Sengkarut Garuda Indonesia, Optimisme Tetap Mengudara

"Pandemi Covid19 menghancurkan berbagai lini perekonomian negara. BUMN kembali mengalami kerugian yang salah satunya terjadi pada GIAA."


Oleh. Ikhtiyatoh, S.Sos
(Pemerhati Kebijakan Publik)

NarasiPost.Com-Rakyat Indonesia masih harus mengelus dada, mendengar kabar sejumlah BUMN kembali merugi. Di antara yang paling panas dibicarakan adalah PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk atau GIAA. Selain mengalami kerugian, Garuda Indonesia juga memiliki utang sebesar Rp70 triliun. Tawaran pensiun dini kepada karyawan dilakukan demi menyelamatkan kondisi keuangan yang berdarah-darah. Dewan komisaris pun bersepakat untuk tidak menerima gaji sementara, demi mengurangi beban perusahaan berpelat merah tersebut.

Beban Sewa Pesawat Tinggi

Dikutip dari laman Kompas.com, Mantan Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan penyebab Garuda Indonesia merugi, salah satunya karena jumlah pesawat yang disewa terlalu banyak, namun tidak diimbangi dengan okupansi penumpang yang mencukupi. Ditambah lagi dengan kondisi Covid-19 yang mengakibatkan berkurangnya penumpang hingga pembayaran sewa pun tertunda. Akhirnya, banyak pesawat yang di-grounded oleh pihak lessor.

Armada pesawat yang dimiliki Garuda Indonesia jika dirinci berjumlah 142 pesawat. Enam di antaranya merupakan milik perseroan, sementara 136 pesawat lainnya berstatus sewa. Namun, untuk saat ini tersisa 53 pesawat yang beroperasi akibat banyaknya pesawat yang di-grounded. (cnnindonesia.com, 11/6/2021)

Dengan kondisi minimum tersebut, akhirnya diputuskan untuk melakukan utang. Data Kementerian BUMN menyebutkan beban biaya Garuda Indonesia setiap bulannya mencapai 150 juta dolar AS. Sementara pendapatan yang dimiliki hanya 50 juta dolar AS. Artinya, setiap bulan perusahaan mengalami kerugian 100 juta dolar AS atau sekitar Rp1,43 triliun jika kurs Rp14.300 per dolar AS. (9/6/2021)

Kerugian yang dialami Garuda Indonesia tentu juga dirasakan oleh pemegang saham minoritas. Salah satunya pemilik CT Corp Chairul Tanjung. Komisaris Garuda Indonesia, Peter F Gontha sebagai wakil dari CT Corp menghitung kerugian CT Corp sebesar Rp11,2 triliun termasuk bunga, namun belum menghitung inflasi. Kerugian terjadi dalam rentang waktu 9 tahun terakhir akibat nilai saham yang terus merosot. Harga saham saat ini anjlok Rp256 per unit. Padahal sebelumnya CT Corp membeli saham Garuda Indonesia dengan harga Rp625 per unit.(kompas.com, 5/6/2021)

Merugi sebelum Covid-19

Tak bisa dipungkiri, adanya Covid-19 di tahun 2020-2021 turut memengaruhi kondisi keuangan Garuda Indonesia. Kerugian juga dikabarkan terjadi pada maskapai lain. Namun, sebelum adanya Covid-19 Garuda Indonesia memang sudah mengalami beberapa kali kerugian. Pada tahun 2020, Garuda Indonesia tercatat mengalami kerugian Rp15 triliun pada kuartal III. Sementara untuk tutup buku tahun 2019 sempat mendapat untung Rp97,72 miliar. Pada tahun 2018, diketahui laporan keuangan dipoles menjadi untung 5 juta dolar AS. Namun, setelah direvisi ternyata rugi 216,58 juta dolar AS atau setara dengan Rp2,45 triliun. Tahun 2017 juga terjadi kerugian sebesar Rp2,98 triliun. Padahal dua tahun sebelumnya masih memeroleh laba. Tahun 2016 laba mencapai Rp124 miliar, sementara tahun 2015 laba mencapai Rp1,07 triliun. (kompas.com, 8/11/2020)

Bisa dilihat, laba perusahaan pada tahun 2015, 2016 dan 2019 jika dijumlahkan akan didapatkan angka Rp 1,292 triliun. Laba selama tiga tahun tersebut ternyata belum mampu menutupi kerugian yang terjadi dalam kurun waktu setahun. Misalnya, kerugian di tahun 2017 sebesar Rp2,98 triliun. Jika hal ini tidak diseriusi, maka potensi kerugian setiap bulan sebesar Rp1 triliun akan memperparah keadaan.
Kondisi Garuda Indonesia yang sementara kritis disinyalir akibat jajaran komisaris dan direksi dipegang oleh orang yang tidak memiliki kompetensi. Pengangkatan Erick Thohir sebagai Menteri BUMN pada tanggal 23 Oktober 2019 digadang-gadang mampu menyelamatkan sejumlah BUMN yang terancam bangkrut. Sejak hari pertama pelantikan, Erick langsung melakukan upaya bersih-bersih tubuh BUMN, termasuk Garuda Indonesia. Upaya bongkar pasang petinggi Garuda Indonesia pun sudah berulang kali dilakukan. Erick juga melakukan transformasi, merampingkan jumlah BUMN dari 142 menjadi 41 perusahaan. Bersamaan dengan pengurangan jumlah klaster dari 27 menjadi 12 klaster perusahaan.

Pemberitaan penutupan anak cucu perusahaan Garuda Indonesia turut meramaikan jagat maya. Tampaknya, gebrakan yang dilakukan Erick belum mampu menyembuhkan penyakit komplikasi Garuda Indonesia. Dikutip dari laman cnbcindonesia.com, anggota Komisi VI DPR RI dari fraksi PDIP, Evita Nursanty, mempertanyakan langkah kongkret yang dilakukan oleh Erick Thohir. Menurutnya, selama lima tahun ke belakang tidak tampak terobosan yang dilakukan Kementerian BUMN untuk menyelamatkan Garuda Indonesia. Lanjutnya, empat opsi penyelamatan yang ditawarkan bisa menimbulkan masalah baru (3/6/2021).

Sebelumnya, Kementerian BUMN menawarkan empat opsi untuk menyelamatkan Garuda Indonesia. Opsi pertama, yaitu pemerintah akan memberi pinjaman atau suntikan ekuitas. Kedua, restrukturisasi kewajiban Garuda melalui hukum perlindungan kebangkrutan. Ketiga, mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Keempat, Garuda Indonesia akan dilikuidasi dan kekosongan akan diisi sektor swasta. (republika.co.id, 10/6/2021)

Tampaklah, opsi yang ditawarkan seperti makan buah simalakama. Garuda Indonesia disebut tidak bisa lagi mendapat Penyertaan Modal Negara (PMN). Mengingat, saham tidak sepenuhnya dikuasai pemerintah. Pemerintah hanya menguasai 60,54% saham sementara sisanya dikuasai investor lain. Jika diberikan PMN, maka tidak ada kewajiban pengembalian dana ke pemerintah.
Namun, opsi pemberian pinjaman di saat pemerintah mengalami resesi juga tetap membebani APBN. Adapun opsi restrukturisasi utang, jika disusul dengan utang baru cepat atau lambat akan membunuh perusahaan. Opsi ketiga, yaitu mendirikan perusahaan maskapai nasional baru juga jelas akan menambah beban dan masalah baru. Sementara likuidasi Garuda Indonesia, seharusnya tidak boleh menjadi opsi pemerintah. Meskipun pada akhirnya bisa menjadi pilihan jika pemerintah sudah pasrah.

Mari Berdikari

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi lautan. Kondisi geografis tersebut menjadikan moda transportasi udara sangat penting dalam upaya memudahkan dan melancarkan arus perpindahan orang dan barang. Pesawat yang memiliki ciri menggunakan teknologi tinggi dan mampu bergerak cepat tentu sangat mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Pemerataan kesejahteraan sosial bisa lebih cepat terwujud, hubungan antarsuku pun bisa lebih erat hingga mampu memperkuat kedaulatan negara.

Minimnya jumlah pesawat di saat Indonesia memiliki industri pesawat terbang PT.Dirgantara Indonesia tentu membuat miris. Di saat PT.Dirgantara Indonesia mampu berulang kali ekspor pesawat terbang, pemerintah justru memilih membeli pesawat dari Eropa dan Amerika. Lebih parah lagi pemerintah memilih pesawat dengan status sewa yang jelas merugikan perusahaan untuk jangka panjang.
Selain itu, pemerintah terkesan memaksakan diri membuat sejumlah rute baru di saat terjadi krisis finansial. Mengutamakan penerbangan domestik seharusnya sejak awal dilakukan hingga kondisi benar-benar stabil.

Melihat kondisi Garuda Indonesia yang jatuh bangun mewajibkan pemerintah membuat perencanaan yang matang, bukan serampangan.
Di saat pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta di bidang strategis (penerbangan) atas nama investasi, maka di situlah bibit masalah muncul. Regulasi dibuat dengan asumsi ‘Pelayanan bisa lebih baik jika ada persaingan usaha dengan maskapai swasta’. Namun, akhirnya pemerintah harus mengakui ketidakmampuan untuk bersaing tersebut. Jadi, akar masalahnya bukan hanya dari sisi SDM yang tidak kompeten.

Opsi keempat, likuidasi Garuda Indonesia seharusnya tidak menjadi opsi pemerintah. Memikirkannya saja seharusnya tidak boleh apalagi merealisasikannya. Menyerahkan penerbangan sepenuhnya kepada swasta tentu akan mengakibatkan permainan harga tiket menjadi tak terkendali. Di saat swasta memonopoli bisnis penerbangan, rakyatlah yang akan dirugikan. Potensi permainan harga tiket pesawat selain membebani penumpang juga menambah beban biaya distribusi barang ke seluruh nusantara. Ongkos kirim naik hingga harga barang kebutuhan turut melonjak.
Sudah saatnya pemerintah mengingatkan diri bahwa keberadaanya adalah untuk melayani dan memenuhi hajat hidup rakyat. Jika keberadaan perusahaan swasta kemudian mengancam keberlangsungan BUMN, tentu dibutuhkan transformasi regulasi, sehingga kebijakan yang dibuat bukan sekadar gaya-gayaan ataupun ikut tren zaman. Jika selama ini regulasi dibuat demi mengakomodasi perusahaan swasta, hendaknya saat ini regulasi direvisi demi mengakomodasi kebutuhan rakyat.

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinanya. Seorang wanita adalah penanggung jawab dalam rumah suaminya dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Seorang pelayan adalah penanggung jawab dalam harta majikannya dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. (HR. Bukhari No.893)

Optimisme Garuda Indonesia tetap mengudara harus tetap ada. Tapi hanya bisa dengan cara berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Kita memiliki SDM yang mampu membuat pesawat terbang sendiri. Rute-rute domestik juga merupakan wilayah yang dikuasai NKRI. Ditambah lagi, sebagai negara merdeka kita memiliki kedaulatan untuk membuat dan merevisi regulasi tanpa tekanan pihak lain (swasta).
Sudah menjadi kewajiban pemerintah bahwa regulasi dibuat dengan asas kemandirian demi kepentingan umum, adil dan merata serta memerhatikan kedaulatan negara. Jika pemerintah mampu mengelola BUMN secara berdikari, maka cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat bisa terwujud. Wibawa negara akan terpancar sehingga kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menguat. Kondisi demikian tentu akan memperkuat peta perpolitikan Indonesia hingga akan diperhitungkan di kancah dunia. Wallahu’alam bish showab[]


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Bersama Orang Yang Kita Cintai
Next
Jelita, Jelang Lima Puluh Tahun
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram