Seks Bebas, Wabah di Tengah Pandemi

"Interaksi yang muncul antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi sosial lebih dominan berbau seksual (jinsiy) yang mengakibatkan munculnya interaksi-interaksi yang salah seperti pacaran, perselingkuhan, zina, seks sebelum nikah, dan kemaksiatan lainnya"

Oleh. Miliani Ahmad

NarasiPost.Com-Data kasus Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Per 22/02/2021 jumlah yang terkonfirmasi positif mencapai 10.180 jiwa. Total akumulasi jumlah kasus Covid-19 sebanyak 1.128.653 jiwa sebagaimana dikutip dari Covid19.go.id.

Berbagai upaya masif pun terus dilakukan untuk menekan angka positif Covid yang terus meningkat tersebut. Namun, di tengah kondisi peningkatan positif Covid di negeri ini, nyatanya tidak memengaruhi penurunan jumlah aktivitas kemaksiatan. Bahkan angkanya terus meningkat selama pandemi. Khususnya, masalah aktivitas seks bebas yang dilakukan generasi meski dalam situasi pandemi.

Setidaknya hal ini terbukti dengan diamankannya 10 orang pasangan muda-mudi yang terjaring razia di beberapa penginapan dan kos-kosan di Kecamatan Cipanas, Cianjur pada Minggu (21/2) dan Senin (22/2). Mereka diamankan oleh Polsek Pacet dan tim gabungan saat melakukan razia penyakit masyarakat. Diduga kesepuluh pasangan tersebut berbuat mesum karena tidak mampu menunjukkan buku nikah saat diamankan (detiknews.com, 22/02/2021).

Apa yang dilakoni oleh kesepuluh pasangan muda-mudi di atas hanyalah sedikit gambaran dari banyaknya realita kerusakan yang menjangkiti generasi. Hawa nafsu mereka selalu terdorong untuk dilampiaskan meskipun situasi pandemi cukup mengkhawatirkan.

Setidaknya sepanjang pandemi 2020 terjadi peningkatan ajuan permohonan dispensasi pernikahan (pernikahan dini) di beberapa wilayah di Indonesia. Faktor yang paling dominan adanya pengajuan dispensasi tersebut dilatarbelakangi adanya kehamilan di luar nikah. Dilansir dari okezone.com, 13/08/2021 Pengadilan Agama (PA) Kelas IB Lubuk Linggau Sumatera Selatan mencatat terdapat 297 remaja atau anak baru gede (ABG) yang terpaksa menikah sepanjang Januari - Juli 2020. Menurut Yuli Suryadi, Panitera Pengadilan Agama Kelas I B Lubuk Linggau, kondisi banyaknya ajuan dispensasi pernikahan karena adanya pengaruh teknologi yang semakin memudahkan para remaja mengakses konten-konten berbau porno yang berpengaruh pada tindakan asusila. Lebih lanjut ia mengatakan, ajuan dispensasi pernikahan di tahun 2020 meningkat signifikan dibanding tahun 2019 yang hanya 85 permohonan.

Begitu juga halnya yang terjadi di Kota Madiun. Melansir berita dari liputan6.com (27/09/2020) bahwa angka kasus pernikahan dini di kota tersebut naik signifikan di atas 100 persen dibanding tahun sebelumnya.

Zainal Arifin selaku Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun mengatakan bahwa dari Januari - Agustus 2020 sudah tercatat pengajuan dispendasi pernikahan sebanyak 120 permohonan. Salah satu faktor yang menyababkan kenaikan permohonan tersebut diantaranya adalah faktor hamil di luar nikah.

Sungguh miris! Pola interaksi yang menyelimuti generasi makin memilukan. Kondisi pandemi yang semestinya bisa menjadi rem, ternyata tak berefek apa-apa. Anjuran untuk tetap beraktivitas di rumah juga tak meminimalisasi masalah yang ada.

