Pengurusan pangan hanya mengacu pada bagaimana meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, dan tidak lagi berfungsi melayani kebutuhan rakyat.
Oleh. Isty Da’iyah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dampak dari krisis pangan global bisa diindikasikan dengan makin mahalnya harga komoditi pangan, dan menipisnya jumlah produksi pangan yang ada di beberapa negara produsen pangan. Terbukti negeri ini yang notabene adalah negeri agraris nyatanya belum juga bisa mewujudkan swasembada pangan, harga kebutuhan pokok makin tinggi tak terkendali.
Beberapa alasan juga diungkapkan oleh para pengamat mengenai krisis pangan saat ini. Salah satunya adalah perubahan iklim global dunia yang berpengaruh terhadap hasil pertanian, terutama pada tanaman pangan. Hal ini jelas mengancam ketahanan pangan global yang juga bisa mengakibatkan kelaparan.
Dilansir dari CNBCIndonesia.com, Organisasi Pangan Dunia atau FAO telah mengungkapkan kelaparan akut mengancam 59 negara, tercatat sebanyak 282 juta orang mengalaminya pada tahun 2023 selama 4 tahun berturut-turut. Proporsi orang yang menghadapi kerawanan pangan sudah sangat tinggi, diperparah dengan situasi di Jalur Gaza yang menyumbang 80% kasus kelaparan, disusul Sudan Selatan, Somalia, dan Mali. (4/5 /2024).
Alasan lainnya adalah terjadinya perang di beberapa negara. Sebagaimana perang yang terjadi di Rusia, Ukraina, dan tragedi Gaza, Rafah, dan beberapa negara lainnya. Sehingga menimbulkan guncangan ekonomi yang berefek pada ekonomi dunia.
Perang yang terjadi saat ini sangat mendorong terjadinya kerapuhan sistem pangan, yang memang sudah terpuruk. Sistem pangan marginalisasi pedesaan, tata kelola yang buruk, dan ketidaksetaraan dalam perpindahan populasi besar-besaran secara global memperparah keadaan sistem pangan.
Akibat Sistem Ekonomi Kapitalis
Jika ditelisik lebih jauh, berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan oleh penguasa-penguasa dunia, untuk menyelesaikan krisis pangan. Namun, upaya ini hanya bersifat teknis yang tidak menyentuh akar permasalahan. Hal ini karena sistem kapitalisme tidak mempunyai mekanisme yang jelas untuk memberikan pelayanan terhadap rakyat, yang ada adalah bagaimana segala sesuatu bisa menghasilkan banyaknya manfaat dan materi semata. Kapitalisme memandang fungsi negara adalah sebagai regulator yang membuat kebijakan dan fasilitator.
Akibatnya negara tidak mengurus secara penuh urusan ketahanan pangan tapi diserahkan pada korporasi pangan. Hal ini menyebabkan pengurusan pangan hanya mengacu pada bagaimana meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, dan tidak lagi berfungsi melayani kebutuhan rakyat.
Penerapan ekonomi kapitalis dengan kebebasan modalnya, memungkinkan korporasi untuk menguasai rantai penyedia pangan bagi rakyat. Sehingga korporasi memiliki kekuatan untuk mengendalikan pangan. Termasuk harga, jenis, dan kualitas pangan yang dikonsumsi. Sehingga secara otomatis berbagai kebijakan yang lahir lebih memihak pada kepentingan pemilik modal bukan kepentingan rakyat.
Dalam sistem ekonomi kapitalis global, kebijakan liberal semakin diaruskan. Sebagai contoh proyek liberalisasi pasar, termasuk di sektor pertanian melalui keanggotaan negara-negara di WTO dan ratifikasi The Agreement of Agrikultur (AoA) pada tahun 1994. Di sinilah awal mula ketergantungan pangan negara-negara berkembang terjadi. Negara-negara agraris seperti Indonesia yang seharusnya bisa membangun politik pangan yang mandiri, lewat intervensi lembaga internasional ini, terpaksa tunduk dengan liberalisasi, dan membuat negeri agraris seperti Indonesia kehilangan kedaulatan pangan dan sulit membalik badan.
Negara-negara besar yang ada di balik skenario ini kelihatan menginginkan negara agraris semacam Indonesia cukup menjadi end user, bukan produsen produk. Mereka berhasil melemahkan sasarannya dengan tekanan politik dan jebakan utang. Sehingga bisa dipastikan selama sistem kapitalis diterapkan, mustahil ketahanan pangan bisa diwujudkan di seluruh dunia.
Nyatanya permasalahan pangan global yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan akibat jauhnya manusia dari tuntunan syariat yang Allah turunkan. Sehingga kesempitan dan penderitaan hadir pada umat manusia. Hal ini telah Allah peringatkan dalam surah Taha ayat: 124 yang artinya:
“Dan barang siapa berpaling dari peringatkan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Sistem Islam Mengatasi Krisis Pangan
Sistem Islam, mempunyai sistem ekonomi yang menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Termasuk mewujudkan ketahanan pangan dan mengatasi krisis pangan. Karena pangan adalah salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting dan wajib dipenuhi, maka dalam pengelolaan pangan dan pertanian, seharusnya negara mampu mewujudkan adanya jaminan pemenuhan termasuk cadangan pangan bagi seluruh rakyat, menjaga kestabilan harga, dan memberikan dampak kesejahteraan pada petani. Hal ini sangat bergantung sistem politik pangan pertanian yang diterapkan.
