LCS Membara, Bukti Negeri Muslim Tidak Berdaya?

LCS membara

Negeri-negeri muslim seperti Indonesia, Brunai Darussalam, dan Malaysia pun tidak mampu merespons agresivitas Cina di LCS.

Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Sengketa Laut Cina Selatan (LCS) hingga saat ini belum juga menuai solusi. Pasalnya, perairan strategis itu masih terus menjadi wilayah yang disengketakan dan diperebutkan oleh beberapa negara hingga saat ini. Negara tersebut yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina, dan juga Cina.

Oleh karena itu, menurut Menko Polhukam, Hadi Thahjanto, penyelesaian sengketa LCS harus disikapi dengan hati-hati. Sebab, apalagi terjadi sedikit kesalahan dan terjadi salah perhitungan, maka akan menimbulkan konflik baru yang dapat merugikan banyak pihak.

Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa Cina merupakan mitra komprehensif strategis bagi Indonesia dan ASEAN. Cina juga memiliki peran sentral dalam perdamaian dan stabilitas kawasan (liputan6.com, 19/03/2024).

Lantas, mengapa LCS jadi perebutan? Bagaimanakah posisi Indonesia dan negeri-negeri muslim di LCS?  Bagaimanakah pandangan Islam terkait masalah LCS?

Ada Apa di LCS?

Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita, mengapa Laut Cina Selatan (LCS) sampai saat ini terus menjadi perebutan sebagai negara ASEAN dan juga Cina, bahkan digadang-gadang Amerika Serikat juga ikut terjun ke dalam sengketa tersebut. Patut dipahami bahwa LCS sejatinya menyimpan banyak sesuatu yang penting dan tidak ternilai.

Menurut Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Laksamana Madya TNI Aan Kurnia, mengungkapkan setidaknya ada beberapa poin mengapa LCS menjadi perebutan beberapa negara ASEAN dan Cina, di antaranya yakni;

Pertama, LCS merupakan jalur perairan penting dalam perdagangan internasional yang setiap tahunya jalur ini bernilai tiga triliun dolar AS (sekitar Rp45 kuadriliun). Dia juga menjadi jalur perdagangan energi.

Kedua, LCS juga menyimpan kekayaan yang cukup besar yakni cadangan minyak sebesar 11 miliar barel dan 190 triliun kaki kubik gas. Jumlah ini digadang-gadang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi nasional negara-negara yang bersengketa.

Ketiga, LCS juga menyimpan banyak sumber daya alam perikanan. Sebab, di sana dia merupakan laut tertutup yang memiliki sumber pakan ikan yang cukup berlimpah, sehingga habitat biota laut pun cukup banyak. Potensi kekayaan alam banyak serta menjadi jalur strategis untuk perdagangan, bukan hal aneh jika LCS menjadi perebutan banyak negara.

Code of Conduct dalam LCS

Masalah LCS bukanlah masalah yang baru. Masalah ini sudah terjadi sejak 1947 saat Cina mulai mengeklaim sembilan garis putus-putus menjadi bagian dari miliknya dan hingga kini belum menuai penyelesaian. Banyak cara yang diupayakan oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yakni salah satunya dengan membuat Declaration of Conduct (DoC) sebagai payung bagi Code of Conduct (CoC) dalam mengelola konflik di LCS. Akan tetapi, upaya ini belum juga menuai titik terang, padahal sudah berjalan selama tiga dekade sejak 1992.

Code of Conduct merupakan dokumen kode etik yang akan mengatur tata perilaku negara-negara pengklaim di kawasan Laut Cina Selatan. Sejatinya CoC ini bukanlah solusi utama terhadap konflik yang terjadi di LCS. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal ASEAN untuk bidang Politik Keamanan, Michael Tene, yang mengungkapkan bahwa dokumen CoC dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif di perairan tersebut. Sedangkan, permasalahan yang terjadi di perairan itu adalah masalah sengketa maritim yakni adanya tumpang tindih batas teritorial. Maka untuk menyelesaikan masalah ini yakni dengan bernegosiasi secara bilateral (antaranews.15/09/2023).

Di sisi lain, walaupun dokumen kode etik nantinya menuai titik terang ataupun disepakati negara pengklaim, bukan tidak mungkin bahwa mereka akan melanggar kode etik tersebut. Apalagi, diketahui Cina sangat berambisi untuk memperluas wilayahnya di perairan tersebut, bahkan Cina pernah mengabaikan keputusan Mahkamah Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag tahun 2016 yang menyatakan klaim Cina atas LCS bertentangan dengan UNCLOS 1982 (kompas.com, 05/01/2024).

Selain itu, Cina juga berupaya untuk mengeklaim laut Natuna, padahal secara jelas bahwa laut Natuna adalah milik Indonesia sejak 1956. Maka, sampai kapan pun konflik LCS akan sulit untuk diselesaikan.

Posisi Indonesia di Sengketa LCS

Posisi Indonesia sendiri dalam sengketa tersebut yakni menjadi non-claimant states atau negara tidak menuntut klaim atas Laut Cina Selatan (LCS). Akan tetapi, tidak dimungkiri bahwa Laut Cina Selatan sangat penting bagi Indonesia, sebab dia memiliki arti strategis tersendiri bagi Indonesia.

