Kejelasan wewenang antara lembaga peradilan dan kepolisian dalam sistem Islam akan mencegah dua lembaga ini saling sikut.
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Isu saling sikut wewenang antara dua lembaga besar negara, yaitu Polri dan Kejagung, santer menjadi perbincangan usai peristiwa penguntitan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Ardiansyah. Penguntitan itu terjadi di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Polisi militer yang saat itu tengah mengawal Febrie memergoki dua orang yang diduga mencoba membidikkan kamera ke arah Febrie. Salah satu dari mereka pun ditangkap. (Jawapos.com, 26-5-2024).
Sehari setelah kejadian, pada tanggal 20 Mei, hari Senin malam, beredar video sejumlah kendaraan polisi tengah konvoi sambil menyalakan sirine dan klakson di gerbang utama kompleks Kejagung. Peningkatan pengawasan di kompleks Kejagung pun diperketat oleh Puspom TNI. Personel Puspom TNI bekerja sama dengan pihak keamanan internal Kejagung untuk mengantisipasi dan mengindentifikasi potensi ancaman. (Kompas.com, 26-5-2024)
Penguntitan sendiri merupakan salah satu metode surveilance yang berguna untuk mendapatkan data atau keterangan dari pihak yang dipantau. Namun, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai bahwa penguntitan yang dilakukan oleh Densus menjadi sebuah tanda tanya besar ketika yang dijadikan objek penguntitan adalah Jampidsus. Terlebih lagi, personel Densus 88 tidak mungkin bergerak sendiri tanpa adanya perintah dari atasan.
Lantas, benarkah terjadi saling sikut wewenang antara dua Polri dan Kejagung? Bagaimanakah pandangan Islam terhadap dua lembaga negara ini?
Konflik Kewenangan antara Polri dan Kejagung
Ada dua isu yang ditenggarai menjadi sebab penguntitan itu. Pertama, Jampidsus Kejagung saat ini tengah gencar melakukan pemberantasan korupsi. Kedua, adanya konflik kewenangan yang berujung saling sikut antara dua lembaga besar ini.
Jampidsus saat ini tengah menangani kasus tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT. Timah Tbk tahun 2015-2022 dan telah menyeret 21 tersangka yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp271 triliun. Kejagung juga terlibat sangat intensif di kasus korupsi pertambangan ini padahal kasus pertambangan bukanlah wewenang Kejagung, melainkan tindak pidana yang menjadi kewenangan Polri. Akan tetapi, Kejagung memutuskan untuk terlibat karena menyoroti dari sisi korupsinya.
Keterlibatan Kejagung dalam masalah pertambangan bukan baru kali ini. Kejagung sudah ikut terlibat sejak mengusut kasus di Konawe, Mandiodo, tambang timah, dan saat ini Kejagung juga sedang menangani kasus di Kalimantan Timur. Tumpang tindih kewenangan inilah yang disinyalir menjadi pemantik konflik dan saling sikut antara Polri dan Kejagung.
Temuan Fakta Terbaru
Melansir dari Kompas.com tanggal 27-5-2024, Jampidsus Febrie Ardiansyah dilaporkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) oleh Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso atas dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan lelang Barang Rampasan Benda Sita Korupsi berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama yang digelar oleh Pusat Pemulihan Aset (PPA Kejagung). Menurut IPW, saham itu ditawarkan dengan nilai Rp1.459 triliun dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp9,7 triliun. IPW juga mengungkapkan adanya persekongkolan jahat dan penyalahgunaan wewenang oleh Kejagung. Ungkapan ini merupakan hasil kajian Dialog Publik yang melibatkan sejumlah aktivis dari Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Jaringan Advokasi Tambang (Jantam), IPW, Ekonom Faisal Basri, dan Advokat Deolipa Yumara.
Keruwetan Masalah Polri dan Kejagung
Petinggi Kejagung maupun Polri, keduanya sama sekali belum buka suara terkait alasan di balik peristiwa penguntitan dan konvoi tersebut. Ditambah dengan adanya fakta terbaru yang telah disebutkan di atas makin membuat asumsi-asumsi publik bergulir bebas.
Setidaknya ada dua poin yang bisa kita analisis dari peristiwa ini, yaitu:
Pertama, masalah di negeri ini makin ruwet, bak benang kusut yang sangat sulit untuk diurai kembali. Betapa tidak, saat satu lembaga bertindak menangani korupsi yang demikian besar, nyatanya lembaga tersebut justru terjungkal dengan kasus yang sama dan sama-sama merugikan negara dengan nominal yang tidak kecil. Sungguh korupsi telah menjadi napas dalam sistem pemerintahan negeri ini. Banyak sekali aparat pemerintah yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Sedihnya, kasus-kasus korupsi ini sering kali tidak diselesaikan hingga tuntas dan bersih.
Kedua, wewenang yang tumpang tindih antara Polri dengan Kejagung sebenarnya sudah menjadi wacana lama sejak tahun 2014. Saling sikut di antara kedua lembaga ini sebenarnya juga sudah lama diprediksi akan terjadi.
Wewenang penyidikan kasus korupsi yang dimiliki Kejagung dan Polri, juga ditambah KPK bisa menimbulkan problem tumpang tindih wewenang. Selama ini, dalam praktiknya, pihak Kejaksaan dan Polri sering melakukan kompromi untuk suatu kasus. Kondisi ini juga sangat rentan terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi. Oleh karenanya, bukanlah suatu hal yang mengherankan jika kedua lembaga ini saling sikut dalam melaksanakan wewenang mereka.
Kapitalisme Biang Keruwetan
Sistem hidup kapitalisme yang dianut oleh negeri ini merupakan penyebab berbagai keruwetan yang terjadi. Kapitalisme gagal mewujudkan pejabat yang bersih dan antikorupsi. Kapitalisme justru menjadikan para pejabat terjerat dalam lumpur korupsi.
Selain itu, kapitalisme yang menyerahkan pembuatan hukum berada dalam kuasa manusia telah gagal dalam membagi wewenang antarlembaga negara. Pembagian wewenang pun sering tumpah tindih antara satu lembaga dengan lembaga lain, sarat kepentingan, dan rentan disalahgunakan. Inilah pangkal permasalahan yang ada dalam kapitalisme sekuler, yakni menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia.
Islam Menghilangkan Konflik Wewenang antara Peradilan dan Kepolisian
Berbeda dengan kapitalisme, kejelasan wewenang antara lembaga peradilan (qadhi) dan kepolisian (syurthah) tidak akan menyebabkan dua lembaga ini saling sikut. Lembaga Peradilan adalah lembaga yang memiliki tugas untuk menyelesaikan perselisihan.
Lembaga ini terbagi menjadi tiga, yakni:
1. Qadhi Mazalim, yakni qadhi yang mengurusi penyelesaian sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan negara, baik ia seorang penguasa atau pegawai pemerintah. Qadhi Mazalim akan mengatasi kezaliman yang dilakukan oleh struktur pemerintahan. Meskipun tidak ada pengaduan dari masyarakat, Qadhi Mazalim tetap wajib menghilangkan kezaliman yang terjadi,.
2. Qadhi Umum, yakni qadhi yang mengurusi penyelesaian perselisihan antaranggota masyarakat dalam masalah muamalah dan uqubat. Jika ada dua orang atau lebih berselisih dalam suatu perkara, qadhi umum akan mendudukkan mereka dalam mahkamah peradilan, mendengarkan dari semua pihak, menganalisis, lalu memberikan keputusan atas perselisihan tersebut.
3. Qadhi Muhtasib, yakni qadhi yang mengurusi penyelesaian dalam masalah penyimpangan-penyimpangan yang membahayakan hak jemaah. Qadhi ini biasanya berada di pasar dan menyelesaikan perselisihan yang biasa terjadi, seperti kecurangan dalam timbangan, penipuan, dan sebagainya.
Adapun syarat untuk menjadi seorang qadhi adalah muslim, merdeka, balig, berakal sehat, adil, fakih (menguasai berbagai pengetahuan tentang hukum syariat), dan memahami aplikasi hukum terhadap berbagai fakta. Khusus untuk Qadhi Mazalim, terdapat syarat tambahan, yaitu ia harus seorang laki-laki dan seorang mujtahid.
Sedangkan kepolisian (syurthah) adalah bagian dari Departemen Keamanan. Tugas dari departemen ini adalah menjaga keamanan dalam negeri dari aktivitas-aktivitas yang mengganggu keamanan, seperti: murtad dari Islam, melakukan perusakan dan penghancuran sarana dan prasarana negara, menentang negara dengan menggunakan senjata, pembegalan di jalan, perampokan, pencurian, pengancaman, dan aktivitas lain yang mengganggu keamanan umum. Tugas selanjutnya adalah memberikan treatment (perlakuan) kepada orang yang dikhawatirkan memberi kemudaratan dan bahaya. Adapun syarat untuk menjadi polisi yakni laki-laki, balig, dan memiliki kewarganegaraan. Wanita boleh menjadi anggota kepolisiaan untuk mengamankan tindakan kerusuhan atau kecurangan yang mungkin dilakukan oleh para wanita.
https://narasipost.com/opini/09/2022/duhai-polri-tubuhmu-kian-keropos/
Untuk itu, Islam memandang bahwa penyelesaian kasus korupsi adalah wewenang dari Lembaga Peradilan, bukan kepolisian. Namun, negara akan mengerahkan personel kepolisian untuk mengeksekusi keputusan qadhi.
Satu hal lagi yang harus diingat bahwa sistem Islam yang dibangun di atas dasar keimanan dan ketakwaan terhadap Allah Swt. akan menghilangkan budaya korupsi di jajaran pemerintah.
Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 49,
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ
Artinya: “Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu."
Khatimah
Kejelasan garis batas wewenang antara Lembaga Peradilan dan Departemen Keamanan tidak akan menyebabkan konflik wewenang dan saling sikut di antara dua lembaga ini.
Dalam Islam, kedua lembaga ini justru akan saling bekerja sama untuk menjalankan hukum syariat bagi seluruh lapisan masyarakat. Pihak kepolisian akan menjaga keamanan dalam negeri, lalu jika ada sengketa di antara masyarakat, perkara akan diserahkan kepada qadhi dan qadhi akan menyelesaikan perselisihan tersebut. Selanjutnya kepolisian yang akan mengeksekusi keputusan qadhi.
Namun, perlu diingat bahwa wewenang qadhi dan polisi yang telah dipaparkan di atas, hanya akan bisa diwujudkan dengan penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiah.
Wallahu’alam bishawab. []
#MerakiLiterasiBatch1
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah
Ini bukan hanya problem Polri dan kejaksaan saya sepertinya. Tumpang tindih kebijakan dan wewenang juga terjadi di institusi lain. Miris ya kalau aturan diserahkan sama akal manusia.
Iyaa mbak, beneer
Ruweeetttttttt karena tumpangg tindihhhhh saling sikut. Bikin pusyinggg kepalaaa netijeeen dan memantik panas api menyala !
Kita ikut gemes ya kan.
Ruwet ya struktur pemerintahan dalam sistem kapitalis. Boros biaya juga. Apalagi dalam persoalan pengadilan. Biss banding berkali-kali. Lalu ada persaingan atau overlapping di antara penegak hukum. Yang miris adalah soal korupsi.
Bener mbaak, ruwet bgt struktur kapitalisme