Ketahanan pangan, merupakan salah satu pilar ketahanan negara dalam kondisi apa pun, baik negara dalam keadaan damai, peperangan, terjadi bencana, dan lain sebagainya. Kekuatan negara Islam yakni Khilafah sebagai negara adidaya, bergantung pada kekuatan ketahanan pangannya. Sehingga wajib bagi negara melakukan berbagai cara untuk merealisasikannya.
Sistem Islam dengan negara Khilafahnya akan menerapkan politik ekonomi Islam dalam pengelolaan pangan dan pertanian. Karena politik ekonomi Islam bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat.
Negara Islam dalam naungan Khilafah bertanggung jawab untuk menjamin berjalannya produksi, menjaga stok, distribusi, hingga konsumsinya. Dengan demikian maka Khilafah akan mendukung penuh usaha yang akan dilakukan rakyatnya dengan meningkatkan produk pertanian. Khilafah juga akan memperbaiki kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi ditempuh dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Memberikan subsidi untuk keperluan produksi pertanian, menjamin keperluan para petani untuk menjadikan prioritas pengeluaran di baitulmal. Para petani akan diberikan berbagai bantuan, dukungan, dan fasilitas dalam berbagai bentuk seperti: modal, peralatan, pengadaan benih, pemanfaatan teknologi modern di kalangan petani, teknik budidaya obat-obatan, penyelenggaraan riset (termasuk pendidikan pelatihan, dan pengembangan), dan pemasaran. Hal ini bisa dilaksanakan secara langsung maupun subsidi. Infrastruktur akan dibangun untuk kelancaran distribusi pangan seperti, jalan, komunikasi, pengairan, dan prasarana pendukung lainnya.
Ekstensifikasi dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan yang diolah. Di antaranya Khilafah akan menjamin kepemilikan lahan yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati, dan pemagaran bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Selain itu negara juga akan memberikan tanah yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Keterbatasan lahan dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru seperti mengeringkan rawa, merekayasa lahan pertanian lalu membagikannya kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya.
Selain itu Khilafah akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian.
Disamping itu negara juga tidak akan membiarkan lahan produktif tidak ditanami oleh pemiliknya, agar tidak ada istilah tanah kosong yang dibiarkan tanpa pemanfaatan untuk kemaslahatan rakyat. Sehingga tidak akan terjadi dominasi lahan pada individu tertentu sebagaimana ketika lahan dikuasai oleh para kapitalis.
Dalam mekanisme menghadapi gagal panen karena iklim atau cuaca, yang membuat suatu wilayah kekurangan pangan, Khilafah sebagai negara kesatuan global yang tidak mengenal nation state akan memerintahkan wilayah yang lain untuk mendistribusikan pangan ke wilayah yang kekurangan.
Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, ketika beliau memerintahkan Amr bin Ash yang menjadi wali di Mesir dari Muawiyah di Syam untuk mengirimkan makanan ke Madinah yang sedang mengalami kekeringan. Inilah aksi nyata yang bisa menyelesaikan krisis pangan suatu wilayah, bukan hanya sekadar menunggu laporan atau pertemuan demi pertemuan sebagaimana lembaga yang dilakukan lembaga internasional saat ini, yang tidak mampu memerintahkan wilayah yang over stok pangan untuk mengirim ke wilayah yang mengalami kelaparan.
Khilafah bahkan mampu membantu dengan nyata wilayah negara kufur yang mengalami kelaparan. Seperti masa potato femina karena kelangkaan kentang yang terjadi di Irlandia. Sultan Abdul Majid I menawarkan bantuan sebesar 10.000 Euro atau sekitar USD 1,3 juta saat ini. Tetapi karena ditolak Ratu Victoria, akhirnya beliau mengirimkan 1000 Euro beserta 3 kapal yang membawa makanan, obat-obatan, dan keperluan lainnya secara diam-diam.
https://narasipost.com/opini/10/2023/pangan-jadi-supremasi-indonesia-mungkinkah-terwujud/
Selain itu, konsep kepemilikan dalam Islam yang menjadikan pengelolaan sumber daya alam oleh negara, akan menjadi sumber pemasukan untuk memberikan layanan publik berkualitas kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sehingga sudah saatnya umat Islam harus mengakhiri harapannya pada globalisasi kapitalis. Umat Islam harus mengambil sebuah sistem yang telah Allah syariatkan, dan yang telah Rasulullah terapkan. Karena hanya kembali pada hukum Allah maka permasalahan krisis pangan, dan kelaparan mampu diselesaikan. Sebuah sistem yang akan mendatangkan rahmat ke seluruh alam.
Kekuatan persatuan dalam sistem negara Khilafah akan menjadi kekuatan global untuk mengakhiri krisis demi krisis, perang demi perang, dan yang menyelamatkan masyarakat dunia dengan solusi Islam. Sebagaimana yang telah tercatat dan terbukti dalam sejarah kegemilangan Islam.
Wallahu’alam bishawab []
Kereen. Penggambaran solusi islam yang komprehensif. Masak masih mau tetap berada di sistem kapitalisme?
Islam memang luar biasa! mempunyai selengkap solusii yang mendetail untuk menuntaskan segala problematika! 🙂
Alhamdulillah, jazakillah Tim NP
Artikelnya sudah di tayangkan,