Komposisi kursi menteri seharusnya mengacu pada kebutuhan publik, bukan berdasarkan intervensi partai politik.
Oleh. Amelia Al Izzah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Badan Legislasi (Baleg) DPR merevisi UU nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara periode saat ini. Salah satu poin yang ada dalam revisi UU Kementerian Negara yaitu terkait penghapusan batas jumlah Kementerian yang dibatasi sebanyak 34 Kementerian. Dengan adanya revisi UU tersebut, nantinya Presiden akan memiliki keleluasaan atau hak prerogatif dalam menentukan jumlah menterinya. (Mediaindonesia.com,19-5-2024)
Hak prerogatif yang akan dimiliki presiden terkait dengan penyusunan kabinet sangat memungkinkan untuk menjadi celah masuknya banyak anggota-anggota partai terpilih yang akan diakomodasi dalam kementerian baru.
Di Balik Revisi UU Kementerian
Penambahan jumlah kementerian di era pemerintahan Prabowo-Gibran, dari 34 Kementerian menjadi 40 kementerian menuai polemik. Banyak pihak menganggap revisi UU tersebut tidak urgen dan hanya menjadi dalih untuk mengakomodasi kepentingan politik tertentu. Komposisi kursi menteri seharusnya mengacu pada kepentingan publik dan yang pasti tidak mengarah kepada kepentingan atau intervensi partai politik (parpol).
Menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengatakan bila revisi UU Kementerian ini dilakukan demi kepentingan negara, tentunya untuk mencapai tujuan-tujuan Prabowo-Gibran dalam masa kampanye lalu. Namun, jika hanya untuk akomodasi politik penambahan kementerian tidak perlu dilakukan. Akomodasi politik bisa dibentuk melalui kepala-kepala badan, tidak harus menjadi menteri. (Kontan.co.id, 20-05-2024)
Mahalnya Demokrasi
Wacana penggemukan menteri tentu akan berpengaruh besar terhadap anggaran negara. Anggaran negara yang perlu dikeluarkan untuk sebuah perubahan kabinet tentunya tidak sedikit, belum lagi perubahan tersebut bakal memakan waktu terkait konsolidasi agar agenda atau program tersebut dapat berjalan secara maksimal. Perubahan ini jelas berbanding terbalik dengan tujuan awal yang diusung Prabowo-Gibran saat kampanye, yakni keberlanjutan. Adanya perubahan dan perombakan kementerian tentunya dimaknai sebagai perbedaan program saat awal kampanye.
Jelas menjadi sebuah pertanyaan, apakah perubahan UU ini menjadi sebuah hal yang penting untuk negara atau hanya untuk mengakomodasi pembagian kekuasaan yang dikenal dengan istilah “bagi-bagi kue” atau transaksi politik tak ayal, siapa pun yang masuk dalam lingkaran demokrasi ada harga mahal yang harus dibayar untuk mengembalikan itu semua.
Demokrasi Jalan Tol Menuju Kekuasaan
Realitas pemilu setiap lima tahun sekali hanya menjadi ajang pragmatisme politik yang sudah terpolarisasi untuk kepentingan-kepentingan elite politik. Partai politik sibuk melakukan manuver untuk saling menggembosi pihak lawan demi mengejar ambisi elektabilitas dalam meraup suara dan meraih kekuasaan. Bahkan, tanpa malu menggunakan instrumen hukum dan jabatan kekuasaan negara yang dimiliki. Hukum bisa diubah-ubah sesuai kepentingan politik, unsur profesionalisme tak lagi penting.
Rakyat saat kampanye hanya diperlukan dan difungsikan sebagai alat memperoleh legitimasi belaka. Empati atas penderitaan rakyat hilang setelah para elite politik melanggeng masuk dalam kursi panas kekuasaan. Kekuasaan di tangan rakyat hanyalah jargon demokrasi, sebatas slogan tanpa arti dan bukti. Semua fokus pada bagaimana meraih kekuasaan bukan kepada persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Namun bagi para elite politik, demokrasi dianggap kendaraan yang paling efektif dalam meraih kekuasaan, apalagi jika demokrasi selalu bergandengan dengan kapitalis.
Tak hanya seputar gemuknya kementerian, terdapat dua persoalan penting yang harus diperhatikan saat demokrasi menjadi sebuah sistem, yakni:
Pertama, sistem sekuler (pemisahan peran agama dalam kehidupan) yang menjadi landasan sistem demokrasi akan selalu menjadi sumber kerusakan.
Kedua, kedaulatan dan kekuasaan akan selalu berada di tangan para kapitalis (pemilik modal).
Perspektif Islam dalam Mengurus Negara
Tentu saja persoalan-persoalan yang melanda negeri ini berakar dari diterapkannya sistem kufur, yaitu demokrasi. Persoalan yang kita hadapi bukanlah untuk saat ini saja, tetapi untuk masa-masa mendatang. Mengikuti alur demokrasi bukanlah pilihan yang benar dalam kacamata syariat. Masalah tidak akan selesai hanya dengan pergantian pimpinan saja, tanpa mencabut akar persoalannya.
Islam sebagai agama yang paripurna, telah memiliki solusi tuntas menghadapi persoalan umat dan negara. Saat Islam menjadi sebuah sistem kenegaraan, hukum-hukum yang diterapkan akan berasal dari penggalian Al-Quran dan hadis, yang semuanya itu telah dicontohkan dalam penerapan detail kenegaraan yang dipimpin oleh Rasulullah, generasi para sahabat dan para khalifah setelahnya. Baik pada tatanan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.
Politik dalam Islam terkait dengan pengaturan urusan rakyat, mengurusi rakyat, dan segala persoalannya. Khalifah sebagai pemimpin dalam Islam akan dibantu oleh mu’awin (wazir at tafwidh) dan beberapa pembantu khalifah di bidang administrasi untuk mengemban tanggung jawab dari khalifah. Tidak terdapat penggemukan menteri atau kabinet dalam Islam, karena sistem Islam sangat sederhana dan tidak menghabiskan anggaran seperti pada sistem demokrasi. Pengurusan urusan umat menjadi hal yang wajib dilakukan oleh seorang pemimpin dalam Islam, karena tanggung jawab yang diemban pemimpin negara terkait dunia dan akhirat. Rasulullah saw., bersabda dalam salah satu hadis:
“Barang siapa yang mempersulit urusan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan mempersulit urusannya di akhirat.“ (HR. Muslim)
Islam memandang hakikat kekuasaan merupakan perpanjangan dari kedaulatan Allah Swt., sehingga memudahkan urusan rakyat merupakan bentuk tanggung jawab Ilahi yang dimiliki seorang pemimpin.
Wallahu a’lam bish-showaab. []
Kebijakan paling mengsle di saat angka kemiskinan meningkat drastis, lapangan pekerjaan susah, PHK menjamur, biaya pendidikan semakin mahal, dan masalah masalah lainnyaa :"")
Ya Allah, kabinet makin gemuk jadi alarm kalau anggaran negara akan keluar lebih banyak lagi untuk menggaji pejabat. Tapi melihat ini terjadi di sistem demokrasi, maka ini adalah lazim.
Ya Allah, kita dibuat pusing sama akrobatik penguasa. UU diubah-ubah sesuai kepentingan penguasa. Kita jadi kayak penumpang dalam gerbong kereta yang masinisnya ugal-ugalan. Gubrak-gubrak tidak ketulungan. Beginilah sistem demokrasi yang diagung-agungkan,padahal tak ubahnya kendaraan tua yang sudah kehilangan daya.
Setiap perubahan kebijakan di sistem kufur selalu saja demi kepentingan segelintir orang yang akan menggelembungkan pundi-pundi kekayaan mereka. Tabiat demokrasi yang terus-menerus lestari di sistem saat ini.
Barakallah mba@Amelia, untuk naskahnya