"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS. Ar Rum ayat 41)
Oleh: Hebi
(Muslimah Bangka Belitung)
NarasiPost.Com-Pandemi dan bencana adalah dua perkara yang melingkupi publik hari ini. Media pun ramai memberitakan perkara tersebut. Ya karena dua perkara tersebutlah, hari ini negeri semakin berduka. Pandemi Covid-19 belum reda, bahkan kurva kasusnya makin menanjak tajam. Selasa (26/01/2021) jumlah kumulatif kasus positif Covid-19 menembus angka satu juta orang. Bahkan tren peningkatan hariannya lebih dari 12 ribu kasus. Mengutip data dari Worldometers, kini Indonesia berada di peringkat 19 sebagai Negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia. Ditinjau dari kematian akibat Covid-19, Indonesia berada pada peringkat pertama tertinggi di Asia dan 12 tertinggi di dunia. (www.okezone.com, 30/01/2021)
Bencana alam pun tidak pernah absen menyapa. Bencana berulang setiap tahunnya, terjadi di berbagai penjuru Indonesia. Di awal tahun 2021 ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa telah terjadi 197 bencana sejak tanggal 1 hingga 23 Januari 2021. Seperti kecelakaan pesawat, gempa bumi, gunung meletus, banjir (134 kejadian), tanah longsor (31 kejadian), puting beliung (24 kejadian), dan lain sebagainya. Berbagai bencana tersebut menyebabkan 184 orang meninggal, lebih dari 2700 orang luka-luka dan 1,9 juta orang mengungsi di kampa-kamp pengungsian. (liputan6.com, 24/01/2021)
Yang mengejutkan, alam Borneo (tepatnya di Kalimantan Selatan) yang menjadi paru-paru dunia, tenggelam oleh banjir bandang. Terdapat 11 kabupaten/kota yang sudah ditetapkan statusnya menjadi daerah tanggap darurat. Karena dalam kurun waktu tiga minggu banjir belum surut juga. Keadaan ini sungguh memprihatinkan, mengingat banjir bandang ini baru terjadi setelah 50 tahun Kalsel tidak pernah banjir. Melalui siaran pers (20/012021), Direktur Jenderal PPKL kementerian lingkungan hidup, MR Karliansyah menyatakan banjir Kalsel disebabkan oleh curah hujan yang sangat tinggi. Selama 5 hari, dari tanggal 9 hingga 13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya.(tirto.id, 20/01/2021)
Setali tiga uang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo. Menurut Beliau curah hujan yang tinggi mengakibatkan DAS Barito tidak dapat menampung air, sehingga terjadilah banjir bandang.Organisasi pemerhati lingkungan hidup (Walhi) menyanggah pernyataan tersebut. Banjir dan tanah longsor terjadi bukan salah hujan. Tapi dikarenakan semakin meluasnya kerusakan lingkungan. 50 persen lahan di Kalsel beralih fungsi. Terjadi pembalakan liar dan pembakaran hutan untuk perkebunan kelapa sawit (33 %) dan tambang batu bara (17%). Hal itu ternyata dilakukan oleh perusahaan besar yang tentu saja berani melakukannya atas izin dari pemerintah sendiri. Pemerintah yang terlalu ‘obral' izin. Membuka seluas-luasnya keran eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), dengan dalih menggenjot investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Akar Masalah
Dalam acara Muhasabah dan Istighatsah untuk Negeri (28/01/2021), Wapres Maruf Amin menyatakan bahwa Allah Swt telah membuat aturan-aturan dalam kehidupan. Ada yang terkait dengan aturan alam, sifat tata aturannya baku tidak boleh dilanggar. Sebab apabila dilanggar akan menimbulkan kerusakan, baik fisik maupun non fisik. Selain itu menurut beliau ada juga aturan berupa hubungan manusia dengan manusia. Jika tidak dilaksanakan akan terjadi kerusakan yang menimbulkan terjadinya kezaliman terhadap sesama manusia. Beliau juga mengajak para ulama dan umat untuk mencari solusi mengatasi pandemi Covid-19 dan bencana alam dan memohon kepada Allah Swt supaya mendapatkan solusi atas musibah tersebut. Tidak hanya seremonial atau formalitas, tapi juga terus melaksanakan tata aturan yang ada.
Pernyataan yang disampaikan oleh Wapres, Ma'ruf Amin di atas sangatlah benar. Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan dan tidak terkendali serta rentetan bencana menyapa, harus diakui karena dilanggarnya aturan Allah Swt, yakni tidak diterapkannya aturan Allah Swt dalam kehidupan publik, baik terkait tata aturan pengelolaan alam maupun aturan sesama manusia.
Sudah sangat jelas bahwa maraknya alih fungsi hutan untuk kepentingan ekonomi, terjadi karena tangan pemerintah sendiri.
