Ketika sebuah hukum syara' telah jelas hukumnya dan tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan imam Mazhab, maka negara wajib mengadopsi dan memahamkan umatnya terkait hukum tersebut
Oleh. Wida Nusaibah
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
NarasiPost.Com-Unggahan terkait wanita boleh puasa ketika haid mendadak viral. Unggahan yang ditayangkan di akun IG @mubadalah.id diambil dari tulisan Kiai Imam Nakhai di situs mubadalah.id. Situs tersebut bahkan sudah dilihat 11,6 ribu kali. Namun, unggahan "nyeleneh" tersebut kemudian dihapus oleh pengunggahnya di FB karena menimbulkan kontroversi. (Detik.news, 3/5/21)
Kapitalisme Sekuler Mengaburkan Pemahaman Umat
Seseorang melakukan perbuatan sesuai dengan pemahamannya. Dengan mengunggah tulisan terkait wanita haid boleh puasa menunjukkan bahwa hal itulah yang dipahami oleh si pengunggah.
Dilihat oleh detikcom pada Minggu (2/5), bahwa unggahan itu menyebutkan tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an yang melarang perempuan haid berpuasa. Kemudian, menyebutkan juga bahwa hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra dan riwayat lainnya menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid dan tidak melarang puasa.
Di era kapitalisme yang akidahnya sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) telah nyata mengaburkan pemahaman umat, sehingga umat jauh dari pemahaman yang benar. Negara dengan paradigma Sekularisme telah memisahkan agama dari kehidupan dan juga dari negara. Dengan begitu, dalam urusan agama diserahkan kepada individu rakyat sehingga negara abai dalam menjaga akidah umat.
Bahkan dalam sistem kapitalis sekuler saat ini, negara mendorong liberalisasi syariah, sehingga menyuburkan pemahaman menyimpang yang dapat menyesatkan umat.
Hukum Puasa bagi Wanita Haid Sesuai Ijma'
Dari kasus di atas yang menyatakan wanita haid boleh puasa dengan alasan tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an yang melarangnya. Ini artinya mereka menilai bahwa jika sesuatu tidak ada seruannya dalam Al-Qur'an berarti dalilnya tidak kuat.
Padahal seharusnya seorang muslim yang memahami rukun iman, yakni salah satunya beriman kepada Rasulullah Muhammad Saw harusnya meyakini bahwa apa yang disampaikan, dikatakan, diperbuat, dan didiamkan oleh Rasul adalah juga sebuah hukum. Sebab, Rasulullah berbuat dan berkata bukan berdasarkan hawa nafsunya. Namun, perkataan dan perbuatan Rasulullah juga berasal dari petunjuk Allah Swt.
Hadis yang diriwayatkan Aisyah, ia berkata, "Kami pernah kedatangan hal itu [haid], maka kami diperintahkan mengqada puasa dan tidak diperintahkan mengqada salat." [HR. Muslim]
Hadis tersebut dianggap tidak melarang wanita haid untuk berpuasa. Padahal hadis tersebut jelas menunjukkan bahwa wanita haid diperintahkan untuk meng-qadha puasanya. Hadis tersebut sifatnya qath'i, baik secara tsubut atau dhalalahnya. Jadi hadis di atas tidak boleh sama sekali dimaknai berbeda karena maknanya jelas, yaitu wanita haid dilarang puasa.
Begitu juga dengan hadis Rasulullah yang artinya, "Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?" Mereka menjawab, :Ya." [HR. al Bukhari]
Dari dalil di atas jelas bahwa hukum bagi wanita haid dilarang puasa dan diwajibkan mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari lain di luar Ramadan. Hukum ini jugalah yang menjadi Ijma' (kesepakatan ulama mujtahid).
Negara Berakidah Islam Menjaga Pemahaman Umat
Penyimpangan pemahaman seperti disebutkan di atas tidak akan terjadi ketika negara menerapkan aturan Islam. Paradigma negara Islam adalah berdiri berdasarkan akidah Islam. Dalam Islam, salah satu fungsi negara adalah muhafazah ala ad diin (menjaga agama).
Ketika sebuah hukum syara' telah jelas hukumnya dan tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan imam Mazhab, maka negara wajib mengadopsi dan memahamkan umatnya terkait hukum tersebut. Dalam syariat Islam, wanita haid dilarang melakukan puasa, maka hukum inilah yang harus diterapkan oleh umat di bawah pengawasan negara.
Kasus pandangan yang membolehkan wanita haid untuk puasa merupakan sinyal bagi negara untuk serius menjaga syariah dan akidah umat. Sebab terjadinya kasus tersebut menandakan negara telah abai menjaga syariah.
Oleh karena itu, agar pemahaman umat lurus dan tidak menyimpang dibutuhkan peran negara dalam menjaga akidah umat dan agamanya. Negara harus menjamin tidak ada pandangan menyesatkan yang bisa berkembang dan disebarkan di tengah umat. Semua itu hanya akan terwujud ketika negara berasaskan pada akidah Islam. Wallahu a'lam![]
photo : google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]