Negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalis, menjadikan pajak (tax) dan utang sebagai sumber pemasukan negara.
Oleh. Witta Saptarini, S.E.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Di momen-momen tertentu, adakalanya pusat perbelanjaan mengadakan event cuci gudang dengan memberikan potongan harga besar-besaran. Secara otomatis ramai dibanjiri pembeli dan diliputi rasa happy. Lain halnya dengan momen menjelang Idulfitri tahun ini, barisan sakit hati para pekerja swasta tanah air memadati media sosial, disebabkan potongan pajak (tax) THR, dengan akumulasi yang dirasakan cukup besar tanpa adanya sosialisasi. Mereka menyuarakan kekecewaan terhadap negara, bahwasanya negara tak ubahnya seperti pemeras dan pemecut tenaga rakyat demi ‘upeti‘, yang menambah kesulitan hidup. Namun, tak sedikit pula yang merespons, bahwa mereka telah terlatih patah hati alias pasrah menerima keadaan. Ketidakadilan pun dirasakan, pasalnya kebijakan ini tidak berlaku bagi para pegawai berpelat merah. (Bisniscom, 28/3/2024)
Skema Pajak (Tax) Baru
Selain gaji tetap yang rutin diterima karyawan swasta. Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 tahun 2023, Tunjangan Hari Raya (THR) pun dikenakan PPh 21 atau potongan pajak penghasilan. Di mana, secara langsung THR para pemberi kerja swasta ini dipangkas oleh tiap perusahaan, untuk disetorkan ke kas negara. Merujuk pada skema baru, perhitungan besaran pajak dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER), mulai 1 Januari 2024.
Hanya saja, dengan metode ini potongan pajak THR tahun 2024 disebut-sebut lebih besar dari tahun sebelumnya. Namun, salah satu pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti membantah tudingan tersebut. Bahwasanya, beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak tidak ada perubahan. Ia menjelaskan, besaran potongan merupakan akumulasi jumlah gaji pokok dan THR yang dikalikan dengan tarif potongan. Sehingga, tarif potongan akan naik bersamaan dengan naiknya besaran pendapatan bersih. Dwi pun menegaskan, pada prinsipnya setiap tambahan kemampuan ekonomis, pasti akan dikenakan pajak penghasilan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti angkat suara. Esther meng-compare THR dengan tunjangan atau allowance untuk summer holiday di Eropa. Bahwasanya, para pekerja diberikan uang saku, agar mereka dapat berlibur. Bahkan, untuk cuti pun mereka mendapatkan uang. Jadi, menurutnya THR dipajaki itu merupakan suatu hal yang berlebihan. (Official iNews, 29/3/2024)
Mekanisme Pajak (Tax) dalam Sistem Kapitalisme
Kebijakan pajak THR bukanlah suatu hal yang mencengangkan, justru makin jelas merefleksikan tata negara ini diatur oleh sistem kapitalisme, yang notabene orientasi regulasinya berlandaskan keuntungan materi. Jelas, sistem ini bahaya, batil, bahkan zalim ketika diterapkan. Faktanya, alih-alih mendapat service dari negara, rakyat justru habis dipalaki, membayar mahal atas regulasi yang tak manusiawi.
Secara mutlak, negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalis, menjadikan pajak dan utang sebagai sumber pemasukan negara, yang notabene sebagai bagian konsep ekonomi kapitalis itu sendiri. Tak heran, pendapatan pajak yang rawan dikorupsi ini lebih mendominasi dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sehingga, kenaikan pajak dijadikan solusi instan, jika target pendapatan negara tak tercapai. Tak ayal, melegalkan kebijakan menarik berbagai jenis pajak menjadi suatu keniscayaan. Walhasil, segala sesutu yang memilki kemampuan ekonomis dijadikan objek pajak, seperti gaji, THR, kendaraan, rumah, bahkan makanan pun dikenai pajak.
Maka, melegalkan pajak sebagai elemen tetap sumber pendapatan negara, merupakan kebijakan yang batil. Sejatinya, negara ini memiliki bermacam sumber ekonomi yang bisa dijadikan pemasukan, bahkan memberi kontribusi besar pada pendapatan negara. Salah satunya, pengelolaan sumber daya alam secara mandiri. Hanya saja, konsep liberalisasi yang yang notabene turunan konsep ekonomi kapitalis telah melegalkan privatisasi. Alhasil, kekayaan negeri berada dalam navigasi sekaligus dinikmati oligarki kapital dan korporasi. Sementara untuk mengaksesnya, rakyat harus membayar mahal, bahkan gigit jari. Inilah konsekuensi logis penerapan sistem kapitalisme, negara hanya memainkan peranan sebagai regulator, memuluskan jalan bagi korporasi dan pemilik modal menguasai kekayaan negeri, yang sejatinya milik rakyat.
Mekanisme Pajak dalam Islam
Melegalkan kebijakan pajak (tax) atas segala sesuatu yang memiliki nilai ekonomi, tidak dibenarkan dalam Islam. Rasulullah saw., mengancam praktik pajak semacam ini, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim:
“ Ketahuilah bahwa para penarik cukai (pajak) tidak akan memasuki surga-Nya.”
Islam tidak menafikan eksistensi pajak (tax). Namun, memiliki pandangan yang khas sesuai syariat dalam pengaturannya. Artinya, penetapan sumber pendapatan dan pembiayaan negara APBN (baitulmal), bertumpu di atas landasan syariat. Adapun pajak dalam Islam dikenal sebagai dharibah, yang menjadi bagian dari sumber pos kepemilikan negara, sifatnya instrumental dan insidental. Di mana, praktik pemungutan dan peruntukkannya amat jauh berbeda, dengan pajak dalam sistem kapitalisme saat ini. Sebagaimana yang pernah dipraktikkan dalam negara Khilafah. Negara hanya menjadikan dharibah sebagai alternatif terakhir, tatkala kondisi kas baitulmal menipis bahkan nihil, untuk memenuhi kebutuhan umat dalam kondisi genting, agar tidak menimbulkan dharar (bahaya).
Dalam baitulmal atau APBN, terdapat sumber pendapatan tetap dan tidak tetap. Pendapatan tetap terdiri dari fai, jizyah, kharaj, ‘usyr, ganimah, rhikaz, khumus, zakat, harta milik umum dilindungi negara, harta orang murtad, dan sebagainya. Adapun, pendapatan tidak tetap ini sifatnya instrumental dan insidental. Instrumental diartikan, bahwa pendapatan tidak tetap ini hukumnya fardu kifayah, sebab dijadikan tools pemecah masalah yang dihadapi negara, bilamana terjadi kekosongan dana di baitulmal. Maka, di saat itulah negara boleh menarik pajak. Kemudian, bersifat insidental diartikan bahwa pendapatan yang diambil, tergantung kebutuhan yang dibenarkan syariat Islam. Jadi, pajak atau dharibah terkategori sumber pendapatan tidak tetap negara. Istimewanya, negara hanya memungut dharibah (pajak) dari kalangan muslimin “zhahri ghina” yang memiliki kelebihan harta atau orang kaya.
Jelas, pemungutan pajak dalam negara Khilafah, tidak ditujukan untuk menambah pemasukan, menekan pertumbuhan, serta merintangi seseorang menjadi kaya. Apalagi, menetapkan pajak yang sifatnya tak langsung, seperti pajak pertambahan nilai, penghasilan, hiburan, barang mewah, jual beli dan lainnya. Termasuk tidak menarik pungutan dari pelayanan publik, seperti denda administrasi, KTP, KK, SIM, dan sejenisnya. Bahkan, meniadakan biaya pendidikan, kesehatan, serta keamanan, yang sejatinya merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Itulah, cerminan luar biasa bila Islam diterapkan, negara benar-benar memainkan perannya, yakni memberikan extraordinary service bagi rakyatnya.
Wallahu a’lam bish-shawaab.[]
Pungutan pajak makin hari makin mencekik. Sistem kapitalisme memang menyengsarakan rakyat.