Bunuh Diri Bukan Solusi

Bunuh diri

Sistem kapitalisme sekularisme yang diterapkan saat ini telah membuat orang rawan akan stres dan depresi berat, berujung bunuh diri.

Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta)

NarasiPost.Com-Tragis dan miris, dua kata ini menggambarkan fenomena sosial yang telah terjadi baru-baru ini di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Bukan pertama kali terjadi. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir setidaknya ada tiga kali peristiwa bunuh diri di lokasi itu. Peristiwa bunuh diri dilatarbelakangi oleh beragam masalah, seperti depresi akibat tekanan hidup.

Pada Sabtu, 9 Maret 2024 satu keluarga ditemukan tewas lantaran melakukan aksi bunuh diri di Apartemen Teluk Intan Tower Topaz, Penjaringan, Jakarta Utara. Terdiri atas empat orang, yaitu pria berinisial EA (50), perempuan AIL (52), laki-laki JWA (13), dan perempuan JL (16). (cnnindonesia.com, 19/03/2024)

Kepala Polsek Metro Penjaringan, Kompol Agus Ady Wijaya, menyatakan bahwa melihat dari rekaman CCTV, saudara EA sempat mencium kening tiga anggota keluarganya sebelum terjun. Tidak hanya itu, mereka juga melompat dari lantai 22 dengan keadaan tangan saling terikat.

Teranyar, polisi menyebutkan bahwa keluarga tersebut pernah memiliki bisnis kapal ikan. Namun, bisnis tersebut bangkrut ketika pandemi Covid-19. Selain itu, polisi juga membeberkan bahwa dua anak yang ikut tewas dalam peristiwa itu selama satu tahun sudah tidak bersekolah. Saat ini polisi masih terus mendalami alasan kedua anaknya putus sekolah.

Bunuh Diri dan Kesehatan Mental

Sejak tahun 1992, setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia yang berorientasi untuk meningkatkan kesadaran mengenai beragam persoalan kesehatan mental di seluruh dunia.

Tema yang diusung tahun 2023 lalu adalah "Mental Health is a Universal Human Right". Ditetapkannya tema ini demi menegaskan bahwa kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang keberadaannya harus diakui dan dihormati. Selain itu, untuk meningkatkan wawasan, kesadaran, dan mendorong tindakan yang memicu dan melindungi kesehatan mental setiap orang sebagai bagian dari hak asasi manusia secara universal. Sementara itu, secara nasional mengusung tema “Sehat Jiwa bagi Semua Orang." (who.int)

Kesehatan mental telah menjadi isu penting skala internasional, termasuk di Indonesia. Pasalnya, banyak masyarakat dari kalangan usia yang beragam terjangkit sejumlah jenis gangguan kesehatan mental. Sebab gangguan mental ini, sebagian besar orang memilih jalan pintas dengan cara bunuh diri, demi melepaskan dari tekanan yang dirasakan.

Dilansir dari laman Halodoc.com, disebutkan bahwa apabila terdapat berbagai faktor yang dapat mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya, mulai dari masalah ekonomi, pendidikan, sosial, hingga riwayat gangguan jiwa. Tidak dimungkiri, gangguan mental realitasnya berkorelasi dan dapat memicu keinginan seseorang untuk bunuh diri.

Pada laman yang sama disebutkan pula bahwa usut punya usut sebagian besar kasus bunuh diri terjadi karena gangguan mental seperti stres yang berujung depresi, skizofrenia, gangguan bipolar, PTSD, hingga borderline personality disorder (gangguan kepribadian ambang batas).

Dari semua jenis permasalahan mental, depresi menduduki posisi tertinggi sebagai penyebab mencuatnya keinginan bunuh diri. Bahkan, dengan depresi berat seseorang akan cenderung nekat dan berakhir dengan aksi bunuh diri.

Imbas Sistem Sebuah Negara

Penerapan aturan atau sistem dalam sebuah negara sangat berpengaruh besar terhadap rakyatnya. Warga negara 'dipaksa' untuk mengikuti seluruh kebijakan penguasanya. Ini merupakan bukti nyata sistem sekularisme kapitalisme yang dianut negeri ini telah mengantarkan warganya menderita banyak masalah. Sebab sistem tersebut menakar arah kebahagiaan dengan materi semata. Ditambah asas manfaat dijadikan sebagai tolok ukur.

Masyarakat difokuskan pada urusan materi dan hidup tanpa ada benteng kuat dari agama maupun negara. Justru negara memberikan fasilitas berupa kehidupan berbasis riba, kebebasan, dan kecenderungan bergelut dengan kesengsaraan hidup. Sehingga terbentuk manusia dengan hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang menang. Tak diragukan lagi jika persaingan ketat meraup harta dan kekayaan, prestise kian menggila. Terlepas dari mereka melewatinya dengan jalan yang salah.

Kekuatan hukum yang tegas tidak lagi dimiliki oleh negara. Alih-alih mementingkan solusi dari persoalan masyarakat, negara malah sibuk dengan urusan pemangku kebijakan di sistemnya.

