Kewarganegaraan ganda akan membawa konsekuensi hukum ganda bagi diaspora, yakni memangku hak dan kewajiban terhadap dua negara sekaligus
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah berencana akan memberikan kewarganegaraan ganda untuk para diaspora. Diaspora dapat didefinisikan sebagai penduduk suatu negara yang tinggal dan menetap di negara lain. WNI (Warga Negara Indonesia) yang selama ini menetap di luar negeri akan bisa memiliki dua kewarganegaraan. Kewarganegaraan ganda ini juga berarti dalam satu kurun waktu yang sama, para diaspora akan memiliki hak dan kewajiban di dua negara sekaligus.
Christina Aryani, Anggota Komisi I DPR RI berpendapat bahwa wacana kewarganegaraan ganda ini adalah angin segar bagi para diaspora. Ia juga menambahkan bahwa rencana ini dapat diwujudkan melalui revisi UU Kewarganegaraan yang telah masuk ke Program Legislasi Nasional (Proglegnas) 2019-2014. Christina juga menambahkan perlunya political will dari pemerintah, agar DPR dapat segera menyusun dan membahas revisi UU Kewarganegaraan. Ia juga mengatakan bahwa langkah ini telah lama diperjuangkan, sebab Indonesia telah cukup banyak kehilangan para talenta berbakat akibat banyaknya WNI yang melepaskan status kewarganegaraannya. (MediaIndonesia.com, 7-5-2024)
Lalu, siapakah sebenarnya yang diuntungkan dari konsep kewarganegaraan ganda ini? Apakah benar kewarganegaraan ganda ini merupakan angin segar bagi diaspora?
Alasan di Balik Kewarganegaraan Ganda
Konsep kewarganegaraan ganda ini digagas oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Konsep yang akan diberlakukan adalah dengan penerapan skema Overseas Citizen of India (OCI). Sebelumnya, wacana kewarganegaraan ganda ini telah disinggung oleh Menteri Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Skema OCI yang akan digunakan pun mengacu kepada India, di mana para diaspora India memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga India, kecuali hak memilih serta dipilih sebagai pejabat pemerintahan.
Ada empat kelompok yang terkategori sebagai diaspora Indonesia. Pertama, WNI yang tinggal di luar negeri dan masih memiliki paspor RI secara sah. Kedua, WNI yang telah menjadi WNA (Warga Negara Asing) dan tidak lagi berpaspor RI. Ketiga, WNA yang memiliki orang tua atau leluhur di Indonesia. Keempat, WNA yang tidak memiliki pertalian leluhur Indonesia tetapi menetap dan sangat mencintai kebudayaan Indonesia.
Dilansir dari cnnindonesia.com, Luhut beralasan bahwa kewarganegaraan ganda ini akan menarik para diaspora untuk mau kembali ke tanah air, membantu perekonomian, dan dapat membangun negara. Luhut memang menaruh harapan besar pada kewarganegaraan ganda para diaspora untuk membantu laju perekonomian Indonesia. Banyaknya SDM Indonesia yang berkarya di luar negeri seperti menjadi akademisi, ilmuwan, profesional, dan profesi lain mengakibatkan tingginya fenomena brain drain atau hengkangnya SDM Indonesia yang berkualitas.
UU Mengenai Kewarganegaraan Ganda
Mengutip dari Jurnal Konstitusi Volume 13 Nomor 4 Tahun 2016 dari Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM dikatakan bahwa negara Indonesia masihlah menganut single nationality. Adapun praktik kewarganegaraan ganda masih sangat terbatas, yakni hanya kepada anak-anak hasil pernikahan campuran.
UU Kewarganegaraan sebelumnya diatur dalam UU Nomor 52 Tahun 1958 yang mengatur bahwa anak hasil pernikahan silang akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Namun, UU ini dianggap bisa bermasalah apabila terjadi peristiwa perceraian kedua orang tua seorang anak dan hak asuh jatuh kepada ibu. UU ini pun dianggap tidak kompatibel dengan permasalahan yang ada.
Kemudian, peraturan pun berubah. Tahun 2016 pada UU Nomor 12, aturan diubah menjadi anak-anak hasil pernikahan campuran akan memiliki kewarganegaraan ganda hingga usia 18 tahun. Lalu, ia boleh menentukan akan mengikuti kewarganegaraan yang mana.
Adapun WNI yang telah lama menetap di luar negeri selama lima tahun atau lebih tidak melaporkan diri ke Perwakilan Republik Indonesia dan telah kehilangan kewarganegaraan RI maka boleh melaporkan diri dan berhak mendapatkan kewarganegaraan kembali. Akan tetapi, meskipun mengalami perubahan, namun UU di atas tetaplah menganut kepada single nationality dan tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) atau tidak memiliki kewarganegaraan (apatride).
Otak-Atik Aturan demi Siapa?
Kewarganegaraan ganda akan membawa konsekuensi hukum ganda bagi diaspora. Sebab, pada saat yang sama ia akan memangku hak dan kewajiban terhadap dua negara sekaligus. Seseorang dengan kewarganegaraan ganda harus melaksanakan hak dan kewajiban dari kedua negara tersebut. Ia berhak memiliki segala fasilitas di dalam dua negara tersebut dan termasuk di dalamnya pajak berganda.