Menurut Guru Besar Departemen Hubungan Internasional, Profesor Dr. Makarim Wibisono, setidaknya ada 4 alasan mengapa Laut Cina Selatan menjadi bagian penting dari Indonesia.

Pertama, perairan tersebut merupakan bagian dari aktivitas impor dan ekspor Indonesia;

Kedua, konflik dan instabilitas di LCS akan berdampak pada perdagangan dan ekonomi bagi Indonesia;

Ketiga, perairan tersebut menjadi jalur masuk ke wilayah Indonesia dari utara;

Keempat, kawasan utara adalah bagian dari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

Oleh karena itu, Indonesia memiliki posisi penting untuk berupaya mencari solusi agar tidak terjadi konflik terbuka di LCS. Ditambah lagi, Laut Cina Selatan berbatasan dengan Laut Natuna sehingga Indonesia harus terjun mencari solusi LCS sebagai salah satu langkah menjaga kedaulatan negaranya dan menghindari perang.

Namun, ketika terjadi perang pun, Indonesia menjadi negara yang netral dan tidak memihak kepada siapa pun, serta taat pada UNCLOS. Indonesia hanya mengupayakan perdamaian sebagai mandat dari Pembukaan UUD 1945 Alinea 4 yakni ikut melaksanakan perdamaian dunia. Sebab, pemerintah Indonesia tidak menginginkan LCS menjadi episentrum konflik.

Bukti Lemahnya Negeri Muslim

Sejatinya sikap netral yang diambil oleh Indonesia dan hanya mengupayakan perundingan CoC sebagai solusi dari konflik di LCS menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan penguasa negeri ini di hadapan para penjajah. Alhasil, negeri-negeri muslim seperti Indonesia, Brunai Darussalam, dan Malaysia pun tidak mampu merespons agresivitas Cina di LCS.

Inilah ujung dari jerat hegemoni kapitalisme global yang mampu membungkam siapa pun yang berupaya menghalangi ambisi kekuasaannya dan meraih keinginan-keinginannya. Oleh karena itu, sampai kapan pun negeri-negeri muslim akan terus terjajah dan dijarah harta kepemilikannya oleh negeri-negeri kafir selama masih memegang sistem perpolitikan ala kapitalisme.

Dominasi negara kafir akan terus menggerogoti negeri-negeri kaum muslim dan tidak akan membiarkan mereka merdeka dan bebas menikmati harta kepemilikan yang sah menjadi miliknya. Padahal, harta kepemilikan tersebut bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat.

Butuh Hadirnya Perisai

Sejatinya, negeri-negeri muslim jelas membutuhkan perisai untuk keluar dari cengkeraman hegemoni kaum kafir global. Sebab, dengan hadirnya perisai kaum muslim yakni Daulah Khilafah Islamiah maka jiwa dan harta kekayaan kaum muslim akan dijaga, sebagimana sabda Rasulullah, "Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Di sisi lain, Daulah Islam mengatur harta kepemilikan, begitu pun dengan kedaulatan laut sesuai dengan syariat Islam. Dalam pandangan Islam jelas bahwa laut, danau, sungai, dan teluk merupakan harta kepemilikan umum. Oleh karena itu, keberadaannya tidak boleh dimonopoli oleh pihak tertentu, apalagi orang asing atau kaum kafir penjajah. Pengelolaannya wajib berada di tangan Daulah Khilafah. Hasil kekayaan alamnya akan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan syariat Islam.

Meskipun dalam Islam laut merupakan harta kepemilikan umum, bukan berarti laut bisa menjadi jalur kapal-kapal internasional untuk melintasinya dengan bebas. Khilafah akan dengan tegas menyeleksi kapal-kapal yang masuk dan melewati jalur perairan tersebut. Ini sebagai bentuk kewaspadaan Daulah Khilafah terhadap ancaman negeri-negeri kafir dan sebagai bentuk penjagaan terhadap kedaulatan negaranya.

Ketika ada kafir atau penjajah yang berupaya untuk mengambil ataupun mengeklaim keberadaan kelautan Daulah Islam, maka khalifah tidak segan-segan memberikan sanksi tegas terhadap mereka. Khalifah akan menurunkan pasukan terbaiknya untuk memerangi mereka, apalagi pasukan Daulah Islam dikenal sebagai pasukan terkuat dan membuat gentar musuh-musuh Islam.

Wallahu a'lam bish-shawab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Siti Komariah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Ramadan Kita, Waktunya Berbenah
Next
Mengurai Mudik yang Rumit dengan Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
7 months ago

Bener banget selamanya hanya Islam solusi segala pemasal6

Sartinah
Sartinah
7 months ago

LCS memang ibarat bunga yang diperebutkan banyak negara. Tapi kok aneh, kenapa Indonesia tidak bersikukuh mempertahankan perairan yg secara hukum internasional milik negeri ini?

Siti Komariah
Siti Komariah
7 months ago

Syukron jazakillah Mom dan Tim NP

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram