Pemilu di Indonesia sejatinya merupakan jalan yang ingin berkuasa dengan memanfaatkan suara rakyat atas dukungan kaum oligarki.
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemilu (Pemilihan Umum) sudah menjadi momen penting dalam kehidupan demokrasi suatu negara, termasuk di Indonesia. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pemilu telah menjadi salah satu jalan utama dalam menentukan masa depan bangsa.
Sejarah Pemilu di Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, pemerintahan Indonesia yang pertama, yaitu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra, dianggap oleh negara Indonesia sebagai awal dari pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 27 Desember 1949, RIS resmi dibubarkan, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan. Pada masa ini, pemilu digelar dalam rangka pemilihan Konstituante RIS. Namun, Konstituante RIS tidak berhasil membuat konstitusi, sehingga pemilihan Konstituante NKRI dilakukan pada 1955.
Sejarah pemilu di Indonesia diwarnai oleh beberapa fase politik yang melatarinya. Pada awalnya, pemilu di Indonesia terpengaruh oleh berbagai tekanan dari luar dan dalam negeri, seperti keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia dan ambisi politik di dalam negeri. Pemilu-pemilu tersebut juga diwarnai oleh tindakan oposisi untuk memanfaatkan pemilu sebagai alat untuk menggulingkan pemerintah.
Pemilu di Indonesia juga disusun dalam rangka untuk mencapai beberapa tujuan, termasuk untuk memilih perwakilan rakyat, untuk membuat dan mengubah undang-undang, untuk memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat dan pemimpin negara (presiden), serta untuk memberikan kebijakan kepada pemerintah yang terpilih.
Polemik Pemilu
Meskipun pemilu telah menjadi salah satu pilar demokrasi, tetapi pemilu di Indonesia juga memiliki sejumlah permasalahan yang menjadi polemik dan meninggalkan catatan kelam karena banyak petugas yang berkecimpung di dalamnya merenggang nyawa.
Pada Pemilu 2024 yang baru saja digelar, menurut laporan yang dikutip dari laman www.detik.com(17/2/2024), KPU mencatat setidaknya ada 35 orang meninggal dunia setelah menjalankan tugas proses penghitungan suara Pemilu 2024. Dalam hal ini, 23 di antaranya adalah Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Peristiwa ini mengingatkan kembali pada pemilu lima tahun sebelumnya, yaitu pada 2019 lebih dari 800 orang petugas KPPS meninggal karena faktor kelelahan siang malam kerja tanpa jeda.
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum, bahwa di dalam pemilu, sering kali para kandidat atau partai politik menggunakan uang sebagai alat untuk memengaruhi pemilih. Hal ini dapat merugikan proses demokrasi, karena pemilih yang memilih berdasarkan uang daripada pemikiran dan kebijakan yang direncanakan. Politik kotor ini disinggung dalam film dokumenter “Dirty Votes" yang baru-baru ini heboh karena diduga mengusik masa tenang pemilu.
Sistem pemilu di Indonesia sejatinya merupakan jalan mereka yang ingin berkuasa dengan memanfaatkan suara rakyat atas dukungan kaum berduit yang dinamakan oligarki. Pemilihan umum sering kali dimanipulasi untuk menguntungkan kepentingan bisnis oligarki tersebut.
Jalan Mulus Demokrasi
Dinamika politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti kebijakan pemerintah, kekuatan partai politik, dan dukungan masyarakat. Di Indonesia, perbedaan politik juga sering kali berkaitan dengan agama, ras, dan etnis, yang membuat dinamika politik menjadi sangat kompleks.
Sekalipun pemilu memungkinkan rakyat untuk memilih wakil mereka yang akan duduk di parlemen atau lembaga legislatif lainnya. Namun, kenyataannya wakil rakyat yang dimaksud tidak pernah merepresentasikan rakyat yang sesungguhnya. Fenomena melejitnya suara Alfiansyah Komeng di pemilihan calon DPD RI tidak lepas dari sekadar ungkapan kekecewaan rakyat yang muak melihat para calon wakil rakyat yang tidak dikenal dan selalu bergaya pencitraan semata. Rakyat seolah ingin menertawakan para wakil rakyat karena dipaksa harus memilihnya.
Para pengusung ide demokrasi selalu beralasan, bahwa pemilu adalah cara utama bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam politik dan menjadi bagian dari proses pembuatan keputusan yang penting bagi negara mereka.
Lebih dari itu, pemilu juga seolah berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap pemerintah. Melalui pemilu, rakyat dapat memutuskan apakah mereka puas atau tidak puas dengan kinerja pemerintah yang sedang berkuasa, dan dapat memilih untuk menggantinya dengan pemerintah baru.
