Mereguk Asa pada Minyak Makan Merah

Minyak makan merah

M3 menjadi alternatif untuk meningkatkan ekonomi petani. Namun menggantungkan asa pada kapitalisme untuk sejahtera, harapan yang sia-sia.

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)

NarasiPost.Com- Minyak makan merah (M3) menjadi alternatif di tengah mahalnya harga minyak goreng saat ini. Minyak ini digadang-gadang mampu menggantikan minyak goreng kelapa sawit yang banyak dikonsumsi masyarakat saat ini. Produk ini pun dinilai lebih terjangkau dan lebih sehat. Tak hanya itu, minyak makan merah disebut dapat menghasilkan nilai tambah yang akan meningkatkan kesejahteraan petani.

Dikutip dari detik.com (18/03/2024), Presiden Jokowi meresmikan pabrik percontohan minyak makan merah Pagar Merbau di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, pada 14 Maret 2024 lalu. Pengelolaan pabrik tersebut merupakan hasil kerja sama antara Koperasi Pujakesuma dengan PTPN II. Jokowi menyebut, pembangunan pabrik tersebut merupakan salah satu wujud hilirisasi. Nantinya, petani tidak perlu langsung menjual tandan buah segar kelapa sawit dalam bentuk masih mentah, tetapi dapat mengirimnya ke pabrik tersebut untuk diolah menjadi minyak terlebih dahulu. Langkah ini disebut dapat menghasilkan nilai tambah bagi petani sawit.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud minyak makan merah (M3) dan bagaimana manfaatnya? Benarkah hilirisasi sawit tersebut dapat menyejahterakan petani? Bagaimana pula Islam memberi kesejahteraan pada petani?

Mengenal Minyak Makan Merah (M3) dan Manfaatnya

Minyak makan merah (refined palm oil) mungkin masih asing di telinga masyarakat. M3 merupakan produk lain dari minyak sawit mentah atau crude palm oil. Minyak ini berwarna terang mencolok dan memiliki aroma yang kuat. Warna mencolok dari M3 tersebut diperoleh dari warna kelapa sawit yang memang berwarna merah tua. Dalam proses produksinya, M3 juga diproses seperti pembuatan minyak goreng pada umumnya, yakni menggunakan bahan dasar tandan buah segar kelapa sawit. Hanya saja, prosesnya tidak sampai pada tahap bleaching (pemucatan) dan deodorisasi (proses pelucutan), sebagaimana yang dilakukan pada minyak goreng sawit pada umumnya. (tribunnews.com, 14/3/2024)

Selain itu, minyak makan merah ini pun disebut memiliki kandungan vitamin yang lebih baik dari minyak sawit biasa. Menurut kajian dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), minyak makan merah masih mempertahankan kandungan senyawa fitonutrien, yang meliputi karoten (sebagai sumber vitamin A), tokoferol dan tokotrienol (sebagai sumber vitamin E), dan squalena (senyawa organik). Dengan kandungan yang ada tersebut, Minyak berpotensi sebagai bahan pangan fungsional, salah satunya sebagai bahan pangan anti-stunting.

Selain itu, M3 juga diklaim mengandung asam oleat dan asam linoleat yang berfungsi untuk pembentukan dan perkembangan otak dan metabolisme pada anak. Satu hal lagi yang bisa membuat masyarakat lega, M3 disebut memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan minyak goreng lainnya yang beredar di pasaran, sebagaimana diklaim oleh Presiden Jokowi. Namun, terlepas dari manfaat dan keuntungannya jika petani menjualnya dengan mengolah dahulu menjadi M3, benarkah hilirisasi tersebut dapat menyejahterakan petani?

Petani Sejahtera Sebatas Impian

Pembangunan pabrik pengolahan tandan buah segar sawit menjadi M3 disebut oleh pemerintah bertujuan untuk memastikan kesejahteraan petani dan memastikan keberlanjutan suplai minyak goreng yang lebih sehat dan terjangkau harganya. Namun, jika mau berpikir lebih mendalam, sesungguhnya persoalan para petani tidaklah sekadar itu. Petani tidak hanya menanam sawit saja lalu mengolahnya di pabrik menjadi barang jadi dan dapat keuntungan. Persoalannya tidak sesederhana itu.

Para petani sawit dihadapkan dengan sejumlah persoalan krusial yang telah berlangsung lama. Beberapa di antaranya:

Pertama, persoalan penyempitan lahan. Diketahui, Indonesia memiliki sekitar 15,3 juta hektare kebun sawit. Dari jumlah tersebut, Perkebunan Rakyat (PR) hanya memiliki sekitar 6,2 juta hektare atau sekitar 40,5 persen. Sisanya dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan sebagian kecil Perkebunan Besar Negara (PBN). Kepemilikan lahan petani semakin menyempit karena para pengusaha terus melakukan perluasan lahan melalui ekstensifikasi.

Kedua, selain persoalan lahan yang semakin menyempit, petani juga dihadapkan pada persoalan pupuk. Harga pupuk komersial yang sangat tinggi dan langkanya pupuk subsidi juga menjadi persoalan krusial yang sudah bertahun-tahun dialami oleh petani. Seorang petani sawit di Pagar Merbau (Misran), bahkan mengatakan hanya mampu memupuk sawitnya setahun sekali. Padahal, normalnya tanaman sawit harus diberi pupuk dua kali dalam setahun. (kompas.id, 14/3/2024)

Ketiga, persoalan selanjutnya yang tak kalah penting adalah keterbatasan modal, lemahnya penguasaan teknologi, dan lemahnya posisi tawar dalam penjualan hasil panen. Belum lagi, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator yang menjadi perantara antara rakyat dengan korporasi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ketimpangan kepemilikan lahan antara rakyat dengan korporasi. Segelintir orang akhirnya menguasai lahan yang sangat luas, sementara petani kecil memiliki lahan yang semakin terjepit.

Realitas tersebut jelas membuat kesejahteraan petani sawit masih sekadar mimpi. Meski sektor kelapa sawit berperan penting dalam menopang perekonomian nasional dan para petani telah banting tulang bekerja menanam sawit, tetapi kondisi ekonomi mereka masih sulit mengalami kemajuan. Jika memang serius ingin mewujudkan kesejahteraan petani, seharusnya pemerintah melakukan berbagai cara yang memudahkan para petani meningkatkan produktivitas sawit, lahan, serta menangani permasalahan pupuk yang sangat mahal.

Islam Menyejahterakan Petani

Kata sejahtera bagi rakyat jelata memang masih menjadi angan-angan dalam sistem kapitalisme. Namun, kesejahteraan bukanlah hal yang utopis dalam Islam. Pasalnya, Islam sebagai agama dan ideologi paripurna memiliki kebijakan sempurna untuk menyejahterakan rakyatnya, termasuk petani.

Islam menjalankan pengaturan pertanian berdasarkan konsep hukum Islam yang sangat adil, yakni:

Pertama, dalam aspek produksi, negara (Khilafah) menjalankan hukum pertanahan sesuai syariat Islam. Yang mana, Islam menetapkan kepemilikan lahan pertanian sesuai dengan pengelolaannya. Artinya, siapa pun yang mampu mengelola lahan baik satu petak, satu hektare, atau seluas apa pun, maka ia berhak memilikinya. Sebaliknya, bagi yang tidak mampu mengelola dan membuatnya produktif, maka hilang pula kepemilikannya.

Dalam perkara lahan, Islam menetapkan tiga hukum yakni menghidupkan tanah mati, larangan menelantarkan lahan lebih dari tiga tahun, dan larangan menyewakan lahan pertanian. Kebijakan tersebut sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat Bukhari, "Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak atas tanah itu."

Kedua, demi memaksimalkan lahan pertanian, negara akan memberikan bantuan kepada petani mulai dari sarana produksi (saprodi), berbagai infrastruktur penunjang, teknologi, dan lainnya. Semua dilakukan oleh negara semata-mata demi kesejahteraan petani. Meski membutuhkan anggaran yang besar, tetapi Khilafah mampu mewujudkannya karena  anggaran tersebut ditopang oleh baitulmal.

Ketiga, negara akan mendorong pelaksanaan riset, baik oleh lembaga riset maupun PT agar dapat menghasilkan bermacam jenis bibit unggul, teknologi mutakhir, dan inovasi yang akan bermanfaat bagi petani. Hasil-hasil dari riset tersebut pun semata-mata ditujukan untuk kemaslahatan petani.

Keempat, dalam hal jual-beli, tawar-menawar harga dilakukan dengan adil dan atas keridaan kedua belah pihak, yakni antara petani dan pembelinya. Kebijakan Khilafah tersebut selain akan menghilangkan distorsi,  mekanisme pasar pun dapat terjadi secara sempurna. Negara sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyat tidak akan mematok harga, tetapi akan melakukan pengawasan, operasi pasar syar'i, dan meniadakan berbagai pungutan pajak atas barang-barang yang diperdagangkan.

Kelima, bagi para pelaku kartel harus waspada karena ada sanksi tegas yang disiapkan oleh negara. Di sisi lain, negara juga melarang adanya praktik tengkulak.

Semua langkah-langkah tersebut sejatinya sangat dibutuhkan oleh petani untuk mewujudkan rasa keadilan dan menjamin keberlangsungan hidup mereka. Dengan menjalankan pengaturan pertanian menurut aturan Islam, semua problem petani termasuk karut-marutnya tata kelola pertanian dapat diatasi.

Khatimah

Minyak makan merah mungkin menjadi alternatif untuk meningkatkan ekonomi petani. Namun, menggantungkan asa pada sistem kapitalisme untuk sejahtera adalah harapan yang sia-sia. Seberapa pun upaya negara mewujudkan kesejahteraan rakyat, jika tata kelola pertaniannya masih kapitalistik, maka kesejahteraan tetap jauh dari harapan. Karena itu, hanya dengan menggantungkan harapan pada Islam, kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan.

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Bunuh Diri Marak, Buah Sistem Rusak
Next
Ramadan Momentum untuk Bersedekah
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

5 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
8 months ago

Baru tahu tentang minyak makan merah. Jazakillah Khoiron katsiron atas naskah kerennya

Haifa
Haifa
8 months ago

Jazakumullah khayran Mbak Sar sdh mengulas tentang minyak makan merah. Produk yang sepertinya bakal dekat dengan kita di masa mendatang

Sartinah
Sartinah
Reply to  Haifa
8 months ago

Waiyyaki mbak Haifa. Betul ya, sepertinya kalau produksinya terus berlanjut akan sampai juga ke tempat saya.

Siti Komariah
Siti Komariah
8 months ago

Barakallahu Mbak Sartinah. Memang yo petani sejahtera dalam Kapitalisme hanya sebuah Mimpi.

Sartinah
Sartinah
Reply to  Siti Komariah
8 months ago

Aamiin, wa fiik barakallah mbak Komariah

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram