Negara terus membebani rakyat dengan pajak, sementara para kapitalis terus diberi hak istimewa yang jelas menguntungkan mereka.
Oleh. Raudatul Jannah S.M
(Kontributor NarasiPost.Com & Penulis Pena Banua)
NarasiPost.Com-Pajak merupakan pendapatan utama bagi negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme. Semua hal hari ini ada pajaknya, mulai dari pajak penghasilan, kendaraan bermotor, pertambahan nilai, penjualan atas barang mewah, bumi dan bangunan, dan sebagainya. Di dalam ekonomi kapitalisme, pajak menjadi bagian kebijakan fiskal yang mana kebijakan ini dianggap berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi dan bisnis.
Sayangnya, menurut Ibu Sri Mulyani, penerimaan pajak menjadi anjlok per Maret 2024. Diakibatkan karena setoran beberapa sektor industri turun drastis seperti industri manufaktur sampai industri pertambangan. Total penerimaan pajak per Maret 2024 atau selama kuartal I-2024 hanya sebesar Rp393,9 triliun. Realisasi ini turun 8,8% dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu sebesar Rp431,9 triliun. Sebab anjloknya penerimaan ini menurutnya karena perekonomian domestik yang terdampak tekanan ekonomi global (cnbc.indonesia.com, 26/04/2024).
Pajak dalam Kapitalisme
Sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan ideologi kapitalisme nyatanya sangat lemah. Sebab sumber pendapatan utamanya tidak kokoh, yaitu dari pajak. Jika pajak dijadikan sebagai sumber pendapatan utama tentu hal sangat membebani rakyat.
Kita tentunya tidak asing dengan slogan “Orang Bijak Taat Pajak” atau “Pajak untuk Negeri” dan berbagai slogan yang lain untuk mendorong rakyat terus-menerus membayar pajak. Padahal faktanya kebijakan ini semakin membebani rakyat. Negara tahun ke tahun terus menggenjot berbagai pajak kepada rakyat. Di sisi lain, kebijakan negara terhadap para kapitalis malah diberi hak istimewa semisal tax amnesty dan insentif lainnya. Negara juga dengan mudahnya mengubah aturan terkait pajak tanpa dianggap melanggar aturan negara.
Seperti aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yaitu terkait pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Aturan tersebut diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024, yang menyebutkan salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh). Seperti Tax Holiday Penanaman Modal sebesar 100% untuk badan usaha yang mau menanamkan modal di IKN, Pengurangan PPh hak atas tanah/ bangunan, dan masih banyak lagi insentif pajak penghasilan di IKN (nasional.kontan.co.id , 19/05/2024).
Kebijakan negara seperti ini terkesan lebih pro terhadap para kapitalis dibanding rakyat sendiri. Pasalnya negara terus membebani rakyat, sementara para kapitalis terus diberi hak istimewa yang jelas menguntungkan mereka.
Inilah yang menjadi masalah apabila negara menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan. Negara akan terus mencari legitimasi untuk terus menambahnya, termasuk pungutan pada rakyat yang jelas sangat membebani kehidupan mereka. Padahal negeri ini sangat kaya dengan SDA-nya. Namun, sayangnya atas nama liberalisasi kepemilikan keuntungan SDA bukan malah masuk ke dalam kas negara tapi masuk kepada para kapitalis (swasta).
Selain sebagai sumber utama pendapatan negara, ia pun dijadikan pemerintah sebagai alat untuk “memalak” rakyat. Hal ini terlihat dari kebijakan yang tajam pada rakyat, tetapi tumpul kepada para kapitalis. Tidak ada ampun bagi rakyat yang tidak bisa membayar pajak. Sementara pengusaha yang beromset triliunan rupiah mendapat hak istimewa, justru dengan mudahnya mendapatkan ampunan pajak (tax amnesty) meskipun mangkir dari kewajibannya.
Dharibah dalam Islam
Hal ini berbeda sekali dengan tata kelola sumber keuangan dalam sistem Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara. Pajak di dalam Islam dikenal dengan istilah dharibah, namun secara praktiknya sangat berbeda dengan pajak ala sistem kapitalisme hari ini.
Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga negara, melainkan dharibah hanya dipungut kepada kaum muslim yang kaya saja. Pungutan dharibah dilakukan apabila kas negara kosong, sementara negara harus membiayai kebutuhan yang bersifat genting dan jika tidak segera dipenuhi akan menimbulkan dharar (bahaya). Pungutan ini bersifat sementara dan akan berakhir setelah kas negara (baitulmal) sudah terisi kembali.
Islam memiliki berbagai macam sumber pendapatan negara. Inilah yang membuat Negara Islam memiliki sistem keuangan yang kokoh. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidzamul Iqtisaadiy menjelaskan sistem keuangan negara Islam berbasis baitulmal.
Baitulmal memiliki tiga pos pemasukan:
Pertama, pos kepemilikan negara dari harta fai, kharaj, ganimah dan jizyah. Jenis harta tersebut termasuk pemasukan tetap negara.
Kedua, pos kepemilikan umum yang bersumber dari harta pengelolaan SDA seperti minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai dan sebagainya.
Ketiga, pos zakat bersumber dari zakat fitrah atau zakat maal kaum muslimin seperti zakat emas dan perak, perdagangan, pertanian, perkebunan, peternakan, dan lain-lain. Selain itu, pos ini juga menampung harta sedekah, infak, dan wakaf kaum muslimin.
https://narasipost.com/opini/04/2024/pajak-dan-pembangunan-dalam-islam/
Oleh karena itu, berbagai macam pos pemasukan baitulmal tersebut bisa membuat negara kaya raya dan sanggup untuk membiayai kebutuhan rakyat dan negara. Sementara di dalam ekonomi kapitalisme pajak dijadikan sebagai sumber pemasukan utama. Walhasil inilah yang membuat sistem keuangan ala kapitalisme lemah dan membebani rakyat. []
Karakter penguasa dalam sistem kapitalis, galak sama rakyat, tapi baik banget sama para kapital. Padahal mereka digaji dari urunan rakyat, orang miskin saja ikut urunan. Dalam sistem kapitalis, rakyat tidak ubahnya jadi budak, Jika terus mempertahankan sistem ini, pajak bakal terus naik di tengah korupsi yang kian menggila,