All Eyes on Papua, Ada Apa?

All Eyes

All Eyes on Papua yang digaungkan tidak lain sebagai reaksi dari masifnya penggundulan hutan yang dilakukan oleh para korporasi.

Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Beberapa minggu lalu, kampanye All Eyes on Rafah menggema di berbagai media sosial. Kali ini giliran kampanye All Eyes on Papua yang menggema di berbagai media sosial. Sebagaimana kampanye All Eyes on Rafah yang menginginkan dunia memperhatikan keadaan warga di Rafah, Palestina yang dibombardir oleh Yahudi Israel. Begitu pula dengan kampanye All Eyes on Papua yang menginginkan semua mata tertuju pada pulau di bagian timur Indonesia ini.

Diketahui bahwa Papua merupakan sebuah daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah serta memiliki keindahan alam yang luar biasa. Tak luput pula, Papua dianugerahi dengan hutan yang sangat luas. Hutan ini sangat dijaga oleh warga di sana, sebab mengandung banyak nilai budaya, sebagai tempat kelangsungan hidup mereka, yakni sebagai mata pencaharian, sebagai bahan mencari obat-obatan, dan lainnya. Namun, keindahan alam serta keasrian dari hutan yang ada di Papua kini terus terancam deforestasi dan pengambilan lahan secara paksa oleh oknum-oknum yang memiliki izin legal dari penguasa.

Kampanye All Eyes on Papua muncul di awal Juni 2024 lalu di salah satu media sosial X oleh seorang kreator dan desainer dengan akun gandawakstra. Kampanye tersebut kemudian dibagikan oleh para relawan dan pemerhati Papua hingga kemudian booming di masyarakat luas. Kemunculan kampanye ini pun mengundang banyak tanya bagi sebagian masyarakat. Ada apa di balik kampanye All Eyes on Papua yang menggema di berbagai media sosial tersebut?

Di Balik All Eyes on Papua

Kampanye All Eyes on Papua muncul sebagai reaksi dari masifnya penggundulan hutan yang dilakukan oleh para korporasi, terkhusus bagi perusahaan kelapa sawit milik PT. Indo Asiana Lestari. Kampanye ini mengajak dan mendorong publik untuk ikut serta menyuarakan pencabutan izin pengelolaan lahan oleh Mahkamah Agung kepada PT. Indo Asiana Lestari (IAL) yang memperoleh izin beroperasi dari Pemerintah Provinsi Papua.

Diketahui dengan adanya izin tersebut, PT. IAL memiliki kebebasan untuk mengelola dan menggunduli hutan di Papua yang diklaim sebagai tanah adat dari suku Awyu dan Moi. Digadang-gadang tanah adat ini akan dikonversikan menjadi lahan perkebunan sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah (PTM) tersebut. Ada 7 perusahaan yang mengoperasikan proyek tersebut yakni PT. Megakarya Jaya Raya (MJR), PT. Kartika Cipta Pratama (KCP), PT. Graha Kencana Mulia (GKM), PT. Energi Samudra Kencana (ESK), PT. Trimegah Karya Utama (TKU), PT. Manunggal Sukses Mandiri (MSM), dan PT. Nabati Usaha Mandiri (NUM). (Kompas.com, 04-06-2024)

PTM Sebab Konflik Agraria

Proyek Tanah Merah menjadi salah satu akar masalah mencuatnya tagar All Eyes on Papua. Suku adat Awyu dan Moi berusaha melakukan perlawanan terhadap beberapa perusahaan yang tergabung dalam proyek tersebut. PTM ini merupakan proyek ambisius yang memiliki rencana untuk mengembangkan perkebunan sawit secara besar-besaran di Papua.