Apa yang kita hadapi saat ini, sungguh menjadi tamparan bagi kita semua betapa masalah seks bebas bukanlah masalah yang cukup diselesaikan hanya dengan cara parsial. Banyak komponen yang semestinya bisa menjadi catatan yang tidak hanya bertumpu pada tingkah laku remaja/generasi. Kesemua hal tersebut harus mampu diselesaikan secara komprehensif yang meliputi semua sistem yang harus terintegrasi menjadi satu. Sistem-sistem yang semestinya terintegrasi dalam menyelesaikan masalah ini seperti sistem pendidikan, sosial, budaya, keluarga serta sistem sanksi dan perundang-undangan yang ada.

Dalam sistem pendidikan sudah selayaknya membekali generasi dengan pembentukan akidah yang benar. Dalam hal ini, poin penting pengikutsertaan peran agama menjadi suatu hal yang mutlak terkoneksi dalam pembelajaran. Sistem pendidikan semestinya lebih mengedepankan pendidikan karakter (syakhsiyyah) yang berlandaskan akidah (Islam) ketimbang membentuk karakter generasi menjadi mesin produksi.

Sayangnya, jauh panggang dari api. Pendidikan dengan basis sekularisme saat ini telah menjauhkan nilai-nilai agama sedikit demi sedikit dari benak generasi. Pembelajaran agama hanya sebatas formalitas yang hanya berisi komponen ritual semata tanpa melibatkan komponen penting lainnya seperti nidzhomul ijtima'i (sistem pergaulan).

Apalagi semenjak ramai isu moderasi, mata Pelajaran Agama Islam (PAI) telah banyak mengalami modifikasi. Sejumlah komponen hukum Islam yang kaffah banyak dihilangkan. Generasi kehilangan banyak bekal dan orientasi akibat jauhnya Islam dari diri mereka. Hingga akhirnya, generasi saat ini lebih banyak memahami agama hanya sebatas ritual dan tidak berkorelasi dalam penataan kehidupan mereka di masa depan.

Jika saja arah pendidikan yang selama ini dijalankan berbasis akidah, tentu hasilnya pasti memiliki implikasi kebaikan dalam sistem sosial budaya. Generasi yang terdidik dan memiliki syakhsiyyah islamiyah dalam kesehariannya akan memiliki standar dalam bertutur kata dan berbuat. Mereka sangat mengerti mana rambu-rambu yang boleh dilewati, mana rambu-rambu untuk berhenti (tidak boleh) dan mana rambu-rambu yang sifatnya berhati-hati (waspada). Mereka dengan pemahaman Islam yang ada akan memiliki rem otomatis yang akan bedenyit dengan sendirinya saat melakukan kesalahan ketika berinteraksi dengan lawan jenisnya.

Iman akan menjadi patokan dalam kehidupan. Di manapun mereka berada, mereka akan tetap lurus menapaki jalan interaksi dalam sistem bermasyarakat dan bernegara. Jika pun muncul ketertarikan terhadap lawan jenisnya, maka satu-satunya jalan yang mereka yakini adalah institusi pernikahan sebagai lembaga resmi untuk menyalurkan naluri berkasih sayangnya.

Amat disayangkan, sistem pendidikan yang bermasalah akhirnya juga memunculkan masalah bagi aspek sosial budaya di dalam masyarakat. Interaksi yang muncul antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi sosial lebih dominan berbau seksual (jinsiy) yang mengakibatkan munculnya interaksi-interaksi yang salah seperti pacaran, perselingkuhan, zina, seks sebelum nikah, dan kemaksiatan lainnya. Mereka tak lagi memandang perbuatan tersebut sebagai aktivitas dosa yang bisa mendatangkan murka. Ditambah lagi, sistem sosial yang serba bebas (liberal) dan serba boleh (permisivisme) diakomodasi perkembangannya oleh kebijakan negara.

Hingga bermunculanlah media-media yang mengusung ide-ide tersebut dan meramunya dalam bentuk tontonan. Berbagai macam tontonan rusak dan merusak sangat mudah diakses oleh masyarakat. Mulai dari sinetron, drama, konten-konten vulgar dan lainnya bisa didapati di berbagai media. Sosial media menjadi salah satu tempat terbesar bagi generasi untuk mendapatkan konten-konten yang diinginkan.

Sistem kehidupan saat ini yang berasaskan sekularisme juga telah memberi ruang bagi masifnya perkembangan konten yang merusak. Atas nama kebebasan, semua konten bisa di produksi tanpa mengindahkan lagi unsur-unsur agama dan norma susila.

