Pengesahan UU Desa adalah salah satu praktik politik transaksional antara penguasa pusat dengan kepala desa.
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- UU Desa telah resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo lewat Undang-Undang Nomor 3 tahun 2024 pada tanggal 25 April lalu. Politik transaksional dan benalu demokrasi begitu kental dalam pengesahan UU ini.
Dua hal yang direvisi dalam UU Desa yaitu masa jabatan kepala desa dan sumber pendapatan dana desa. Masa jabatan kepala desa bertambah menjadi 8 tahun dan dapat menjabat selama dua periode atau selama 16 tahun. Masa jabatan kades sebelumnya ditetapkan selama 6 tahun. Selain revisi masa jabatan, kades juga berhak mendapatkan dana pensiun dan dana tunjangan anak-istri.
Adapun mengenai sumber pendanaan, awalnya dana desa diatur maksimal 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK), kini menjadi minimal 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota dalam APBD.
Beberapa tokoh ikut angkat bicara terkait UU ini, pasal ini dinilai memicu peningkatan korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan desa. Selama ini, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan Kementerian Keuangan sendiri sering menemukan kasus penyelewengan dana desa yang digunakan untuk kepentingan pribadi para petinggi. Sepanjang tahun 2023 saja sudah ada 100 kasus korupsi dana desa.
https://narasipost.com/opini/03/2024/desa-wisata-akankah-membawa-sejahtera/
Pengesahan UU Desa identik dengan kepentingan para elite politik jelang Pilkada 2024 pada November mendatang. Kades dinilai memiliki basis massa yang kuat dan akan berpengaruh terhadap praktik politik praktis, hal ini karena ia adalah tokoh real yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat.
Perubahan materi UU Desa ini juga sarat dengan politik balas budi Jokowi atas kemenangan Prabowo-Gibran. Direktur Trias Politika Strategis, Agung Baskoro mengatakan, “Bisa dianggap balas budi penguasa terhadap para kepala desa karena dianggap telah berhasil memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.” Pengamat kebijakan publik PH&H Public Policy Interest Group, Agus Pambagio juga menyatakan bahwa pengesahan UU desa adalah untuk kepentingan politik, bukan kepentingan masyarakat desa. (CNNIndonesia.com 5/5/2024)
Politik Transaksional lewat Pengesahan UU Desa
Politik transaksional adalah memperdagangkan politik dan segala hal tentang kebijakan, kekuasaan, dan kewenangan. Ada pihak yang berperan sebagai penjual dan pihak yang berperan sebagai pembeli sehingga kredo yang terjadi adalah politik yang sarat dengan tukar-menukar keuntungan antara pembeli dan penjual.
Pengesahan UU Desa adalah salah satu praktik politik transaksional antara penguasa pusat dengan kades. Penguasa butuh kades sebagai perpanjangan tangannya untuk memuluskan kepentingan politiknya. Kepala desa pun butuh sokongan dari penguasa berupa materi dan jabatan sebagai jaminan untuk merealisasikan kepentingan mereka. Kades merupakan tokoh sentral dan pejabat tertinggi di pemerintahan desa sehingga keberadaan mereka sering disasar oleh para politisi untuk menjadi lumbung suara. Keberadaan kepala desa adalah sumber magnet yang bisa menghimpun suara warga, bahkan suara kades nyaris setara dengan suara rakyatnya
Alih-alih menguntungkan masyarakat, UU Desa ini makin berpihak kepada para elite politik. Sebab, hubungan simbiosis mutualisme yang tercipta dari politik transaksional akan memudahkan implementasi kebijakan-kebijakan pihak tertentu di tengah masyarakat desa. Kades akan dengan mudah menyambut program-program supradesa atau proyek-proyek politik yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat desa.
Benalu Demokrasi
Politik transaksional adalah benalu demokrasi yang hampir selalu terjadi dalam sejarah panjang perpolitikan di Indonesia. Kongkalikong berbagai pihak yang saling menawarkan keuntungan dan materi, menjadi penyebab akan kemustahilan diberangusnya benalu demokrasi ini.
Selain itu, mau atau tidak mau, alam politik demokrasi pun memang membuat politik transaksional ini pasti ada. Mahalnya sistem politik demokrasi membuat para elite politik dan pemilik modal saling berkompromi dan mempertimbangkan besaran keuntungan masing-masing. Jika sudah sejelas ini, jangan heran jika setiap UU yang lahir dari rahim demokrasi adalah UU yang berpihak kepada kepentingan segelintir elite, bukan kepada rakyat. Rakyat hanya mendapat bagian sebagai subjek pelaksana UU yang tidak pro terhadap nasib mereka sendiri.
Benalu demokrasi ini pun tumbuh subur di negeri Indonesia, mencengkeram dan merusak tiap sendi harapan rakyat akan perubahan yang ada. Masyarakat terlalu lugu terhadap janji manis demokrasi, sedangkan para elite politik sibuk bertransaksi untuk saling memperkaya diri.
Paradigma Kapitalisme
Ada tolok ukur, standar, dan paradigma yang salah dalam perkara pengurusan umat hari ini, termasuk realitas kepengurusan masyarakat pedesaan. Selama ini, kita tahu bahwa masyarakat desa identik dengan ketertinggalan pembangunan, baik sarana maupun prasarana. Banyak masyarakat desa yang melakukan urbanisasi demi mencari kesejahteraan dan kemudahan hidup. Penduduk yang masih berusia muda pun enggan untuk menetap di desa karena beranggapan tidak akan ada prospek hidup.
Problem desa dan masyarakatnya tidak akan selesai hanya dengan penambahan masa jabatan kepala desa dan peningkatan dana. Mengapa demikian? Paradigma kapitalisme yang berorientasi materi telah menciptakan benalu demokrasi dan gagalnya pemerintah dalam mengurusi urusan umat. Mahalnya sistem politik demokrasi pun telah menyuburkan perilaku korup di jajaran pemerintahan, termasuk kades.
Islam Memajukan Desa
Desa dalam Islam memiliki peranan yang juga sangat penting. Keberadaannya mampu menjadi penyangga kestabilan negara. Pembangunan desa dalam Islam akan dilakukan secara berkesinambungan, sarana dan prasarana akan dibangun sedemikian rupa, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, bahkan kondisi jalan menuju pedesaan agar warga tidak mengalami kesulitan akses dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kesejahteraan masyarakat desa juga akan dijamin oleh Daulah Islam sehingga tidak akan mengalami ketertinggalan dalam segala sisi.
Dalam Islam, kepemimpinan bersifat sentralistik atau terpusat di tangan khalifah. Khalifah akan dibantu oleh para strukturnya baik yang bersifat teknis, administratif, ataupun stategis untuk mengurus umat. Desa akan diurusi oleh seseorang yang disebut mudir dan tugasnya sebatas tugas administrasi.
Masa jabatan seorang mudir tidak terbatas waktu, selama ia mampu untuk menjalankan tugas administrasi dengan baik, selama itu pula ia akan menjabat sebagai mudir. Sebab, perkara masa jabatan bukanlah sebuah polemik di dalam Islam. Terkait dana desa, Baitulmal akan mendistribusikan harta negara ke seluruh wilayah secara adil dan sesuai dengan kebutuhan.
Khatimah
Perbedaan paradigma antara kapitalisme dan Islam dalam mengurus urusan umat telah membuahkan perbedaan yang begitu kontras. Kapitalisme telah melahirkan benalu demokrasi berupa politik transaksional yang hanya menguntungkan para elite politik.
Sedangkan Islam memandang bahwa kekuasaan adalah jalan untuk menerapkan hukum syariat Islam. Paradigma ini akan menjauhkan elite politik dari politik adu kepentingan. Setiap orang yang memiliki jabatan akan diingatkan untuk senantiasa menjaga amanah dari Allah. Allah berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 27,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan padamu, sedangkan kamu mengetahui.”
Wallahua'lam bishawab.[]
#MerakiLiterasiBatch1
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah
Pantesss banyak desa yang ga maju² karena politik transaksional ini!
Enek ae carane cari uang dan keuntungan ya. Kreatif dan inovatif. Huhehehe
Wong indonesia apik2 kreatifitase mbaak.
UUD desa, menguntungkan kepala desa.
Memicu celah KKN.
Bener mbak... KKN bakal makin kencang