Padahal, sesungguhnya pemilu hanya dijadikan alat legitimasi pemerintahan. Dengan memilih wakil-wakil mereka, seolah rakyat telah mengakui bahwa mereka menerima keputusan yang diambil oleh pemerintah. Bahkan, jika mereka tidak setuju dengan keputusan tersebut sekali pun. Dengan kata lain, pemilu seolah telah menjadi alat transaksi politik "jual beli" suara rakyat. Mereka yang terpilih pada akhirnya merasa mendapat mandat untuk mengeruk harta kekayaan rakyat, bukan amanah untuk melayani rakyat
Pemilu memuluskan jalan demokrasi, dan selanjutnya menjadi sumber korupsi. Partai-partai politik dan kandidat sering kali menghabiskan banyak uang untuk kampanye mereka, dan banyak uang ini sering kali datang dari sumber-sumber yang tidak jelas. Sebagai akibatnya, kandidat terpilih mungkin merasa memiliki kewajiban terhadap para donatur mereka, daripada kepada rakyat yang mereka wakili.
Dengan demikian, pemilu dalam sistem demokrasi tidak akan menjadi jalan perubahan untuk meningkatnya kesejahteraan hidup rakyat, apalagi terlaksananya ajaran Islam yang membawa rahmat untuk seluruh umat. Melalui pemilu justru rakyat digiring untuk mengukuhkan eksistensi sistem sekuler yang batil. Demokrasi sejatinya menjadi sumber ketidakstabilan, konflik, dan korupsi. Oleh karena itu, sudah saatnya rakyat mencari jalan baru sistem Islam sebagai pilihan untuk perubahan yang hakiki.
Menutup Syariat Islam
Bagi mereka yang belum menyadari kebusukan sistem demokrasi akan selalu percaya, bahwa pemilu yang digelar tiap tahun sebagai tonggak perubahan. Mereka mengira, pemilu dalam demokrasi adalah jalan perubahan ke arah Islam. Padahal, fakta menunjukkan, demokrasi selalu memutus arah tersebut, meskipun rakyat begitu merindukan. Beberapa hasil survei menyebutkan bahwa hampir sebagian besar kaum muslim merindukan penerapan syariat Islam secara kaffah.
Namun, sejarah membuktikan selama sistemnya sekuler harapan itu selalu terbentur dinding demokrasi. Catatan politik yang terjadi di Aljazair, Mesir, serta Palestina membuktikan. Kemenangan mutlak Partai FIS di Aljazair di era 90-an dalam pemilu, sekali pun memenangi mayoritas kursi di parlemen sebanyak 81 persen. Namun, kemenangan tersebut dianulir oleh militer karena FIS dianggap akan mengubah sistem kenegaraan Aljazair menjadi sistem Islam dengan menerapkan syariat Islam. FIS-pun dibubarkan dan dijadikan partai terlarang.
Pun yang terjadi di Mesir, Muhammad Mursi terpilih sebagai presiden negara tersebut dari Ikhwanul Muslimin. Ini prestasi terbesar dari organisasi politik tersebut. Hanya saja tidak lebih dari waktu setahun, Mursi dikudeta oleh Jenderal Sisi tanpa alasan. Kekuatan militer Mesir dengan dukungan Amerika khawatir Mursi akan mengarah kepada penerapan Islam, nasib Ikhwanul Muslimin pun sama dengan FIS, dilarang.
Hal serupa terjadi pula di Palestina, Hamas yang sebelumnya tak mau ikut pemilu, digiring untuk mengikuti pesta demokrasi. Dalam hal ini, Hamas menang mutlak. Namun, lagi-lagi kemenangan Hamas tidak diakui. Tampuk pemerintahannya diberikan kepada Fatah dan Hamas "dipenjara' di Jalur Gaza. Rupanya Barat takut Hamas akan menegakkan syariat Islam.
Dengan demikian, telah terang benderang bahwa demokrasi bukanlah jalan perubahan menuju tercapainya penerapan syariat Islam yang diidamkan oleh seluruh kaum muslimin. Sistem sekuler demokrasi pasti akan menjegalnya melalui pintu pemilu. Oleh karena itu, janganlah mengambil jalan demokrasi untuk melanjutkan kehidupan Islam. Di dalam Qur'an Surah Al-Baqarah: 42, Allah Swt. mengingatkan kita untuk tidak mencampur adukkan antara yang hak dan batil.
"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”.
Wallahu'alam bish Shawwab. []
Akal mulus sekaligus akal bulu nggih, Pak
Penjabarannya menyerahkan. Semoga orang yang prodemokrasi tersadarkan. Barokallahu fiik
Kata pengagumnya, demokrasi itu adalah sistem terbaik saat ini dan layak diperjuangkan. Padahal, semakin kesini, demokrasi semakin menunjukkan wajah aslinya. Berulang kali ganti pemilu pun, berulang kali pula demokrasi tidak menunjukkan perubahan.
Sudah berapa kali pemilu di adakan di negeri ini, sudah berapa byak petugas yang sakit dan meninggal, fakta2 kecurangan yg ditampilkan, janji2 palsu yg selalu di umbar, dst. Sejatinya Demokrasi memang tdk pernah ada dan tak akan pernah ada utk rakyat kecuali hanya menjadikannya tumbal kekuasaan dan kepentingan penguasaha (penguasa rasa pengusaha)
Curhat dong Mi...hehe
Pemilu selalu membawa korban, ada apakah ya? Wah semestinya balik saja ke sistem Islam yang jelas menyamankan seluruh masyarakat jika diterapkan secara sempurna oleh bingkai negara.