Ditambah lagi adanya sistem ekonomi yang berbasis kapitalisme. Bagi sistem ini, konten vulgar/porno dianggap konten yang paling menguntungkan dan banyak dicari. Demi mengejar rating dan capaian keuntungan semua konten diproduksi dengan melibatkan unsur vulgar yang semakin merangsang dan menumbuhkan kecenderungan dan orientasi generasi hanya untuk pemenuhan syahwat.

Makin lengkap kerusakan dengan belum adanya sistem sanksi yang menjerakan bagi pelaku dan aturan tayangan untuk media. Bagi mereka yang tertangkap melakukan tindakan asusila biasanya hanya diberikan pengarahan untuk tidak mengulangi keburukannya. Jika ada yang sampai hamil di luar nikah biasanya juga akan dinikahkan dengan segara atau jalan paling ekstrem adalah dengan menggugurkan kandungan.

Aturan untuk media pun dalam hal produksi konten juga dirasa belum tegas. Hal ini karena dilatarbelakangi adanya paham kebebasan yang memang dilindungi dalam demokrasi. Kalaupun ada aturan biasanya hanyalah aturan terkait pembatasan umur bagi mereka yang ingin menonton. Itupun jika tak diawasi secara ketat, sangat gampang diakses oleh generasi. Rasanya mana mungkin bisa melakukan pengawasan dengan ketat saat fungsi keluarga tidak berjalan optimal dalam sistem saat ini. Kebutuhan hidup yang tinggi serta sulitnya mendapatkan kesejahteraan telah mengakibatkan fungsi orangtua mengalami krisis. Orangtua hanya berfungsi sebagai alat pemenuhan kebutuhan jasmani dan meninggalkan fungsi luhur pemberi kasih sayang serta pengawasan bagi anak-anaknya.

Beginilah rupa sistem kehidupan yang menjadi driver kerusakan. Semuanya tak berlepas dari keadaan kaum muslim yang amat jauh dari tatanan syariat. Pemahaman umat terhadap nilai-nilai Islam yang melemah semakin menjadikan mereka terjerembab dalam nista yang tak kunjung sudah. Sudah selayaknya umat kembali kepada jalan yang menyelamatkan. Tak hanya generasi tapi juga manusia pada umumnya di manapun berada. Tak lain dan tak bukan semuanya harus dikembalikan kepada hukum Allah. Melalui syariat-Nya Allah memberikan garis lurus pengaturan kehidupan agar tak menimbulkan kerusakan Terlebih jika berkaitan dengan pola interaksi generasi, diantaranya :

Pertama, penancapan akidah yang kokoh di dalam masyarakat dengan menerapkan sistem pendidikan yang berorientasi pada pembentukan kepribadian Islam (sakhsiyyah Islamiyyah).

Kedua, mengatur pola interaksi hubungan laki-laki dan perempuan dengan sistem pergaulan Islam (nidzamul ijtima'i). Interaksi yang muncul adalah interaksi ta'awwun, amar ma'ruf nahiy munkar, dan muamalah. Jika pun ada keinginan untuk lebih dekat dalam kasih sayang, maka pernikahan menjadi jalan dalam penyelesaiannya.

Ketiga, negara berkewajiban mengontrol semua media yang ada di dalam negara dengan menerapkan aturan dan sanksi yang ketat. Semua ini dilakukan agar media tidak memproduksi konten-konten yang melanggar hukum syariah.

Keempat, memfungsikan peran keluarga dengan optimal agar setiap keluarga bisa mendampingi dan mengawasi putra putri mereka. Negara akan memastikan kemudahan akses bagi keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup agar orang tua tetap fokus bersama anak-anak mereka.

Keenam, menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku kemaksiatan agar memberikan efek jera dan mencegah munculnya kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.

Demikianlah kesempurnaan Islam dalam menjawab masalah generasi. Tidakkah kita rindu hidup di dalamnya?

Wallahua'lam bish-showwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Miliani Ahmad Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Bekasi Terkepung Banjir, Kapankah Akan Berakhir?
Next
Cukup Seratus Tahun Hidup Tak Berkah Tanpa Khilafah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram