Kampanye "All Eyes on Papua" seharusnya menjadi momen bagi umat untuk menyelamatkan rimba di Papua dan dunia dari praktik ekosida.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com- Setelah "All Eyes on Rafah" terbitlah "All Eyes on Papua". Begitulah slogan yang ramai menghiasi media sosial akhir-akhir ini. Sebuah gerakan untuk mengajak masyarakat memberikan solidaritas terhadap apa yang terjadi di kedua wilayah tersebut. Kampanye "All Eyes on Papua" diharapkan bisa menggugah nurani rakyat atas kezaliman yang menimpa rakyat Papua.
Dibagikan oleh laman berita tempo.co (10-6-2024), sebuah kampanye digagas oleh berbagai advokasi lingkungan untuk mendukung masyarakat Papua. Unggahan bertajuk "All Eyes on Papua" tersebut awalnya menceritakan terjadinya konflik agraria yang tengah dialami oleh suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan. Slogan yang kemudian viral di media sosial tersebut mengajak masyarakat untuk ikut mendukung penyelamatan hutan di Boven Digoel dari bencana deforestasi.
Berdasarkan laporan dari lembaga riset dan advokasi Yayasan Pustaka Bentala Rakyat, Boven Digoel merupakan salah satu kabupaten dengan tingkat deforestasi paling tinggi di Papua. Unggahan yang berisi ajakan untuk mendukung masyarakat Papua tersebut pun berhasil dibagikan sebanyak lebih dari tiga juta kali hingga Kamis (6-6-2024). Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di Boven Digoel hingga deforestasi menggurita? Apa pula yang menyebabkan maraknya konflik agraria di negeri ini?
All Eyes on Papua: Konflik Agraria Suku Awyu
Suku Awyu yang mendiami Boven Digoel tengah berjuang mempertahankan hutan mereka dari upaya ekspansi perusahaan kelapa sawit, yakni PT Indo Asiana Lestari. Bagi suku Awyu, tanah adat yang luasnya 36.094 hektare tersebut merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat. Karena itu, masyarakat adat suku Awyu berupaya mempertahankan ruang hidup mereka meski harus bertarung di pengadilan.
Konflik bermula saat PT Indo Asiana Lestari melakukan konversi lahan menjadi perkebunan sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah. Tujuh perusahaan pun dipilih untuk mengoperasikan Proyek Tanah Merah. Mirisnya, pembukaan lahan tersebut telah mengancam hutan seluas 36 ribu hektare (lebih dari setengah luas Jakarta) dan tentu saja mengakibatkan rusaknya paru-paru dunia.
Sebagai bentuk penjagaan terhadap tanah adat, suku Awyu pun menggugat izin perusahaan tersebut ke pengadilan, yakni di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Sayangnya gugatan tersebut kalah di dua tingkat peradilan, yakni di PTUN Jayapura pada November 2023 silam dan PTUN Manado pada Maret 2024. Harapan terakhir mereka adalah mengajukan kasasi yang saat ini masih dalam proses. (kompas.id, 5-6-2024)
Tak hanya berurusan dengan PT Indo Asiana Lestari di tingkat kasasi, suku Awyu juga tengah mengajukan kasasi pada dua perusahaan lainnya, yakni PT MJR dan PT KCP. Sebelumnya dua perusahaan tersebut kalah di PTUN Jakarta dan diwajibkan menghentikan aktivitas deforestasi untuk proyek perkebunan. Namun, kedua perusahaan tersebut mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim PTUN Jakarta.
Upaya menyelamatkan hutan oleh masyarakat dari konversi lahan bukanlah tanpa alasan. Dalam banyak kasus, perusahaan-perusahaan yang mengonversi hutan menjadi lahan perkebunan sering kali tidak memperhatikan kondisi lingkungan. Hal ini pun dilakukan oleh PT IAL dalam Proyek Tanah Merah (PTM). Berdasarkan kajian dan investigasi yang dilakukan oleh Gecko Project, PTM disebut berpotensi menghancurkan hutan Papua karena proyek tersebut telah menciptakan banyak persoalan. Beberapa persoalan yang ditemukan di antaranya, proyek ini disebut tidak memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tidak ada persetujuan dan negosiasi dari penduduk lokal, dan ditemukan pemalsuan tanda tangan pejabat. (kompas.id, 5-6-2024)
All Eyes on Papua: Liberalisasi Ekonomi
Konflik agraria masyarakat Awyu dengan para investor (perusahaan) hanyalah satu dari banyaknya kasus serupa yang terjadi di Indonesia. Hal ini terbukti dari data yang dihimpun oleh Tanahkita, yang mana selama periode 1998 hingga Juli 2023 saja, konflik lahan di Indonesia sudah mencapai 562 kasus. Dari banyaknya kasus yang terjadi, masyarakatlah yang selalu dirugikan.
Banyaknya kasus konversi lahan oleh perusahaan telah mengakibatkan hilangnya hak rakyat atas tanah mereka. Padahal, tanah tersebut ibarat nyawa yang memberi mereka kehidupan. Jika mau melihat lebih jeli, berulangnya konflik agraria sejatinya terjadi akibat kebijakan pemerintah sendiri. Pemerintahlah yang mengeluarkan izin bagi perusahaan untuk mengelola dan menguasai lahan.