Pengubahan terhadap UU Kewarganegaraan yang sudah berulang kali terjadi di Indonesia menandakan bahwa peraturan buatan manusia senantiasa berubah, sebab manusia menjadikan masalah yang terjadi sebagai subjek hukum, bukan objek hukum. Belum lagi tiap keputusan yang lahir dari kesepakatan manusia, cenderung sarat dengan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Kewarganegaraan dalam Islam
Kewarganegaraan dalam Islam disebut dengan istilah tabi’iyah yang diambil dari lafaz tabi’, artinya yang mengikuti. Ketika Islam tegak, hanya ada dua kategori negara, yaitu Khilafah Islamiah dan negara kufur. Kewarganegaraan seseorang mengikuti tempat di mana dia tinggal. Jika seseorang tinggal di negara Islam yang menerapkan hukum Islam secara kaffah, maka kewarganegaraannya adalah warga negara Islam. Sedangkan jika seseorang tinggal di negara kafir yang tidak menerapkan hukum Islam, maka kewarganegaraannya adalah warga negara kafir.
Sekalipun negara Islam menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara, tetapi beragama Islam tidak menjadi syarat mutlak memiliki kewarganegaraan Islam. Siapa saja yang tinggal di dalam Khilafah, baik muslim atau kafir, maka ia memiliki kewarganegaraan Islam. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang tinggal di negara kufur, ia tetap memiliki kewarganegaraan kufur walaupun beragama Islam. Tidaklah mungkin menerapkan aturan kufur atas warga negara Islam dan tidak mungkin pula menerapkan aturan Islam kepada warga negara kufur.
Status negara yang ditinggali seseorang akan membawa konsekuensi hukum baginya. Mustahil ia akan memenuhi hak dan kewajiban yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, konsep kewarganegaraan ganda tidaklah ada di dalam Islam. Yang ada hanya warga negara Khilafah dan warga negara kufur.
Asas Kewarganegaraan dalam Islam
Kewarganegaraan dalam Islam ditetapkan oleh dua hal, yakni tempat menetap (makan ‘iqamah) dan loyalitas (wala’) seseorang kepada negara di mana tempat dia tinggal, bukan akidah. Jadi, seorang muslim atau kafir yang memilih tinggal di dalam negara Islam dan menyerahkan loyalitasnya kepada Khilafah maka ia akan memperoleh warga negara Khilafah Islamiah. Seseorang muslim atau kafir yang memilih tinggal di dalam Negara Kufur dan menyerahkan loyalitasnya kepada negara kufur, maka ia adalah warga negara kufur.
Rasulullah pernah bersabda, “Lalu, ajaklah mereka hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin. Beri tahu mereka bahwa jika mereka melakukannya, maka mereka akan mendapatkan hak layaknya kaum Muhajirin dan mendapatkan kewajiban selayaknya kaum Muhajirin.”
Hadis di atas menjelaskan bahwa kewarganegaraan akan diperoleh seseorang bergantung kepada tempat di mana ia tinggal, sebab hal itu akan membawa konsekuensi hak dan kewajiban yang akan ia terima dan laksanakan.
Adapun hadis mengenai kebolehan nonmuslim menjadi warga negara Islam adalah berdasarkan hadis Rasul, “Siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada keyahudiannya dan kenasraniannya, maka ia tidak dipaksa untuk meninggalkan agamanya. Dia wajib membayar jizyah, bagi mereka yang balig baik perempuan maupun laki-laki.”
Oleh karena itu, warga negara Islam bisa terdiri dari kaum musim dan kafir zimi yang terdiri dari nonmuslim, ahli kitab, dan musyrik. Tetapi hukum yang diberlakukan atas mereka adalah hukum-hukum Islam. Di luar Khilafah, maka mereka bukan bagian dari warga negara Khilafah. Warga negara kufur yang ingin masuk ke dalam Khilafah harus melalui izin dan akan diberikan visa khusus. Mereka ini disebut sebagai musta’min.
Khatimah
Konsep kewarganegaraan ganda tidaklah ada di dalam Islam. Kewarganegaraan seseorang bergantung kepada tempat tinggal dan loyalitas seseorang. Status kewarganegaraan juga berpengaruh kepada konsekuensi hak dan kewajiban seseorang. Oleh karenanya, sering kita temui di dalam Khilafah, seorang nonmuslim tetapi memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim, seorang nonmuslim tetapi ia ikut berperang melawan negara kafir harbi fi’lan dan dia mendapat hak untuk sekolah gratis, kesehatan gratis, dan lain sebagainya. Konsep kewarganegaraan yang jelas dan paripurna akan kita peroleh dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Rasyidah. Wallahu a'lam bishawab. []
Tulisan yang bagus..barakallah untuk penulis
Kewarganegaraan ganda? Bukanlah berasal dari aturan Allah. Hal ini tentu penting untuk dicermati. Dan solusinya hanya ada sistem Islam yang diterapkan secara sempurna oleh negara
Benar, bunda..