Inilah konsekuensi dalam berdemokrasi. Memutuskan bukan karena benar salahnya fakta atau kuat tidaknya dalil, tetapi berdasarkan siapa yang paling banyak suara.
Oleh. Isty Da’iyah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pesta demokrasi telah usai, kini saatnya bagi-bagi kursi, otak-atik posisi agar jabatan rata dibagi. Inilah politik balas budi dalam sistem demokrasi. Hal ini lumrah terjadi, karena dalam sistem demokrasi tidak ada kawan sejati atau musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan untuk memenangkan kursi. Semua bisa terjadi keluar dan masuk untuk berkoalisi, dulu permusuhannya sangat sengit sekarang saling puji setinggi langit.
Bahkan fenomena bagi-bagi kursi untuk partai koalisi, kini makin mendapat angin segar. Terbukti para petinggi mulai menggodok undang-undang yang akan menambah jumlah menteri dalam kabinet baru.
Dilansir dari KABAR24.bisnis.com, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mewacanakan UU Kementerian Negara yang awalnya mengatur maksimal kementerian berjumlah 34 bisa menjadi 40. Salah satu alasannya adalah karena setiap presiden punya kebijakan berbeda-beda. Tantangan dan masalah pemerintah saat ini lebih fleksibel, sehingga memungkinkan untuk mengubah undang-undang tersebut agar juga bisa fleksibel dan bisa menjawab berbagai tantangan baru (12/5).
Dalam laman yang sama, hal ini menuai polemik. Banyak yang mengkritisi wacana perubahan undang-undang tersebut, karena penambahan jumlah menteri akan membuat gendut kabinet dalam pemerintahan. Menurut Mahfud MD jika ada penambahan jumlah menteri bisa menimbulkan peluang banyaknya kolusi. Karena setiap pemilu jumlahnya akan makin bertambah. Padahal harusnya jumlah menteri dibuat sesedikit mungkin agar tidak memperbanyak peluang korupsi (8/5/2024).
Meskipun wacana penambahan jumlah kursi menteri ini sempat dibantah oleh oleh Ketua DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad yang menyatakan Prabowo Subianto masih belum bagi-bagi kursi menteri, nyatanya selang beberapa hari dari wacana yang digulirkan, akhirnya pada tanggal 14 Mei wacana revisi undang-undang Kementerian dibahas secara resmi di DPR dalam rapat pleno di Senayan. Dalam Undang-undang Kementerian Negara, salah satu pasal, ada pasal yang membatasi jumlah kementerian yang akhirnya diusulkan perubahannya, menjadi ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden, dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintah. Rencananya, rancangan menteri yang diusulkan masih akan dibahas oleh fraksi-fraksi di DPR dan perwakilan pemerintah. (KABAR 24.Bisnis.com 15/5)
Banyak pihak yang menilai, jika perubahan undang-undang ini merupakan jalan mulus sebagai politik balas budi dan bagi-bagi kursi untuk partai pendukung koalisi. Meskipun banyak pro dan kontra. Namun, dalam sistem demokrasi perubahan undang-undang demi sebuah kepentingan adalah hal biasa dilakukan. Semua cara dilegalkan asalkan bisa membuka jalan mulus untuk meraih kekuasaan.
Konsekuensi Politik Demokrasi
Demokrasi yang selama ini dianggap sebagai politik jalan tengah, nyatanya hanya menambah masalah. Politik syarat kepentingan yang justru membawa kepada ketidakadilan. Namun, anehnya politik yang diharapkan akan membawa pada kemajuan dan kesejahteraan, nyatanya malah membawa rakyat pada jurang kesengsaraan ini tetap dipertahankan.
Politik demokrasi yang senantiasa menjual mimpi, bahwa hanya dengan demokrasi semua manusia memiliki kedudukan yang sama dalam berpolitik (kedaulatan di tangan rakyat) nyatanya rakyat hanya sebagai objek pendulang suara saja. Partai menjadi pengumpul suara rakyat dalam pemilu, sementara rakyat hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan saja. Suara rakyat hanya dihitung bukan didengar, aspirasi serasa dikebiri. Rakyat hanya dibutuhkan ketika pemilu, namun diabaikan setelah itu.
Dengan slogannya, demokrasi memberikan hak politik yang sama pada seluruh rakyat, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Nyatanya kemampuan menggunakan hak politik tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan terhadap akses sumber daya ekonomi. Seorang rakyat miskin meski memiliki hak sama yaitu suara dalam pemilu, tetapi tidak akan memiliki kekuatan politik yang sama dengan seorang konglomerat.
Namun, inilah konsekuensi dalam berdemokrasi. Memutuskan bukan karena benar salahnya fakta atau kuat tidaknya dalil, tetapi berdasarkan siapa yang paling banyak suara. Pada poinnya demokrasi tidak bisa diharapkan untuk keadilan dan kesejahteraan.
Bahkan politik balas budi makin terpampang jelas saat ini. Komposisi menteri kabinet pemerintahan yang diagendakan akan efektif pada bulan Oktober 2024 nanti, nyatanya penuh dengan agenda bagi-bagi kursi.
Artinya pemerintahan hasil dari sistem demokrasi yang terjadi saat ini, meskipun berganti pemimpin, nyatanya tetap meneruskan dan melanjutkan program-program rezim saat ini. Sebagaimana diketahui selama rezim ini berkuasa akan selalu berpihak kepada oligarki, bahkan asing, dan aseng meskipun harus menzalimi rakyat sendiri.
Padahal Islam telah memberikan aturan yang jelas terkait tanggung jawab seorang pemimpin. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasullulah saw. bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya seorang Imam itu laksana perisai (junnah). Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya ia akan mendapat pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang lain Ia juga akan mendapatkan dosa atau azab karenanya.”
Politik dalam Sistem Islam
Rasulullah saw. adalah teladan bagi kaum muslim. Demikian juga ketika beliau menjadi seorang pemimpin. Beliau memberikan metode syar'i dalam melakukan politik Islam (siyasah/riayatul suunil ummah). Metode Rasulullah ini telah berhasil mengubah sistem jahiliah menjadi sistem Islam dengan berdirinya Daulah Islam di Madinah. Selanjutnya diteruskan oleh para sahabat, hingga institusi ini bertahan hingga 13 abad dan menguasai hampir 2/3 dunia.
Institusi Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam, yang mempunyai definisi secara syar'i adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslim seluruhnya di dunia, untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke penjuru dunia. Konsep krusial dalam sistem pemerintahannya adalah menyangkut konsep kedaulatan. Sistem Khilafah menjadikan kedaulatan di tangan Allah Swt. atau syariat. Hal ini didasarkan pada syariat Islam yang hanya mengakui Allah Swt. adalah satu-satunya pemilik otoritas yang membuat hukum atau Al Hakim. Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk membuat hukum. Khilafah dan rakyat semuanya berstatus sebagai pihak yang mendapatkan beban hukum (mukallaf) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.
https://narasipost.com/opini/02/2022/rebutan-kursi-di-tengah-krisis-multidimensi/
Berdasarkan prinsip ini maka semua perundang-undangan di negara Khilafah harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau yang ditunjukkan oleh keduanya. Sebagai contoh seandainya seluruh rakyat berkumpul dan secara aklamasi menyetujui riba atau bersepakat melegalkan minuman keras dengan dalih agar perizinan tidak menyebar luas di tengah masyarakat, maka kesepakatan itu tidak ada nilainya sama sekali di dalam Khilafah. Karena itu bertentangan dengan syariat Allah Swt.
Allah Swt. Berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 47 yang artinya:
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang fasik.”
Sistem politik Islam yang mudah dijalankan tidak akan menghabiskan banyak biaya untuk gelaran pesta pemilu. Tidak akan ada politik balas budi dan tidak akan ada bagi-bagi kursi koalisi. Sebuah sistem pemerintahan yang bersih dari kolusi dan korupsi. Sebuah institusi negara yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah kehidupan yang baldatun thayyibatun warobun ghofur.
Sebuah politik yang punya tujuan mulia yakni mendapatkan rida dari Allah semata. Sehingga akan menghasilkan manusia-manusia yang bertakwa yang siap mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.
Wallahu’alam bi shawab. []
Dalam sistem demokrasi apa pun bisa berubah dan terjadi. Karena semua akan disesuaikan dengan kepentingan orang-orang tertentu.
Kita sudah sangat muak dengan praktik politik daging sapi di alam demokrasi. Sayangnya banyak umat belum tahu ada alternatif lain untuk mewujudkan kekuasaan yang bersih, clean goverment, yaitu sistem Islam. Bukan sekadar wacana, tetapi bisa terimplementasi nyata
Betul...sesak dada ini rasanya