Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan negara.
Oleh. Adinda Putri Iffatuz Zahroh
(Kontributor NarasiPost.Com & Aktivis Dakwah)
NarasiPost.Com-Kekerasan pada anak yang dilakukan pengasuh atau babysitter kembali berulang. Selebgram yang bernama Emy Aghnia melaporkan kasus tindakan kekerasan pada anak kepada Polresta Malang. Kejadian ini menimpa anak pertamanya bernama Cana yang diasuh oleh pengasuhnya berinisial IPS.
Tindakan yang dilakukan IPS dinilai sangat kejam karena terlihat dari bukti rekaman CCTV kamar Cana yang mengalami luka-luka lebam di area wajah dan telinga. Kejadian ini berlangsung satu jam lebih pada pukul 4 pagi, dalam keadaan pintu kamar terkunci sehingga tidak ada orang yang bisa mendengar tangisan Cana.
Polisi menetapkan IPS sebagai tersangka dan dijerat pasal 80 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun.
Tersangka mengaku merasa jengkel kepada korban karena tidak mau diobati luka bekas cakaran di tubuh korban. Tidak hanya itu, IPS juga mengaku tengah memiliki masalah personal yang menjadi salah satu faktor pendorong tindakannya, yakni anggota keluarga di kampung halamannya ada yang sakit. (Kompas TV, 30/3/2024)
Kasus yang Berulang
Kejadian kekerasan ini bukanlah pertama kali terjadi di negeri ini. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 2.355 kasus pelanggaran sebagai laporan kekerasan anak dan ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan hingga Agustus 2023.
Menurut data KPAI, ada 723 kasus kekerasan yang berhubungan dengan satuan pendidikan yang terdiri:
- Anak korban bullying atau perundungan: 87 kasus.
- Anak korban kebijakan pendidikan: 27 kasus.
- Anak korban kekerasan fisik atau psikis: 236 kasus.
- Anak korban kekerasan seksual: 487 kasus.
Komisioner KPAI, Aries Adi Leksono, menuturkan bahwa data-data tersebut cenderung meningkat setiap bulannya, sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat untuk menekan penurunan angka kekerasan anak. Kasus ini merupakan fenomena gunung es.
Terulangnya kasus kekerasan terhadap anak merupakan bukti bahwa minimnya mereka mendapat jaminan keamanan dalam tingkat keluarga. Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan negara. Mirisnya, hari ini fungsi negara sebagai pelindung keselamatan dan kesejahteraan masyarakat tidak berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
Ibu yang seharusnya berperan sebagai pendidik dan pengasuh anak-anak di dalam rumah untuk mengontrol pembelajaran dan perkembangan anak, tergantikan posisinya oleh babysitter karena sibuk mencari tambahan materi untuk memenuhi kebutuhan secara fisik.
Lingkungan dalam sistem sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan kapitalisme (bermodal uang) telah memberikan kebebasan penuh kepada manusia untuk melakukan apa pun keinginannya sesuai nominal yang dipunya. Masyarakat merasa beban hidup makin berat karena bersandar pada materi atau nominal yang bisa meningkatkan stres, sehingga mudah untuk melakukan kekerasan.
Selain itu, pengaruh media dalam menyaring konten menjadi ranah negara dalam melakukan pencegahan. Negara seharusnya melakukan kontrol dan pengawasan terhadap tayangan, tontonan, dan produksi konten yang berbau pornografi atau kekerasan.
Akan tetapi, sekularisme
telah memandulkan peran negara dalam aspek ini. Film-film berbau maksiat dan kekerasan bebas diproduksi tanpa ketegasan. Konten atau tayangan yang tidak mendidik masih bertebaran dan mudah diakses. Tontonan menjadi tuntunan. Menuntun masyarakat dalam bertingkah laku bukan lagi dari Islam. Sehingga melahirkan gaya hidup dan pemikiran liberal untuk melakukan kebebasan berekspresi dan bertingkah laku.
Pandangan Islam
Islam memiliki pandangan khas tentang hal ini. Semua pandangan Islam berasal dari Al-Qur’an dan Sunah. Seorang muslim didorong menjadikan dua sumber hukum Islam sebagai panutan, agar terwujud ketaatan kepada seruan Allah. Ia tak boleh mengikuti pandangan lain seperti sekularisme, kapitalisme, dan liberalisme.
Berikut ini solusi Islam mengenai kasus kekerasan pada anak:
Pertama, Islam memandang keluarga sebagai tempat mendidik dan melindungi anggotanya. Anak-anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Ibu berperan menjadi tempat pendidikan awal bagi anak-anak (al-maddrasatul ula). Sedangkan ayah berperan sebagai pemimpin keluarga (qawwam).
Kedua, Islam juga memberikan kewajiban bagi suami sekaligus ayah untuk memenuhi nafkah dan melindungi keluarga. Istri atau Ibu mubah untuk bekerja di luar rumah. Apabila istri ingin bekerja, karena kebutuhan rumah tangga sehari-hari belum tercukupi, maka wajib mendapat rida suami untuk bekerja demi mendapatkan keberkahan dan kemudahan.
https://narasipost.com/opini/04/2024/kekerasan-pada-anak-melonjak-islam-menuntaskan/
Ketiga, Islam mengharamkan melihat gambar atau video yang mengandung konten pornografi atau kekerasan. Negara juga tidak membiarkan siapa pun memproduksi konten yang tidak sesuai hukum syarak dan akan menyaring konten yang mendidik dan bermanfaat.
Solusi tuntas tersebut hanya bisa terlaksana manakala Islam diterapkan dalam sebuah institusi negara, yaitu Khilafah. Oleh karena itu, jalan satu-satunya menyelesaikan masalah ini adalah kembali kepada sistem Islam kaffah. Wallahualam bissawab. []
Seringnya fakta-fakta kekerasan serupa di negeri ini sungguh bikin miris. Di sisi lain, beratnya hidup dalam sistem kapitalisme telah memicu berbagai penyakit mental masyarakat.
Hari ini sistem semakin marak kekerasan yang bermula dari pandangan duniawi hingga muncul stress berat. Orang lain yang jadi korban, tidak sedikit pula di negara kita orang-orangnya sakit mental. Miris sekali...
Miris melihat banyaknya kejadian kekerasan pada anak hari ini di dalam sistem sekularisme. Meski payung hukum ada kejadian selalu berulang dan tak mampu melindungi anak2 dr kekerasan. Jika begini orang tua mana gak resah, kejahatan selalu mengintai di mana atau kapan saja. Sangat beda dg Islam yang melindungi dan menjaga anak2.