Sistem sekularisme menjadi pintu masuk yang sangat efektif bagi tumbuh suburnya praktik korupsi di semua lini
Oleh. Isty Da’iyah |
(Kontributor NarasiPost.Com & Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Anggota DPR dalam sistem demokrasi adalah wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Namun, nyatanya mereka justru sering membuat kecewa rakyat. Bahkan tidak jarang para wakil rakyat justru mengkhianati rakyat yang terlanjur berharap. Mulai dari adanya kebijakan dan undang-undang yang justru merugikan rakyat, hingga pada penyalahgunaan uang rakyat atau korupsi.
Bukan hanya sekali atau dua kali kasus korupsi di jajaran DPR ditemui. Namun, ini seakan sudah menjadi tradisi. Sebagaimana yang terjadi belum lama ini, kembali KPK menggeledah ruang kerja Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR. Menurut KPK ini dilakukan pada Selasa, 30 April tahun 2024. KPK melakukan giat tersebut dalam rangka pengumpulan barang bukti. KPK mengatakan bahwa lebih dari dua orang anggota DPR telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan barang untuk rumah jabatan DPR (detik.News 30/4).
Dugaan adanya korupsi pada anggota DPR tersebut disinyalir bahwa mereka telah melakukan sejumlah pelanggaran dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) di proyek tersebut, yakni pengadaan barang untuk rumah jabatan DPR. Salah satunya adalah dugaan pelanggaran yang dilakukan secara formalitas, dan melanggar aturan yang ada. (detik.News 30/4)
Kenyataan ini jelas menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh rakyat, berkali rakyat harus menerima kenyataan dari sebuah pengkhianatan. Namun, inilah konsekuensi logis dari sebuah sistem politik demokrasi sekuler. Sebuah sistem yang bertumpu pada falsafah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang justru menjadi pintu masuk yang sangat efektif bagi tumbuh suburnya praktik korupsi di semua lini.
Budaya Korupsi Wakil Rakyat Hingga Pejabat
Budaya korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat hingga pejabat saat ini makin menjadi. Hampir semua sektor dari level terendah sampai teratas, semua lapisan birokrasi, hingga wakil rakyat semua terjerat. Apalagi di era rezim yang sekarang, kasus korupsi lebih dahsyat lagi.
https://narasipost.com/opini/10/2021/wakil-rakyat-jadi-konglomerat-rakyat-melarat/
Selain ditemukan banyaknya kasus korupsi, nilai angka korupsinya juga lebih fantastis. Semua itu merupakan efek dari sistem politik di Indonesia. Karena sejatinya secara teori, korupsi selalu berurusan dengan para pelaku politik dan kebijakan. Sistem demokrasi yang merupakan sistem politik kapitalis sekuler telah membuat nyaman para tikus berdasi.
Tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon wakil rakyat, penguasa, dan pejabat membuat mereka melakukan segala cara untuk mencari biaya. Politik balas budi terhadap oligarki membuat budaya korupsi sulit diamputasi.
Sistem Kapitalis Suburkan Korupsi
Segala sesuatu yang melanggar aturan dari Allah Swt. pasti mendatangkan masalah bagi manusia. Sebagaimana para tikus berdasi yang sulit dibasmi dalam sistem kapitalis sekuler saat ini. Berbagai cara dilakukan agar korupsi tidak menjadi tradisi, namun nyatanya korupsi makin menjadi.
Sistem kapitalis sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan melahirkan manusia-manusia cinta gemerlapnya dunia. Terlebih saat materi dijadikan tolok ukur pencapaian dan ukuran kebahagiaan, maka halal dan haram tidak akan menjadi ukuran.
Sistem kapitalis sekuler yang merupakan induk dari politik demokrasi jelas akan menumbuhsuburkan korupsi. Sistem demokrasi yang sangat akomodatif dan sangat memerlukan biaya yang tinggi. Modal yang telah dikeluarkan untuk biaya politik haruslah kembali dengan jumlah yang lebih besar.
Belum lagi perlakuan terhadap para koruptor, mereka seakan mendapat perlakuan berbeda ketika berhadapan dengan hukum. Faktanya pembebasan para narapidana korupsi yang selalu mendapatkan remisi atau dispensasi, adalah salah satu bukti yang tengah terjadi di alam demokrasi kapitalis saat ini.
Islam Solusi Berantas Korupsi
Dalam sistem Islam tidak ada biaya politik tinggi. Celah untuk korupsi akan tertutup sama sekali, tidak ada kolusi, upeti, dan politik balas budi. Demikian juga dalam penegakan hukum, tidak ada jual beli hukum dalam sistem Islam. Sebab hukumnya berasal dari ketetapan Allah Swt. Bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang di istinbath dengan istinbath syar’i yang sahih.
Dengan demikian dalam sistem Islam akan lahir para pejabat yang bertakwa. Penguasanya akan menjalankan ketentuan yang telah disyariatkan oleh Allah Swt. Ketakutan akan pertanggungjawaban di akhirat, akan melahirkan pejabat yang diharapkan oleh rakyat.
Upaya pencegahan dalam Islam di antaranya:
Pertama, menanamkan iman dan takwa, karena aspek ketakwaan merupakan standar utama dalam memilih pejabat yang amanah. Dengan ketakwaan, manusia akan takut melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah termasuk perbuatan korupsi.
Kedua, sistem penggajian yang layak kepada para pejabat, sehingga tidak ada alasan untuk menerima suap, korupsi, dan mencari proyek di luar aturan yang ada.
Ketiga, pembuktian terbalik, yakni pendapatan penguasa atau pejabat diungkapkan secara transparan. Harta sebelum dia menjabat, dan sesudah menjabat harus dicatat, bukan mengandalkan informasi dari yang bersangkutan, namun di audit.
Keempat, hukuman yang bisa memberi efek Jera dalam bentuk sanksi. Hukuman ini bisa berupa denda penjara yang lama, sanksi penyitaan atau kemiskinan, dan pemberitaan atau diumumkan yaitu diekspos di berbagai media, agar pelaku merasa malu. Bahkan bisa jadi para koruptor dihukum mati sesuai dengan dampak korupsi yang ditimbulkan.
Hal ini juga telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang juga telah disetujui oleh para sahabat. Pencatatan kekayaan, pembuktian terbalik, dan sanksi yang tegas termasuk memiskinkan harta koruptor jika terbukti korupsi, telah membuat gentar dan sangat efektif dalam memberantas korupsi.
Sistem yang benar-benar antikorupsi ini tidak akan bisa berjalan sendiri jika tidak ada keteladanan dari seorang pemimpin yang jujur dan amanah. Pemimpin bertakwa yang dilahirkan dari sebuah sistem yang baik pula yakni Islam. Sehingga tegaknya syariat Islam secara menyeluruh dan totalitas sangat diperlukan, dan sejatinya di sinilah harusnya umat Islam berharap.
Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 48 yang artinya: “Karena itu putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang.”
Wallahu’alam bi shawwab. []
Benarlah kata Sujiwo Tejo, "mengapa orang selalu mengatakan budaya kita adalah batik. Padahal, budaya kita sesungguhnya adalah korupsi".
Selalu kereen mbak ku. Baarakallahu fiik...
Korupsi pejabat sudah kayak penyakit kronis..Caranya harus amputasi. Jadi satu-satunya untuk menghapus korupsi adalah amputasi sistem demokrasi yang menjadi pangkal persoalan. Barokallihu fiik, mba
Rakyat tetap menjadi korban