Konflik kepentingan menjadikan pers semakin kacau. Jadi, jauh sebelum UU Penyiaran ini, memang tidak pernah ada kebebasan berpendapat
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Revisi draf Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2022 kembali ramai diperbincangkan. UU Penyiaran ini menuai kritik tajam dari kalangan pegiat jurnalistik dan peneliti media. Banyak pihak menilai bahwa revisi ini akan mengancam dan memberangus kebebasan pers. Sorotan utama revisi UU ini adalah pelarangan tayangan eksklusif jurnalisme insvestigasi. UU Penyiaran ini juga dikhawatirkan menjadi alat politik bagi pihak-pihak tertentu untuk mengebiri kerja-kerja jurnalistik yang kompeten dan profesional. Dengan kata lain, UU ini adalah jurus jitu penguasa untuk membungkam masyarakat yang kritis.
Dalam draf UU Penyiaran Pasal 50B Ayat (2) huruf (c) terdapat larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Pasal ini dinilai sangat multitafsir dan rawan disalahgunakan. Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Hendrik Kurniawan mengatakan, “Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran yang terkesan disusun tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Terlebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak, seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers. Dalam draf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI.” (Kompas.com 12/5/2024)
Pasal multitafsir lainnya masih berada di Pasal 50B Ayat (2) huruf (k) yakni larangan untuk menanyangkan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, dan pencemaran nama baik. IJTI menilai pasal ini membingungkan dan bisa menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kritikan dan mengkriminalkan para jurnalis.
Di lain pihak, Meutya Hafid selaku Ketua Komisi I DPR-RI menyanggah hal tersebut. Menurutnya, pembahasan draf UU penyiaran sama sekali belum selesai dan masih berada di Badan Legislasi DPR. Ia menambahkan bahwa saat UU ini akan disahkan nanti, pemerintah pasti akan meminta masukan dari para akademisi, asosiasi, dan publik. Meutya meminta agar masyarakat tak mematahkan tekad merivisi UU Penyiaran yang sudah tiga periode masih mangkrak dan belum disahkan, padahal UU Penyiaran di Indonesia sudah sangat tidak relevan dan usang. “Tidak ada semangat larangan tayangan investigasi jurnalistik, yang dilarang adalah monopolinya,” ujarnya saat diwawancarai awak media. Namun, Meutya sama sekali tidak memberikan penjelasan tambahan mengenai status monopoli yang disinggungnya. (Kompas.com 12/5/2024)
Lalu bagaimanakah sebenarnya penyiaran yang ada di Indonesia saat ini? Benarkah UU penyiaran ini akan memberangus habis kebebasan pers dan membungkam sifat kritis masyarakat?
Pers dalam Demokrasi
Pers diartikan sebagai media penyampai berita melalui surat kabar, televisi, majalah, dan radio. Pers adalah pilar keempat dalam negara demokrasi. Keberadaan pers diharapkan mampu menjadi wadah bagi rakyat untuk menyampaikan kebebasan berpendapat dan media independen yang mampu memberikan informasi akurat, netral, dan menjunjung tinggi profesionalisme. Selain itu, pers juga merupakan wadah untuk menampung aspirasi masyarakat, baik berupa ktitikan maupun masukan dari berbagai kalangan.
Dengan demikian, pers akan mampu menjadi kontrol sosial atas berbagai kebijakan pemerintah, kebenaran informasi, dan menjaga idealismenya. Dalam dunia pers, terdapat istilah jurnalisme investigasi yang mencakup riset, reportase dan wawancara yang mendalam, paper trail, serta metode dan peralatan penunjang guna mengungkapkan kebenaran.
Dalam buku Journalism Today karya Andi Fachruddin dituliskan bahwa jurnalisme investigasi adalah peliputan berita untuk mengungkapkan kebenaran atau menyingkap kejahatan yang dilakukan oleh pihak tak bertanggung jawab yang merugikan kepentingan publik.
Melansir dari laman UNESCO, jurnalisme investigasi merupakan pengungkapan fakta dari keadaan kacau balau yang disembunyikan, baik secara sengaja atau tidak sengaja oleh orang yang berkuasa.
Bila dilihat dari definisi jurnalisme investigasi dan prinsip demokrasi, semestinya tayangan ini tidak harus dipermasalahkan selama masih berjalan di koridor kode etik jurnalisme. Akan tetapi, saat konflik kepentingan mulai mendominasi, berbagai hal pun akan dilakukan demi memuluskan jalan kekuasaan.
Rendahnya Kepercayaan Publik
Ada hal menarik dari Laporan Edelman Trust Barometer Global yang mengatakan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pers sangatlah rendah. Publik menyangsikan kebersihan pers dari sisi menjaga pengaruh media sosial, sikap objektif, kualitas informasi, konten penting versus sensasional, serta membedakan opini dan fakta. Tingkat ketidakpercayaan publik terhadap pers mencapai 39%.
Publik menilai pers telah membuat masyarakat apatis terhadap permasalahan bangsa karena pers dianggap telah melakukan praktik pemberitaan politik yang lebih mengarah pada personalisasi dan penggiringan isu.
Bahkan, publik menilai jika pers bukan lagi pilar keempat demokrasi, sebab keberadaannya tak mampu lagi menjadi pihak yang bersikap secara objektif.