Kebijakan tersebut pada akhirnya melahirkan segudang masalah karena telah merenggut hak-hak rakyat. Dalam banyak kasus, pemerintah pun lebih membela para investor/perusahaan daripada rakyatnya sendiri. Alhasil solusi yang diambil untuk meredakan konflik pun lebih menguntungkan para investor. Hal ini bukan tanpa alasan.
Pasalnya, salah satu misi pemerintah adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi. Dalam kacamata kapitalis, salah satu upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi adalah dengan mendatangkan banyak investor ke dalam negeri. Demi mendatangkan investasi pula, pemerintah menghalalkan segala cara yang akhirnya berakibat pada terzaliminya nasib rakyat.
Di bawah prinsip liberalisasi ekonomi, pemerintah mengizinkan swasta menguasai dan mengelola sektor-sektor strategis yang termasuk dalam kepemilikan umum. Nyatalah sudah, sistem kapitalisme tidak pernah berpihak pada rakyat. Investasi yang digadang-gadang bisa mendongkrak ekonomi dan disebut akan berdampak pada kesejahteraan rakyat, nyatanya hanya bualan semata. Pada faktanya, hanya segelintir orang yang mereguk keuntungan dari gencarnya investasi di negeri ini. Oleh karena itu, "All Eyes on Papua" seharusnya mampu menggiring opini umum berkaitan dengan akar kezaliman di tanah Papua.
Kepemilikan dalam Islam
Maraknya konflik agraria adalah bukti nyata kegagalan sistem kapitalisme menjaga aset-aset milik umum. Fakta miris tersebut tentu tidak terjadi dalam sistem Islam. Pasalnya, Islam adalah agama sempurna yang memiliki kelengkapan hukum dan aturan. Dengan kesempurnaan tersebut, Islam mampu mengatur berbagai urusan baik dari level individu, masyarakat, maupun negara. Kesempurnaan aturan Islam juga mampu menghindarkan terjadinya berbagai konflik agraria sebagaimana yang terjadi saat ini.
Agar tidak terjadi tumpang tindih tentang kepemilikan dan penguasaan, Islam membagi harta ke dalam tiga kategori, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan individu adalah izin syar'i bagi individu untuk memanfaatkan sesuatu baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, seperti rumah, mobil, tanah, uang tunai, dll.
Berikutnya, kepemilikan umum adalah izin dari as-syar'i kepada jemaah atau masyarakat untuk memanfaatkan sesuatu, seperti jalanan, sungai, laut, hutan, barang tambang yang depositnya tidak terbatas, dll. Sedangkan kepemilikan negara adalah setiap benda yang proses pengelolaannya dilakukan oleh negara yang diwakilkan pada khalifah, seperti ganimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahli waris, dll.
Terkait dengan hutan yang kini banyak dikonversi menjadi lahan perkebunan maupun industri, Islam telah memasukkannya sebagai kepemilikan umum. Islam pun memiliki aturan paripurna tentang harta milik umum tersebut. Dalam Islam, kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara sebagai satu-satunya wakil rakyat yang sah. Karena itu, hutan tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh swasta baik lokal maupun asing.
Hasil-hasil dari pengelolaan kepemilikan umum ini nantinya akan didistribusikan kepada rakyat dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Pembagian kepemilikan tersebut akan mencegah pihak-pihak tertentu (para kapitalis) memonopoli sumber daya alam yang dimiliki oleh negara. Meski mendatangkan devisa, negara tidak boleh mengubah fungsi hutan menjadi lahan perkebunan apalagi sampai merampas lahan-lahan milik rakyat.
Hutan harus difungsikan sebagaimana mestinya, yakni sebagai paru-paru dunia. Kalaupun harus memanfaatkan hutan maka aktivitas tersebut tidak boleh sampai merusak kelestariannya. Demikianlah, semua kebijakan yang lahir dari syariat Islam pasti akan mendatangkan kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslim. Lebih dari itu, masyarakat akan merasakan kesejahteraan yang sesungguhnya dengan penerapan politik ekonomi Islam oleh negara.
Siapa pun yang sengaja melakukan kerusakan maka patutlah merenungkan firman Allah Swt. dalam surah Al-A'raf ayat 56: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
Khatimah
Kampanye "All Eyes on Papua" seharusnya menjadi momen bagi umat untuk menyelamatkan rimba di Papua bahkan seluruh negeri ini dari praktik ekosida. Lebih dari itu, Papua tak hanya mengalami persoalan lingkungan, tetapi telah terjerat berbagai permasalahan mulai dari ketimpangan pembangunan, pendidikan, kemiskinan, dan lainnya. Segudang permasalahan tersebut tidak mungkin diselesaikan dengan solusi ala kapitalisme. Satu-satunya solusi menyelesaikan persoalan Papua hanyalah kembali pada Islam dan menjadikan seluruh syariatnya sebagai solusi.
Wallahu a'lam bissawaab. []
Sedih banget hati ini melihat apa yang terjadi di Papua. Hati kecil berteriak namun kita bisa apa? :")
Hanya Islam dan syariat-Nya yang dapat menyelesaikan masalah Papua
Betul bu, solusi kapitalis cuma menambah masalah baru ya.