Pada aksi protes May Day yang berakar dari Barat ini pun, rupanya tak pernah menjadi solusi pasti dalam menyejahterakan para buruh
Oleh. Laila Hidayati
(Kontributor NarasiPost.Com & Mahasiswi Fakultas Sastra)
NarasiPost.Com-Tiap tanggal 1 Mei, masyarakat lokal maupun internasional merefleksi kembali perjuangan kesejahteraan melalui momentum May Day atau kerap populer dengan Hari Buruh di mana perjuangan hak-hak buruh yang belum terpenuhi & kesenjangan sosial yang terjadi disuarakan melalui May Day yang digelar lewat aksi demonstrasi atau selebrasi isu, yang menyuarakan hak-hak buruh dan sudah sebagaimana mestinya mesti dipenuhi oleh negara.
https://narasipost.com/opini/05/2024/nasib-buruh-makin-keruh/
Sejarah Hari Buruh
Menilik sejarah penetapan Hari Buruh, bermula dari aksi demonstrasi para buruh di Chicago, Amerika Serikat, tahun 1886 yang menuntut jam kerja 8 jam per hari, 6 hari seminggu dengan upah yang layak. Yang kemudian diwarnai kerusuhan tragedi Haymarket Affair sejak hari itu, setiap tanggal 1 Mei kemudian diperingati sebagai momentum hari buruh internasional. Spirit inilah yang mendasari perkumpulan buruh melakukan aksi protes.
Di Indonesia sendiri, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (KEPRES RI) No. 24 Tahun 2013, pemerintah secara terang-terangan menyepakati 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh. Sebagai negara yang menyatakan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, etika untuk mendengar aspirasi masyarakat dilegitimasi melalui peraturan hukum secara tertulis telah terlaksana.
Namun, patut kiranya dari iktikad baik ini, refleksi kesejahteraan yang terus digaungkan hingga problem kesenjangan sosial yang terjadi, perlu dievaluasi kembali. Masukan-masukan melalui momentuman ini apakah terlaksana dengan baik oleh para pemangku kebijakan dalam sistem hari ini?
Buruh Tetap Pilu
Berdasarkan laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), tingkat pengangguran global diperkirakan 200 juta lebih orang masih menganggur tahun 2024. Di Indonesia sendiri berdasarkan data BPS sebanyak 7.86 juta orang pengangguran. Tak sebatas itu, problem buruh mulai dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), upah murah, sistem jerja kontrak yang mengeksploitasi tenaga buruh terus digaungkan oleh partai-partai buruh melalui aksi demonstrasi.
Tahun bergulir, tepat pada May Day yang dijadikan momen untuk menyuarakan ketimpangan yang terjadi, patutnya mesti dilihat kembali (refleksi) kesejahteraan yang terus digembar-gemborkan terbukti masih mengalami problem serupa, jauh dari bayang kesejahteraan. Mulai dari kesenjangan sosial yang semakin memperjelas ketimpangan kaya dan miskin pasalnya 1 persen menguasai lebih dari setengah kekayaan global, hingga negara yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat justru hanya menjadi penengah antara buruh dan perusahaan.
Dalam sistem kapitalisme, satu hal yang lumrah ketika berbicara perekonomian adalah segelintir orang pihak swasta menguasai aset, industri, alat produksi, hingga perekonomian hanya berputar di kalangan para elite. Sistem ini semakin memperjelas kesejahteraan sosial selama masih menggunakan kapitalisme sebagai otak dari hukum, maka menghapus kesenjangan yang digaungkan tiap tahunnya akan nihil, sulit terlaksana.
Terlebih, ketika melihat penguasaan kapitalisme (sistem yang memfokuskan segala sesuatu pada aspek materi) justru hanya menggantungkan nasib buruh atau para pekerja kasar maupun profesional pada pihak perusahaan. Negara justru menjadi penonton atau bahkan terlibat dalam pengambilan kebijakan yang tidak sesuai untuk kesejahteraan rakyatnya.
Pada aksi protes May Day yang berakar dari Barat ini pun, rupanya tak pernah menjadi solusi pasti dalam menyejahterakan para buruh, justru setelah momentum ini berlalu maka berlalu pula tuntunan tersebut, iming-iming kesejahteraan seolah menjadi penenang.
Selama sistem kapitalisme ini terus dibiarkan memperluas cara pandangnya melalui hukum hingga penguasa yang bertumpu pada materi, sekat-sekat yang memperlebar perbedaan hingga langkah-langkah kita yang justru menjadi tunggangan kapitalisme, maka kesejahteraan hanyalah ilusi.
Hukum Islam
Padahal dalam regulasi Islam sendiri, tak ada kastanisasi antara pengusaha dan buruh. Ibarat tuan dan budak, justru Islam melalui Al-Qur'an sebagai sumber hukum menjelaskan:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan mizan (neraca, keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25).
Keadilan tersebut dapat dilihat dari pengusaha dan pekerja dipandang dalam level yang sama, yaitu sama-sama sebagai hamba Allah Taala yang wajib taat pada syariat-Nya.
Dalam buku Politik Ekonomi Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki, seorang pekerja/buruh atau ajir adalah setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan gaji baik dari pihak musta’jir (pengontrak kerja) itu individu, kelompok/perusahaan, ataupun negara, maka gaji (ujrah) bagi pekerja langsung diperoleh ketika dirinya telah mengerahkan tenaganya untuk ditukar. Tentu, upah yang diberikan seusai perjanjian awal (akad) antara pengontrak kerja dan pekerja.
Dalam menentukan besaran upah pun, Islam sangat memperhatikan agar tidak ada unsur eksploitasi antara kedua belah pihak, yakni besaran upah bagi pekerja harus ada standar yang menentukan nilai tenaga kerja yang ditukar. Untuk itu, penentuan upah ajir (pekerja/buruh) adalah berdasarkan nilai manfaat (jasa) pada tenaga yang diusahakannya. Ini karena manfaatlah yang menjadi tempat pertukaran, sedangkan tenaga dicurahkan hanya untuk mendapatkan manfaat.
Terkait ini, Rasulullah saw. Menyampaikan:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia mempekerjakan seorang ajir sampai ia memberitahukan upahnya.” (HR. An-Nasa’i).
Di bawah Daulah Islam, seorang pemimpin memiliki peran untuk melindungi rakyatnya sebagai penerap regulasi yang bersumber dari pencipta kehidupan bumi. Pemimpin akan memberikan sanksi tegas jika ada praktik yang menyimpang. Sistem sanksi Islam yang diterapkan oleh daulah Islam akan berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus), artinya atas dasar ketegasan hukum ini praktik menyimpang akan disanksi dengan efek jera agar tak melakukan pelanggaran hukum berulang & tidak bertindak berdasarkan materi saja, melainkan makna penebus tadi semata-mata sebagai bentuk keterikatannya pada metafisik yakni penebus dosa.
Khatimah
Walhasil hukum Islam mampu membawa kesejahteraan bagi buruh khususnya dan negeri tanpa memedulikan aspek materi. Namun, semata-mata mengejar ketakwaan kepada Allah Swt. Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Wallahu a’lam bisshawab.
Kasian nasib buruh. Setiap tahun harus berjuang mencari kesejahteraan, tapi sayang sistem kapitalisme tidak memberi jalan keluar.
Mumet itu kalo hidup dalam sistem kapitalis. Semua salah kaprah. Semua pengen sejahtera tapi dengan jalan yang tak seharusnya.
Buruh protes ke pengusaha agar sejahtera. Salah alamat. Mestinya itu tanggung jawab negara. Beginilah dalam sisten kapitalis, buruh dipekerjakan bagai budak demi meraih keuntungan. Pengusaha dikejar pajak. Lalu penguasa? Regulator saja.
Tidak ada kebaikan ketika menyimpang dari aturan Allah. Nasib buruh yang kian rapuh akibat sistim kapitalis telah nyata menyakitkan.