Pers dan Konflik Kepentingan
Tak dimungkiri, mungkin tetap ada pers yang berusaha tetap memegang idealisme dan profesionalisme. Hanya saja, keberadaan mereka tergilas oleh konflik kepentingan. Seperti diketahui bahwa hampir semua stasiun tv dimiliki oleh para pengusaha yang berkecimpung di dunia politik. Hal ini sering kali mengakibatkan pemberitaan menjadi berat sebelah, tidak objektif, menggiring opini publik, dan tidak netral.
Jika ada media yang benar-benar ingin mengungkapkan fakta, bisa dipastikan media tersebut yang akan dilibas habis. Konflik kepentingan menjadikan pers semakin kacau. Jadi, jauh sebelum UU Penyiaran ini, memang tidak pernah ada kebebasan berpendapat, terutama pendapat atau pandangan suatu perkara dalam sudut pandang Islam. Islam kaffah selalu menjadi objek fitnah dari demokrasi.
Dengan disahkannya UU Penyiaran ini, tidak hanya dakwah Islam yang akan semakin dijegal, tapi sifat kritis masyarakat pun akan dibungkam. Pasal-pasal multitafsir berpotensi besar digunakan untuk membungkam kritikan-kritikan tajam yang dilayangkan masyarakat.
Oleh karena itu, mustahil menjadikan pers sebagai media yang tetap berpegang teguh pada idealisme dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Pers dalam Kacamata Islam
Pers dalam Islam dikenal dengan sebutan lembaga penerangan. Sebagaimana namanya, lembaga ini memiliki peran yang sangat besar dan penting untuk dakwah dan negara. Lembaga penerangan tidak termasuk departemen yang mengurusi kepentingan masyarakat. Akan tetapi, posisinya berhubungan langsung dengan khalifah sebagai instansi yang mandiri.
Fungsi lembaga penerangan adalah memberikan informasi yang memaparkan Islam dengan pemaparan yang kuat dan membekas sehingga akan menggerakkan akal dan mengarahkan pandangan manusia terhadap Islam. Lembaga penerangan juga akan memudahkan aktivitas penggabungan negeri-negeri Islam menjadi bagian integral dari Khilafah Islam.
Khalifah berhak menetapkan apa informasi yang wajib ditutupi dan informasi yang wajib disebar. Informasi yang berkaitan dengan urusan militer, pergerakan pasukan, kekalahan atau kemenangan perang, industri militer yang memiliki kaitan erat dengan negara, maka khalifah berhak memutuskan informasi yang harus ditutupi atau disebar.
Sedangkan tayangan lain seperti informasi keseharian, program tertentu, acara politik, pemikiran, sains, dan informasi seputar peristiwa dunia akan tetap dalam pengarahan negara. Negara tidak akan membiarkan tayangan yang membahayakan umat Islam dan Daulah Islam. Seperti pemikiran yang bertentangan dengan Islam, pengetahuan yang menyesatkan, takhayul, dan lain-lain. Tujuan media adalah untuk membersihkan dan memurnikan pemikiran umat Islam.
Setiap orang yang menjadi warga Daulah, boleh mendirikan media informasi apa pun dan wajib bertanggung jawab terhadap semua isi media yang disebarkannya. Ia akan dikenakan sanksi jika terjadi penyimpangan terhadap hukum syariat.
Negara akan mengeluarkan UU yang menjelaskan garis umum politik negara dalam hal menyebarkan informasi. Hal ini bertujuan untuk menjaga kemaslahatan umat Islam dan negara.
Firman Allah dalam hal penyiaran terdapat di surah An-Nisa ayat 83:
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya: “Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita keamanan atau ketakutan, mereka langsung menyiarkannya. Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul atau pemimpin mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya dapat mengetahui secara resmi dari Rasul dan pemimpin mereka. Sekiranya bukan karena rahmat Allah, niscaya kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja.”
https://narasipost.com/opini/06/2023/menakar-efektivitas-uu-pers-dalam-melindungi-jurnalis/
Khatimah
Kapitalisme gagal mewujudkan media yang independen, yang terjadi justru media yang saling sikut konflik kepentingan.
Sedangkan Islam akan mampu mewujudkan media yang independen tanpa intervensi dari pihak-pihak lain. Hanya dengan Islam, media benar-benar bisa menjalankan fungsinya dengan benar yakni memberikan pencerahan kepada umat.
Wallahu’alam bishowab []
Media dalam sistem kapitalisme tak lepas dari kepentingan para kapitalis. Sehingga media yang masih memegang idealisme akan sulit bisa publish secara umum
Bener mbaak, media2 sarat dgn kepentingan
Media sebenarnya berperan dalam memguatkan negara. Asal ga disalahgunakan sesuai kepentingan penguasa
Sayangnya selalu d salah gunakan ya kan mbak
Media justru jadi alat propaganda bagi kepentingan penguasa dan pengusaha. Seharusnya menjadi alat untuk mencerdaskan umat. Makin sini, rakyat makin dibonsai daya kritisnya agar manut saja pada kebijakan apa pun. Jazaakillah khoiron katsiron tulisannya
Bener mbaak,, media jd alat melanggengkan kekuasaan