Menurut laporan The Gecko Project sebuah organisasi nirlaba asal Inggris yang melakukan investigasi jurnalistik tentang lahan dan dampaknya pada isu global, menyatakan bahwa awal proyek ini mencuat di permukaan yakni adanya pengakuan dari seorang pria bernama Chairul Anhar yang mengeklaim memiliki izin atas tanah seluas 4.000 km persegi di Papua. Klaim tersebut disampaikan Chairul Anhar pada tahun 2012 lalu dalam konferensi pers di Malaysia. Saat itulah awal mulainya pembabatan hutan di Papua yang melibatkan sejumlah perusahaan cangkang dan aktor internasional (akurat.co, 05-06-2024)

Perusahaan cangkang kemudian dijual kepada entitas di Timur Tengah, Malaysia, dan Singapura. Penjualan tersebut menandakan adanya babak baru dalam proyek tersebut, yang kemudian menjadi penambahan aktor baru dalam proyek ini. Kemudian, jual beli saham membuat Proyek Tanah Merah mendapatkan dukungan dari aktor internasional yang beragam.

Kini, perusahaan yang tergabung dalam Proyek Tanah Merah mengantongi izin seluas 2.800 hektare di tanah Papua untuk dikonversi menjadi perkebunan sawit dan perusahaan sawit. Ini setara dengan empat kali luasan daerah DKI Jakarta. Kemudian, untuk perusahaan sawit PT. Indo Asiana Lestari (IAL) mendapatkan izin untuk melakukan konversi hutan seluas 36.094 hektare atau lebih dari setengah wilayah DKI Jakarta di hutan adat Marga Woro bagian dari tanah suku Awyu.

Hal ini jelas menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan hutan dan masyarakat di daerah tersebut. Berbagai ancaman mengintai yakni makin masifnya deforestasi, tingginya emisi karbon, hilangnya habitat alami flora dan fauna, hilangnya mata pencaharian warga, dan bahaya yang serius lainnya. Selian itu, diketahui bahwa proyek ini memiliki berbagai skandal buruk, mulai dari adanya praktik korupsi, deforestasi yang menghilangkan hutan tropis, AMDAL, hingga intimidasi masyarakat setempat atau pemaksaan warga untuk menyerahkan tanah mereka.

Efek Liberalisasi Kapitalisme

Sejatinya konflik agraria yang dilakukan melalui Proyek Tanah Merah hanya secuil fakta yang tampak di permukaan dari konflik agraria yang ada di negeri ini. Menurut laporan Jaringan regional organisasi nonpemerintah di Asia, The Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development (ANGOC), sepanjang 2023, konflik agraria di Indonesia telah menyebabkan 241 konflik. Konflik ini merampas seluas 638.188 hektare (ha) tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman. Bahkan, dari angka ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara tertinggi dari enam negara lainnya di Asia (kpa.or.id, 24-02-2023)

Makin masifnya kasus agraria sejatinya akibat dari penerapan sistem ekonomi liberal. Sistem ini menganut asas kebebasan yang membuat siapa pun boleh memiliki izin kepemilikan, baik tanah, tambang, dan lainnya dengan menghalalkan berbagai cara ketika mereka memiliki uang/modal. Bahkan, dalam penerapan sistem ekonomi liberal ini sangat meniscayakan adanya relasi simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha. Hal ini terlihat bagaimana kepemilikan izin pengelolaan tanah yang didapatkan oleh perusahaan-perusahaan untuk mengambil tanah-tanah warga secara legal. Lihat saja pengesahan UU Cipta Kerja yang memberikan "karpet merah" kepada para investor untuk menguasai lahan rakyat di Indonesia.

https://narasipost.com/opini/06/2024/all-eyes-on-papua-selamatkan-rimba-dari-ekosida/

Penguasaan lahan ini pun tidak melihat, apakah nanti dapat menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup rakyatnya ataukah tidak? Apakah pengelolaan lahan tersebut bertentangan dengan undang-undang pengelolaan hutan ataukah tidak? Namun, sandaran izin pengelolaan lahan hanya pada keuntungan atau materi bagi segelintir orang. Maka tidak heran ketika jeritan rakyat tidak pernah terdengar oleh para penguasa, sebab penguasa hanya mengejar sebuah keuntungan bukan kemaslahatan. Rakyat terus menjadi tumbal dari kebusukan sistem kapitalisme liberal. Semua kebijakan hanya memberikan keuntungan kepada para penguasa dan pengusaha.

Di sisi lain, dalam sistem kapitalisme, kepemilikan tanah disandarkan pada selembar kertas yakni sertifikat tanah. Ketika seseorang tidak mampu menunjukkan sertifikat tanahnya tersebut, tanah itu bukanlah tanah mereka walaupun mereka telah lama mengelola dan tinggal di atas tanah tersebut. Kepemilikan tanah akan berpindah ke tangan negara. Dalam kondisi ini, negara boleh memberikan hak guna lahan (HGU) kepada siapa pun yang diinginkannya, termasuk para korporasi asing.

Islam Mengatur Kepemilikan

Islam turun sebagai aturan yang sangat komplet. Islam menjadikan kemaslahatan rakyat sebagai prioritas utama dalam menjalankan amanah kepemimpinan. Aturan yang diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiah berdasarkan pada hukum syarak, bukan kepentingan segelintir orang sebagaimana sistem kapitalisme saat ini.

Dalam konsep kepemilikan, Islam memiliki tinjaun yang jelas dan khas, yakni semua kepemilikan yang ada di dunia adalah milik Allah. Allah berfirman,

“Milik Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah :120)

Dari ayat tersebut jelas bahwa apa yang ada di dunia ini hanya milik Allah dan manusia wajib menggunakan kepemilikan tersebut sesuai dengan aturan Allah.

Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Sistem Ekonomi Islam (An-Nizham Al-Iqtishadi), konsep kepemilikan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.

Konsep kepemilikan dalam Islam tersebut di antaranya:

Pertama, kepemilikan negara meliputi harta-harta tertentu sebagai milik negara. Harta ini meliputi harta waris yang tidak ada pewarisnya, hasil dari kharaj, jizyah, fai, dan lainnya yang tidak termasuk dalam harta kepemilikan umum dan kepemilikan individu.

Kedua, kepemilikan umum meliputi sumber daya alam yang tidak terbatas jumlahnya seperti tambang emas, batu bara, nikel, hutan, laut, padang gembalaan, sungai, dan lainnya, kemudian berupa layanan publik seperti bandara, terminal, jalan, lapangan, dan layanan publik lainnya.

Ketiga, kepemilikan individu meliputi harta yang diperoleh dari hasil upah bekerja, waris, hibah, hadiah, pemberian negara kepada warganya, serta menghidupkan tanah mati.

Dalam pengaturan kepemilikan umum, negara tidak memberikan izin kepada perseorangan baik swasta maupun asing untuk mengelolanya. Negaralah yang bertanggung jawab untuk mengelola SDA tersebut dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat seperti pembiayaan pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan lainnya. Negara menjamin terpenuhinya kebutuhan per individu rakyat secara adil dan merata.

Kemudian, pengaturan kepemilikan individu pun demikian, negara melarang setiap orang untuk melakukan kesewenangan atau merampas harta milik orang lain, termasuk tanah. Negara pun juga tidak memiliki hak untuk mengambil alih harta itu untuk diserahkan kepada rakyat lainnya ataupun diubah kepemilikannya menjadi kepemilikan negara, ketika kepemilikan tersebut masih dikelola dan dihidupkan oleh rakyat. Kepemilikan tanah dalam Islam bukan berdasarkan pada sertifikat tanah, melainkan pada pengelolaan atau penghidupan tanah tersebut sesuai dengan kemampuannya.

Khatimah

Dari berbagai penjelasan dapat ditarik benang merah bahwa selama sistem kapitalisame liberal masih bercokol di negeri ini, maka selama itu pula keberadaan konflik agraria akan terus terjadi. Sudah saatnya Islam menjadi sebuah aturan yang dapat memberikan keadilan serta kesejahteraan bagi rakyat.

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Siti Komariah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Friendship Marriage, Menikah Tanpa Rasa
Next
Ketika Kapitalisme Merampas Fitrah Ibu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
angesti widadi
5 months ago

Jika sistem ini masih diterapkan, maka akan ada "All Eyes" yang lain, huaa sedihnyaaaa....

Siti Komariah
Siti Komariah
5 months ago

Syukron jazakillah Mom dan Tim NP

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram