Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan negeri ini, komersialisasi pendidikan adalah suatu keniscayaan.
Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dunia kampus gempar dengan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Tempat pendidikan tak lagi menjadi sarana mendidik generasi, tetapi sebagai ajang komersialisasi. Lantas, adakah solusi hakiki?
Sebagaimana diwartakan oleh cnbcindonesia.com (18/5/2024), para mahasiswa melakukan aksi protes. Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau ulang kebijakan kenaikan UKT, dan mencari solusi yang lebih pro rakyat. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie merespons hal tersebut. Ia menyebutkan bahwa biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu.
Selain itu, Tjitjik juga menyebutkan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier, atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan yang wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yaitu dari SD, SMP hingga SMA. "Pendidikan tinggi adalah tertiary education, artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan." terang Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu (16/5/2024).
Inilah buntut dikeluarkannya Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024, tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. Selebihnya, Tjitjik mengatakan bahwa besaran UKT ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi. Diketahui, belakangan ini para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan protes terhadap kenaikan UKT. Para mahasiswa Universitas Jenderal Sudirman (Unsud) misalnya, mereka memprotes lantaran ada kenaikan uang kuliah hingga lima kali lipat.
Kenaikan UKT: Komersialisasi Pendidikan
Kenaikan UKT tentu berakibat fatal pada dunia pendidikan di negeri ini. Salah satunya adalah sulitnya rakyat mengakses perguruan tinggi. Dampak jangka panjangnya adalah kekurangan generasi terdidik yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan negeri ini. Ketika bangsa ini telah krisis Sumber Daya Manusia (SDM) yang terdidik dan ahli, maka bangsa dan negeri ini hanya akan menjadi santapan negeri-negeri asing atau para penjajah.
Regulasi perubahan PT (Perguruan Tinggi) menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum), juga ikut berpengaruh dalam menentukan UKT. Status PTN BH diberikan kepada perguruan tinggi negeri di Indonesia untuk mendapatkan ekonomi atau kemandirian dalam mengelola perguruan tinggi sendiri, seperti mengurus keuangan, aset, dan SDM. Dalihnya untuk meningkatkan kualitas dan efesiensi kampus, tetapi sebenarnya otonomi tersebut telah memberikan kebebasan kepada kampus untuk menaikkan UKT.
Salah satu hal yang memengaruhi kondisi PT adalah adanya program WCU (World Class University). Program ini menuntut kampus berkualitas unggul dan berkelas dunia. Untuk memenuhi syarat-syaratnya, tentu membutuhkan biaya yang besar dan mahal. Jika mengandalkan APBN yang jumlahnya sangat terbatas, dipastikan tidak akan cukup. Dampaknya, kampus akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan dana guna membiayai operasional yang besar. Di antaranya, kampus akan membuka jalur mandiri yang biayanya sangat mahal, juga seperti yang dilakukan saat ini, yaitu menaikkan UKT.
Di samping itu, PT juga akan membuka program studi baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar dengan konsep triple helix, yaitu menjalin kerja sama antara perguruan tinggi, pemerintah, dan perusahaan. Program seperti ini telah menunjukkan bahwa orientasi pendidikan tidak lagi untuk mencerdaskan bangsa, dan membentuk karakter generasi yang unggul dan cemerlang, tetapi sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar. Generasi yang merupakan aset bangsa, calon pemimpin di masa mendatang malah hanya ditumbalkan untuk menjadi budak-budak bagi dunia industri. Jadi, kenaikan UKT merupakan bentuk dari komersialisasi pendidikan.
Komersialisasi Pendidikan Tumbuh Subur dalam Kapitalisme
Diakui atau tidak, pendidikan di negeri ini sedang berada dalam cengkeraman kapitalisme yang liberal. Sehingga, kampus dibebaskan mengatur dan mengelola pendidikan, akibatnya komersialisasi pendidikan tak bisa terelakkan. Akhirnya, pendidikan bagaikan barang dagangan yang bisa dijualbelikan untuk meraih keuntungan. Siapa yang mempunyai uang, dia yang bisa membeli dan berkuliah. Siapa yang uangnya berlebih, hanya dia yang akan mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, yang tidak memiliki uang, dia tidak akan mendapatkan haknya memperoleh pendidikan dengan baik.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan negeri ini, komersialisasi pendidikan adalah suatu keniscayaan. Dalam sistem kapitalisme, negara berlepas tangan dalam segala urusan rakyat termasuk dalam bidang pendidikan. Pemimpin pun hanya berperan sebagai regulator, alias pemberi izin semata. Sementara, segala urusan rakyat dijalankan oleh para kapitalis, yaitu swasta para korporasi atau oligarki. Padahal dalam kepengurusannya, orientasi mereka hanya keuntungan sebesar-besarnya. Mereka tidak akan peduli, apakah kebutuhan rakyat terpenuhi, atau tidak.
Terbukti, negara pun lepas tangan dalam bidang pendidikan yang harusnya menjadi sektor yang diutamakan. Faktanya, dikutip dari laman resmi ITB, Rabu (29/3/2023), anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjen Dikti hanya 0,6 persen dari APBN atau sekitar 8,2 triliun rupiah. Pengelolaan anggaran sebesar itu pun harus dibagi untuk PTN dengan PTS. Tata kelola pendidikan yang kapitalistik mengakibatkan negara lepas tangan terhadap kewajiban utamanya sebagai pelayan rakyat, termasuk dalam menjamin pendidikan setiap individu rakyatnya. Inilah akibat negeri Pancasila yang menerapkan ideologi kapitalisme buatan penjajah, yakni segala bidang kehidupan rakyat akan dikapitalisasi termasuk pendidikan.
Sistem Pendidikan dalam Ideologi Islam
Jika negara menerapkan ideologi Islam, maka tentu akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Sistem ini melarang negara menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi atau lahan bisnis. Negara justru wajib menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang cukup dan terbaik, seperti gedung, laboratorium, balai-balai penelitian, jaringan internet, buku-buku, alat tulis, perpustakaan, dan lain sebagainya. Negara juga wajib menyediakan tenaga pendidik yang ahli di bidangnya beserta gaji yang memadai untuk mereka.
Adapun seluruh biaya, akan diambil dari kas negara yang bernama baitulmal yang terkumpul melalui pos milkiyah amah (hasil SDA), fai', maupun kharaj. Pembiayaan dari pos-pos ini akan sangat mencukupi untuk menjamin pendidikan gratis bagi seluruh individu rakyat. Terlebih, pemasukan negara bersistem Islam tidak hanya dari 3 pos pendapatan saja, tetapi setidaknya ada 11 pos pemasukan. Kondisi itu tentu jauh lebih banyak dan lebih kaya jika dibandingkan dengan jumlah pendapatan negara bersistem kapitalisme yang hanya mengandalkan utang luar negeri dan pajak plus sektor pariwisata.
Dalam sistem Islam, pemimpin wajib hukumnya memenuhi segala kebutuhan pokok setiap rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik muslim maupun nonmuslim. Sementara, pendidikan termasuk kebutuhan pokok rakyat yang bersifat umum, yang juga wajib dipenuhi oleh negara. Rasulullah saw. bersabda,
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan hadis itu, maka negara dengan sistem Islam berkewajiban melayani segala urusan rakyatnya, juga memenuhi segala kebutuhannya termasuk dalam bidang pendidikan. Ketakwaan pemimpin dalam negara bersistem Islam, mendorongnya untuk melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, karena semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak.
Oleh karena itu, jika negeri ini menerapkan sistem pemerintahan Islam, maka kesempatan memperoleh pendidikan akan terbuka lebar, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tanggung jawab negara terhadap pendidikan pun sama, tidak pandang bulu baik bagi fakir miskin, maupun orang kaya, baik muslim, maupun nonmuslim. Dengan demikian, maka komersialisasi pendidikan tidak akan terjadi dalam negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam. Keberadaan generasi akan diapresiasi, bukan dijadikan tumbal dunia industri.
Wallahu a'lam bisshowab. []
Bagaimana generasi mau cerdas kalau pendidikan saja susah dijangkau. Miris deh. Kapitalisme membuat semua hal dibisniskan termasuk sektor pendidikan.
Mirisnya mau pinter tambah dibikin keblinger oleh pemerintah.. dunia pendidikan jd lahan basah utk meraup cuan. Parah.
Ingat zaman anak saya ada SMA Internasional atau RSBI. Ortu dibebani biaya tinggi dengan alasan mengejar taraf internasional. Ide ini redup sendiri, tetapi ortu sudah terlanjur bayar. Demikian juga nasib PTN saat ini. Negara ingin berbangga punya PT sekelas dunia , tetapi tidak mau kasih modal.