorang ibu dimulai sejak anak berusia mumayiz hingga balig. Itulah peran strategis dan politis seorang ibu, yang akan mengantarkan buah hati mereka mewujudkan dan mengisi peradaban Islam gemilang.
Begitu juga perempuan sejahtera dalam Islam tidaklah ahistoris, sebab sejarah peradaban Islam telah membuktikannya di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Ya, penguasa ideologis sekaliber Khalifah Umar sangat paham dengan konsep pemberdayaan perempuan. Dengan mekanisme sesuai syariat Islam, telah menjamin akses penafkahan bagi kaum perempuan. Sehingga, tak ada kewajiban bekerja, apalagi menafkahi diri dan keluarga. Sebab, negara akan memastikan para wali yang mampu menjalankan kewajibannya dalam menafkahi mereka. Namun, jika tidak memiliki wali, perempuan akan mendapatkan nafkah dari negara.
Tentu saja, hal ini akan terwujud dalam pola negara berbasis syariat Islam dengan karakter pelayan rakyat. Lalu, menerapkan sistem ekonomi Islam yang terbukti tangguh dan menyejahterakan, sebab setiap kepemilikan baik umum, individu, maupun negara dikelola sesuai haknya, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar publik. Kemudian, sistem sosialnya tetap memosisikan dan mengarahkan peran perempuan sesuai fitrahnya. Inilah konsep pemberdayaan sejati bagi kaum perempuan dalam perspektif Islam, yakni memuliakan, bukan menjadikannya budak modern. Wallahu a’lam bishawab.[]
Hanya dengan Islam, semua aturan memandang manusianya bukan apa yang bisa dihasilkan oleh manusia. Status hukum perbuatan pun jelas.
WE NEED ISLAM TO BE THE RULE OF LIFE