Penerapan tata pengelolaan hutan dan kepemilikan umum lainnya (SDA) oleh pemerintah berbasis sekuler kapitalistik. Pengelolaannya diserahkan pada individu atau pemilik kapital (perusahaan besar), baik dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah hanya menjadi regulator. Akhirnya pengelolaan tersebut selalu berorientasi untuk mengeruk keuntungan materi semaksimal mungkin, dengan mengabaikan tata ruang dan ekologis. Pemerintah seolah menutup mata. Buktinya sekian tahun pemerintah membiarkan kerusakan lingkungan terjadi. Pemerintah tidak berani memanggil dan menindak kelakuan perusahaan besar tersebut. Wajar karena memang ada ‘simbiosis mutualisme’, yakni antara pemilik perusahaan besar tersebut dengan penguasa hari ini.
Pun sama dengan penanganan pandemi Covid-19. Keengganan pemerintah untuk karantina wilayah (lockdown), menerapkan PSBB setengah hati, dan memberlakukan new normal yang prematur juga karena kepentingan ekonomi. Dan ketika ditelusuri lebih mendalam kepentingan ekonomi tersebut pada hakikatnya adalah kepentingan dan afiliasi pemilik kapital/perusahaan besar. Bukan ekonomi rakyat kecil. Akhirnya ketika sektor kesehatan tunduk pada kepentingan ekonomi segelintir orang berduit, nyawa rakyat pun menjadi ‘tumbal’./Pandangan dan Solusi Islam
Segala sesuatu yang terjadi memanglah ketetapan dari Allah Swt. Tidak ada satupun yang terjadi tanpa seizin-Nya. Termasuk pandemi dan bencana alam. Maka mengacu pada penjelasan akar masalah di atas, Allah Swt menghendaki manusia merasakan kerusakan akibat kemaksiatan yang diperbuat oleh tangan manusia sendiri. Kemaksiatan berupa tidak dijalankannya syari’at Allah Swt. Sesuai dengan Firman Allah Swt :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS. Ar Rum ayat 41).
Sebenarnya solusi untuk mengatasi pandemi dan berbagai bencana sudah dijelaskan oleh Allah Swt dalam ayat yang mulia di atas, yaitu bertaubat kepada Allah Swt dan mengembalikan pengaturan kehidupan pada jalanNya (syariat Islam). Tidak cukup hanya berdoa, tetapi harus ada langah nyata untuk menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Termasuk aspek kesehatan dan pengelolaan SDA.
Dalam Islam, pengelolaan kepemilikan umum seperti SDA diserahkan sepenuhnya kepada negara. Sehingga semua rakyat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari kepemilikan umum tersebut. Tidak boleh diserahkan kepada individu atau perusahaan swasta. Pengelolaan oleh negara berbasis pada pelayanan pada umat, bukan untung rugi. Hasilnya dikembalikan lagi untuk kesejahteraan rakyat. Pengelolaannya juga tetap memperhatikan tata ruang dan ekologis sebagai adab terhadap sesama makhluk Allah Swt yang harus dijaga dan dilestarikan.
Dalam Islam pelayanan terhadap kesehatan merupakan kebutuhan dasar rakyat yang menjadi tanggung jawab negara. Pengurusan dan teknis dunia kesehatan harus diserahkan pada ahlinya. Karena menyangkut pada urusan nyawa manusia yang sangat dijaga dan dipelihara oleh Islam. Tidak boleh mengorbankan nyawa manusia hanya untuk kepentingan ekonomi.
Rasulullah Saw bersabda
لزوال الدنيا أهون عند الله من قتل المرء المسلم
"Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah, ketimbang terbunuhnya nyawa seorang Muslim."
(HR. Nasai 3987, Tirmidzi 1455)
Sehingga untuk mengatasi pandemi, solusi yang diperintahkan Islam adalah karantina wilayah (lockdown). Sesuai dengan hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu."
Negara juga mengedukasi rakyat untuk melakukan upaya preventif, seperti menjaga kebersihan lingkungan dan badan, makan dan minum yang halal dan thayyib, melaksanakan protokol kesehatan, termasuk mengupayakan penggunaan vaksin. Pemberlakuan karantina wilayah, juga mewajibkan negara memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) rakyat. Sehingga rakyat tidak disibukkan dengan ikhtiar mencari nafkah untuk keluarga. Tetapi fokus pada upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan serta pemutusan penyebaran penyakit.
Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah akan tercipta keselarasan antara manusia dan alam. Manusia memelihara alam dengan sebaik-baiknya dan alam menunjang kehidupan manusia. Selain itu esensi terpenting diterapkannya syariat Islam adalah bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Buah dari ketaatan tersebut adalah keberkahan yang Allah Swt berikan dari langit dan bumi untuk umat manusia. Yakinlah ketika individu muslim dan negara taat Allah Swt, maka alam pun enggan murka. Wallahu alam bish-shawab.[]
Photo : Pinterest