Sistem kapitalisme sekularisme yang diterapkan saat ini telah membuat orang rawan akan stres dan depresi berat. Kehidupan akibat liberalisme ekonomi membuat rakyat makin sulit mencari pekerjaan yang ditambah dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok. Terus-menerus korban berjatuhan karena aktivitas ekonomi seluruhnya dilimpahkan pada mekanisme pasar. Banyak orang dimarginalkan, sementara kaum pemodal dimanjakan.

Namun, stres dan depresi tidak hanya menyerang kalangan ekonomi rendah. Kalangan dengan kapital yang sangat tinggi pun rawan terhadap stres dan depresi. Pada saat keinginan (want) manusia disamaratakan dengan kebutuhan (need) manusia, maka akan terjadi kegelisahan. Manusia tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang telah diperolehnya. Satu keinginan tercapai, maka akan muncul keinginan-keinginan lain. Alhasil, tercipta masyarakat liberal individualistis.

Masyarakat liberal individualistis ini selalu mencari dan mengambil solusi berdasar hawa nafsu mereka sendiri, jauh dari petunjuk wahyu. Satu-satunya jalan untuk menyelesaikan problematika bunuh diri ini adalah mengganti sistem kehidupan sekuler liberal dengan sistem kehidupan Islam.

Islam Pemberi Solusi, Bunuh Diri Dihindari

Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dengan seperangkat hukum syarak yang mampu mengatur seluruh persoalan hidup, tidak hanya aspek hubungan manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan sesamanya.

Penerapan syariat Islam harus ditunjang oleh tiga komponen yang saling bersinergi, yakni:

Pertama, akidah yang sahih pada setiap individu muslim. Akidah yang sahih ini akan membuahkan pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang benar. Muslim sejati akan memiliki pola pikir berdasarkan pola pikir Islam, dan pola sikap sesuai dengan hukum syarak.

Mendudukkan keimanan dalam diri setiap individu sebuah ketaatan mutlak kepada Allah Swt. Tolok ukur kebahagiaan terletak pada keridaan Allah Swt. semata, bukan diukur dari banyaknya harta kekayaan ala sistem sekuler kapitalis. Diikuti dengan standar perebutan ditetapkan pada halal-haram, bukan terletak pada kebebasan layaknya kapitalis.

Dengan begitu, manusia tidak akan terjerumus untuk mengikuti bahkan tergila-gila pada kehidupan dunia. Muslim sejati akan menempatkan kehidupan dunia sebagai sarana dalam meraih rida-Nya dan ketaatan kepada Rabbnya.

Kedua, masyarakat. Masyarakat Islam berbeda dengan masyarakat individualistis yang acuh pada kondisi masyarakat sekitarnya. Pola pikir Islam membawa masyarakat untuk peka pada sesama, sebab kaum muslim bak satu tubuh yang akan saling terkait, menyatu, dan menopang satu sama lain. Berjalannya pengawasan sosial akan menciptakan masyarakat yang dinamis, tidak ada kegelisahan masyarakat, sehingga gangguan mental dapat ditekan.

Ketiga, negara. Komponen ketiga ini akan memberikan proteksi bagi rakyatnya, memastikan seluruh hak dan menjalankan kewajiban kaum muslim berdasarkan taklif yang telah Allah berikan kepada setiap manusia. Negara melindungi tiap-tiap yang bernyawa dan harta rakyatnya, sehingga semua biang masalah yang akan menimbulkan keresahan masyarakat dienyahkan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a., dari Nabi Muhammad saw. beliau pernah bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya al-Imam atau khalifah itu pelindung (perisai). Umat akan diperangi dari belakangnya dan akan dijaga olehnya. Apabila ia memerintahkan takwa pada Allah dan berlaku adil, maka ia akan memperoleh pahala (yang sangat besar). Namun apabila memerintahkan selain dari itu, maka ia akan menanggung dosa sebabnya." (HR. Muslim)

Demikianlah Islam melindungi tiap-tiap nyawa rakyatnya. Setiap aktivitas atau penyebab depresi dan stres, seperti persoalan ekonomi dan lain-lain yang mengakibatkan seseorang kehilangan arah dan nyawanya harus dilenyapkan. Islam akan menjamin syu'ur (suasana) masyarakat yang saling tolong menolong, peka, dan peduli pada kondisi sesama.

Kelak Islam tegak dalam bingkai indah nan berkah, yaitu negara Islam (Khilafah), niscaya mati hina sebab bunuh diri akan hilang dan diganti dengan mati mulia di bawah naungan Islam.

Wallahu a'lam bish-shawab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Fitria Zakiyatul Fauziyah CH Kontributor NarasiPost.Com dan Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta
Previous
Mengonsumsi Sitophilus oryzae Haramkah?
Next
KUA untuk Semua Agama, Agenda Moderasi Beragama?
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
7 months ago

Miris ya menyaksikan permasalahan kesehatan mental orang-orang di sistem yang rusak. Apa-apa bunuh diri. Seolah mati adalah solusi terbaik.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram