Jaminan terlaksananya proses arus mudik tidak cukup dengan memastikan terurainya kemacetan melalui berbagai tindakan rekayasa lalu lintas.
Oleh. Dian Wisdiyanti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lebaran tahun ini akan menjadi momen pembuktian ulang pemerintah apakah skema penanganan mudik bisa berjalan atau tidak? Apakah SOP penanganan transportasi mudik pada 2023 lalu yang sudah terlaksana dengan tertib, dapat menjawab tantangan mudik pada 2024?
Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi, menjelaskan, berdasarkan survei yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik, Kementerian Komunikasi dan Informatika, pergerakan masyarakat selama Lebaran 2024 secara nasional berpotensi mencapai 71,7% dari jumlah penduduk Indonesia atau sebanyak 193,6 juta orang. Perkiraan puncak hari mudik berdasarkan pilihan masyarakat adalah saat dimulainya cuti bersama atau H-2 Lebaran pada 8 April 2024 dengan potensi pergerakan 26,6 juta orang atau 13,7%. Sementara itu, perkiraan puncak arus balik adalah H+3 atau pada 14 April 2024 dengan potensi pergerakan 41 juta orang atau 21,2%. (Pressrelease.kontan.co.id)
Dilansir dari bisnis.tempo.co, untuk menangani ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta kepada maskapai penerbangan menjelai lebaran tahun 2024 untuk tidak menaikkan harga tiket pesawat di tingkat teratas Tarif Batas Atas (TBA). Mantan kapolri itu mengingatkan agar momentum Ramadan dan lebaran tidak dimanfaatkan maskapai untuk mengejar keuntungan dengan meningkatkan harga tiket pesawat secara berlebihan.
Namun sepertinya kenaikan harga angkutan lebaran setiap tahun adalah hal yang biasa terjadi, apalagi terkait mode transportasi udara. Walaupun masih dalam batas wajar menurut beberapa pihak, akan tetapi kondisi ekonomi yang makin sulit yang dialami negeri ini tentunya akan menambah beban bagi masyarakat.
https://narasipost.com/opini/05/2021/paradoks-kebijakan-menjelang-lebaran/
Mudik Mahal dan Macet
Transportasi pada saat mudik tentunya sangat dibutuhkan masyarakat. Maka sudah seharusnya negaralah yang menjadi penyedia sarana murah aman, nyaman berkualitas, dan murah sepanjang masa sebagai bentuk pemenuhan kewajibannya terhadap rakyatnya. Akan tetapi kenyataan yang selalu berulang di musim mudik lebaran yang sudah-sudah menjadi fakta bahwasanya sistem yang diterapkan hari ini membuat perusahaaan jasa angkutan mudik apalagi perusahaan penerbangan menjadikan layanannya sebagai bisnis. Pemerintah pun dalam hal ini tidak bisa berbuat banyak, alih-alih mengatasi masalah mudik yang sudah menjadi tradisi, pemerintah terkadang terkesan diam menyerahkan masalah ini untuk diambil alih oleh para pengusaha yang mempunyai kepentingan di dalamnya. Maka hal ini selaras dengan prinsip reinverting government. Di mana pemerintah berperan ibarat pedagang. Pemerintah walaupun sudah membuat langkah-langkah penanganan, tetap saja kenyataannya persoalan mudik tak dapat terhindarkan.
Ini wajar dalam sistem saat ini di mana pemerintah melibatkan swasta, dalam menyelenggarakan pembangunan pemerintah menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP). Skema PPP ini sebetulnya bukan barang baru. Skema seperti ini menjadi opsi tatkala banyak negara giat membangun infrastruktur, tetapi di sisi lain tidak mempunyai cukup uang untuk mendanai proyek.
Kebijakan swastanisasi aset-aset umum ini telah memberikan dampak pada penyelenggaraan pelayanan umum berbasis bisnis alias mencari keuntungan. Untuk memperoleh fasilitas umum selama perjalanan mudik, pemudik diharuskan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mereka harus merogoh kocek dalam agar kebutuhan asasinya terpenuhi.
Atas dasar ini, jaminan terlaksananya proses arus mudik tidak cukup hanya dengan memastikan terurainya kemacetan melalui berbagai tindakan rekayasa lalu lintas. Lebih jauh lagi, harus ada rekayasa yang sistemis dan komprehensif agar pemudik aman dalam atmosfer keimanan dapat terlaksana.
Secara alami, akan ada berbagai hajat manusia yang harus terpenuhi selama melakukan perjalanan tak terkecuali mudik. Ada tubuh yang merasa lelah saat melakukan perjalanan jauh dan berdampak pada konsentrasi utamanya pengendara. Ada keperluan yang harus tertunaikan agar perjalanan nyaman.
Lebih dari itu, Ramadan yang notabene merupakan momentum untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya harusnya tidak hilang spiritnya meski saat mudik. Mudik yang kerap terjadi pada 10 hari terakhir Ramadan seharusnya tidak menjadikan terhalang umat Islam untuk meraih keutamaannya. Artinya, masalah mudik ini bukan sekadar mengantisipasi terjadinya kemacetan. Tetapi juga perlu memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar pada diri manusia dan menghadirkan semangat keimanan agar menjadikan aktivitas mudik bagian dari keimanan itu sendiri.
Paradigma bisnis yang kental dalam kapitalisme secara nyata telah mengabaikan hak-hak rakyat, sedangkan paradigma pelayanan dalam pemerintahan Islam memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat secara komprehensif. Atas dasar inilah, problematika mudik perlu dikajian secara sistemis dan komprehensif agar berbagai problem tahunan mudik terurai secara menyeluruh.
Perspektif Islam
Islam akan menjamin seluruh pemenuhan kebutuhan semua rakyatnya sepanjang apalagi kebutuhan yang sangat diperlukan termasuk sarana transportasi. Dengan prinsip ini negara wajib mewujudkan terpenuhinya kebutuhan transportasi yang baik, aman, nyaman bagi semua warga negaranya. Ini akan bisa terpenuhi karena Islam memerintahkan penguasanya menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah. Dalam hal ini Islam memiliki sumber pemasukan negara yang sangat beragam, sehingga mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya termasuk untuk kebutuhan sarana transportasi publik. Maka hanya dengan penerapan sistem Islam saja sekelumit persoalan mudik akan bisa teratasi.
Wallahu a’lam bishawab []
Kapan ya mudik ria tanpa macet di era now? Mungkinkah?
Bisa aja ka, seandainya era now nya dalam kepemimpinan Islam