Perlindungan Keamanan Data Terealisasi dalam Sistem yang Terpercaya

"Berulangnya permasalahan kebocoran data ini tentu membutuhkan solusi untuk menyelesaikan masalah keamanan data pribadi. Sebab, kerugian publik akibat kebocoran data ini nyatanya banyak dimanfaatkan oleh korporasi maupun asing demi kepentingan pribadinya"


Oleh : Renita (Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-Perkembangan teknologi yang semakin pesat mengakibatkan perubahan pada pola interaksi masyarakat, dari yang semula bersifat konvensional menjadi serba digital. Hal ini mendorong masyarakat untuk mengubah seluruh pola interaksinya, tak terkecuali terkait pelayanan pemerintah terhadap masyarakat yang mengharuskan untuk dilakukan secara digital. Di alam kapitalisme yang hanya mementingkan materi, perubahan ini tentu menjadi peluang adanya bisnis baru bagi para kapitalis untuk kembali meraup keuntungan pribadinya, tanpa memikirkan batasan kepemilikan, apalagi halal-haram.

Sebagaimana diberitakan, kasus kebocoran data penduduk Indonesia kembali terjadi. Pada pertengahan Mei 2021, sebanyak 279 juta data peserta BPJS Kesehatan bocor. Data pribadi warga yang berisi NIK, nama, nomor ponsel, alamat, e-mail, foto dan gaji tersebut dijual di situs Surface Web Raid Forums senilai 0,15 BTC (Rp70-80 juta). Raid Forums bukanlah situs gelap atau situs rahasia sehingga dapat diakses oleh siapa pun dengan mudah.

Menindaklanjuti hal tersebut, Menkominfo akhirnya menutup akses dan memblokir situs tersebut. Sementara itu, jajaran Polri dan BPJS Kesehatan pun terus melakukan investigasi lanjutan terkait kasus ini. (katadata.co.id, 31/05/2021)

Menanggapi hal tersebut juga, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni menilai perlindungan data pribadi di Indonesia masih belum dilakukan dengan serius. Sebab, menurutnya isu kebocoran data ini bukanlah hal pertama kali terjadi, setelah sebelumnya data pasien Covid-19 juga mengalami kebocoran. Hal ini berbeda dengan negara lain yang sangat serius dalam melindungi data pribadi warganya. Selain itu, masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pribadi juga turut andil dalam kasus ini. Padahal, kebocoran data merupakan hal yang membahayakan karena menyangkut sensitivitas data. (kompas.com, 21/05/2021)

Kasus kebocoran data atau breach data bukanlah hal yang asing dalam dunia siber. Aksi ini memang sengaja dilakukan oleh hacker untuk mencuri data dan informasi para pengguna internet. Sejumlah kasus kebocoran data pun pernah terjadi di Indonesia, sebut saja kasus yang menimpa situs e-commerce Bukalapak pada 2019 lalu, sebanyak 13 juta data pengguna beredar di internet. Kemudian, bocornya data 91 juta pengguna Tokopedia pada Mei 2020, dan yang terbaru adalah data 230 ribu pasien Covid-19 yang konon berhasil dicuri peretas. Pertanyaannya, mengapa kasus yang sama selalu berulang? Siapakah yang bertanggungjawab dalam hal ini?

Dunia Digital, Rentan Kejahatan Siber

Tak dipungkiri, perkembangan dunia digital yang dinamis memang memungkinkan adanya praktik peretasan yang dilakukan oleh oknum yang tak bertanggungjawab. Terlebih saat ini para peretas seolah mendapat kelonggaran untuk melakukan aksinya. Sebab, belum adanya regulasi yang jelas terkait perlindungan keamanan data. Tak ayal, kasus penyalahgunaan data kembali berulang, keamanan pun terasa sulit didapatkan.

Selain itu, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang digadang-gadang dapat menjadi payung hukum terkait adanya penyalahgunaan data, hingga saat ini hanya sebatas wacana semata. Meskipun RUU ini sudah masuk dalam agenda prolegnas, namun pembahasannya terkesan jalan di tempat. Pembahasan yang alot terkait lembaga yang akan menaungi bentuk otoritas perlindungan pribadi pun diklaim sebagai penyebab stagnannya perkembangan RUU ini. Padahal, perlindungan data pribadi warga merupakan hal urgen yang harus segera diselesaikan, mengingat semakin maraknya kebocoran data yang terjadi akhir-akhir ini. Hal tersebut tentu menjadi kekhawatiran tersendiri, sebab dengan adanya kebocoran data ini, para hacker akan dengan mudah menyalahgunakan data untuk kepentingan pribadinya, seperti melakukan penipuan, pencurian, penjualan data pribadi, pemalsuan serta kejahatan digital lainnya. Bukankah ini merupakan sesuatu yang membahayakan bagi keselamatan dan keamanan warga?

Selain itu, Pakar keamanan siber, Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha menjelaskan kebocoran data ini disebabkan beberapa faktor di antaranya kesalahan manusia, kesalahan sistem, dan serangan malware sekaligus peretas. Ia juga menambahkan faktor kelalaian manusia terkait keamanan data tersebut kian meningkat selama pandemi ini. Salah satunya disebabkan adanya kegiatan Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah.

Dengan berulangnya kasus kebocoran data ini, menunjukkan betapa lemahnya perlindungan negara terhadap warganya. Bahkan, RUU PDP yang diharapkan banyak pihak dapat segera disahkan pun nyatanya masih berputar-putar pada pembahasan lembaga mana yang bertanggungjawab untuk melindungi keamanan data. Apakah di bawah Kemkominfo atau Badan Siber dan Sandi Negara Wajar, akhirnya pembahasannya pun hanya sebatas wacana. Dari sini, tampak pemerintah seolah setengah hati dalam menuntaskan kasus ini. Padahal, keamanan dan keselamatan warga kini sedang dipertaruhkan.

Breach Data dan ‘Simbiosis Mutualisme’ dalam Pusaran Kapitalisme

Adanya kebocoran data (breach data) memang akibat dari pengarusan teknologi digital 4.0 yang semakin pesat. Apalagi, saat ini penggunaan teknologi digital sangat membantu dalam menunjang kelancaran interaksi masyarakat. Terlebih, di masa pandemi yang memaksa masyarakat untuk lebih banyak menggunakan teknologi digital dalam berbagai aktivitasnya. Namun, hal ini akan sangat membahayakan jika dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Rawannya pembobolan data yang dilakukan oleh peretas tak bisa dilepaskan dari cengkraman sistem kapitalisme saat ini. Sistem kapitalisme telah membiuskan standar kebahagiaan tertinggi, yakni keuntungan materi dan kesenangan pribadi. Tak heran, profitlah yang akan selalu menjadi incaran sekalipun harus menghalalkan segala cara. Alhasil, seseorang akan mudah terjerumus ke dalam perbuatan yang dapat mencelakakan banyak orang demi mencapai kepuasan pribadinya. Patut diduga, kasus kebocoran data ini menjadi peluang bisnis yang menggiurkan bagi para pebisnis digital. Sebab, jika melihat dari rentetan kasus kebocoran data yang terjadi, motif peretas selalu sama, yakni mencuri data pengguna untuk dijual di Surface Web Forum Online. Dengan adanya jual beli data ini akan sangat menguntungkan para penjual data maupun pebisnis digital.
Ketika pebisnis digital membeli data, otomatis data tersebut akan menjadi basis dalam menentukan pelayanan maupun produk baru yang akan dipasarkan sesuai dengan minat, kepuasan serta kebutuhan pelanggan. Sehingga, biaya produksi pun dapat ditekan serta lebih efisien dengan tetap mendapat keuntungan maksimal. Tentu, hal ini kian melanggengkan hegemoni bisnis para kapitalis digital. Di sinilah bentuk simbiosis mutualisme yang terjalin antara penjual data dengan pebisnis digital.

Berulangnya permasalahan kebocoran data ini tentu membutuhkan solusi untuk menyelesaikan masalah keamanan data pribadi. Sebab, kerugian publik akibat kebocoran data ini nyatanya banyak dimanfaatkan oleh korporasi maupun asing demi kepentingan pribadinya. Sayangnya, hal ini tidak menjadi prioritas perhatian negara untuk segera menuntaskannya.
Maka, diperlukan adanya keseriusan dalam menciptakan sistem perlindungan data, tidak cukup hanya dengan disahkannya UU baru (RUU PDP) yang membutuhkan pembentukan lembaga baru yang independen. Dibutuhkan pula perubahan cara pandang negara dalam melindungi keamanan rakyat, termasuk data pribadi. Negara harus hadir untuk melindungi keamanan data, dengan sistem yang khas dan menyeluruh dalam rangka menciptakan kemaslahatan serta menghindarkan masyarakat dari kekhawatiran ketika melakukan aktivitas di dunia siber.

Islam, Sistem Terpercaya dalam Melindungi Keamanan Data

Islam hadir sebagai solusi dalam memecahkan seluruh problematika kehidupan dengan seperangkat sistem yang dapat menjamin keadilan, kesejahteraan, dan keamanan negara, termasuk dalam hal perlindungan keamanan data pribadi warganya. Sebab, pemimpin dalam Islam, yakni Khalifah berfungsi sebagai junnah (pelindung) rakyat. Dalam menjalankan perannya, Khalifah akan memaksimalkan upaya perlindungan dan penjagaannya terhadap data pribadi masyarakat.

Sistem Islam dengan sejumlah regulasi dan aturan perundang-undangannya akan mampu meningkatkan perlindungan dan keamanan data dalam dunia siber. Sistem sanksi yang diterapkan bagi pelaku peretasan akan menimbulkan efek jera. Selain itu, negara juga akan senantiasa melakukan upaya pencerdasan umat dengan memahamkan masyarakat terkait batasan kepemilikan serta pemanfaatan data pribadi. Sehingga, dapat mencegah terjadi penyalahgunaan data untuk kepentingan bisnis ataupun kepentingan individu.

Dalam Islam, negara berperan dalam mengedukasi umat mengenai hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan transaksi ekonomi dan muamalah di tengah masyarakat. Maka, ketika melakukan aktivitas dalam dunia digital dapat dipahami bahwa aktivitas di dunia maya sama dengan dunia nyata, yakni sama-sama akan dimintai pertanggungjawaban. Inilah upaya pencegahan yang akan dilakukan negara dalam rangka melindungi keamanan data warga negara.

Apabila kekuatan negara saat ini direpresentasikan dengan kemajuan teknologinya, maka negara Islam akan menunjukkan kemampuannya sebagai negara pertama yang menguasai teknologi digital dengan ditopang oleh sistem ekonomi dan pengelolaan SDM yang mumpuni. Dalam rangka menjawab tantangan teknologi, negara juga harus memiliki visi politik yang kuat. Seperti yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, ketika melihat bangsa Romawi menguasai teknologi perang, maka Rasulullah mengutus beberapa orang sahabat untuk mempelajari berbagai teknologi perang.

Demikianlah strategi yang akan dijalankan oleh negara dalam rangka menjalankan perannya sebagai pelindung dan penjaga keamanan data masyarakat di ranah digital. Hal ini tidak hanya dilakukan melalui upaya pencegahan, tetapi juga menjalankan regulasi serta peningkatan perlindungan keamanan data melalui penguasaan teknologi digital demi mewujudkan kemaslahatan masyarakat. Semua ini hanya akan terealisasi ketika negara menerapkan aturan yang berasal dari Sang Pencipta, yakni Al-Quran dan As-Sunnah dalam semua lini kehidupan. Wallahu A’lam Bish showwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Gerakan "Ayo Sekolah" di Garut, Peluncuran Sekolah Tatap Muka di Masa Pandemi, Amankah?
Next
Saudariku, Kenapa Enggan Berhijab?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram