Kenaikan Harga LPG nonsubsidi Membuat Resah, Ironi Bangsa Gema Ripah Nasibnya Tetap Susah

"Fenomena “lepas” nya sumber migas dan mineral dari perut ibu pertiwi ke pangkuan perusahaan asing sudah bukan fenomena asing, mulai dari lepasnya PT Freeport di Grasberg, ExxonMobile di Cepu, hingga Total di Mahakam dan lainnya."

Oleh. Ahsani Ashri Ar Ridti, S.Tr.Gz
(Penulis dan Pemerhati Sosial)

NarasiPost.Com-Di penghujung tahun, rakyat terutama ibu rumah tangga harus mengencangkan ikat pinggang untuk mengatur biaya kebutuhan sehari-hari, lantaran melambungnya harga bahan makanan seperti telur, cabai, dan minyak goreng. Mengawali tahun 2022, rakyat mendapat kado pahit yang mencengangkan. Bukannya bersuka cita, justru dibuat berduka. Bagaimana tidak, rakyat disuguhi dengan berbagai kebijakan yang menambah kekecewaan.

Wacana biaya energi pada 2022 diperkirakan akan mengalami kenaikan diantaranya harga Liquefied Petroleum Gas (LPG), Bahan Bakar Minyak (BBM), Rencana penghapusan bensin Premium (RON 88), hingga tarif listrik yang mencekik untuk golongan pelanggan nonsubsidi. Dilansir dari cnnindonesia.com (4/1/22), PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha niaga LPG resmi menaikkan harga LPG kisaran Rp1.600-Rp2.600 per kilogram (kg), disesuaikan daerah masing-masing sejak Desember lalu. Keputusan yang dibuat PT Pertamina dalam penyesuaian kenaikan harga gas elpiji karena mengikuti tren Contract Price Aramco (CPA) yang terus meningkat sepanjang tahun 2021. Padahal salah satu sumber daya alam yang menjadi sumber kekayaan Indonesia adalah minyak dan gas bumi. Mengapa bangsa yang kaya migas, masih bernasib susah?

Masalah Klasik yang Berulang

Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia memiliki cadangan gas alam 77 trilun kaki kubik (TCF), namun sayangnya belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan domestik. Kebutuhan Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk konsumsi domestik diprediksi akan terus mengalami peningkatan. Indonesia memiliki kebutuhan minyak sebesar 1,4 juta barel per hari, sedangkan kemampuan produksi hanya mencapai 700 ribu barel per hari. Artinya, hanya dapat memenuhi separuh permintaan kebutuhan domestik.

Sungguh ironi, bukannya mengembangkan pasar penyerap dan memperbaiki infrastrukur untuk meingkatkan penyerapan gas alam ini, Indonesia lebih memilih LPG sebagai sumber pasokan padahal jumlahnya terbatas. Alhasil, peningkatan impor LPG terus-menerus dibiarkan. Indonesia masih menjadi negara “doyan impor”. Hingga akhir 2020, Indonesia masih mengimpor Liquefied Petroleum Gas (LPG) kisaran 76% atau sebesar 6,1 juta ton. (cnbcindonesia.com, 16/08/21)

Kenaikan harga LPG nonsubsidi tentu sangat menambah derita rakyat, mengingat gas adalah bahan bakar utama untuk memasak yang digunakan masyarakat saat ini. Kala impor dan harga LPG kian melesat, Indonesia ternyata memiliki kelebihan pasokan gas alam cair (LNG) hingga 2030. Penggunaan Liquefied Natural Gas (LNG) disinyalir dapat menjadi alternatif bahan bakar untuk sektor rumah tangga, komersial maupun industri, dengan catatan harus ada upaya untuk membenahi tata kelola migas yang tepat agar alternatif solusi yang diberikan tidak menjadi tumpang tindih.

Karut Marut Pengelolaan Migas, Salah Siapa?

Bidang migas, tentu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan ekonomi dan politik. Masalah mendasar terletak pada tata kelola yang diusung negeri ini berdasarkan sistem kapitalisme. Kesalahan pengelolaan migas di Indonesia bermuara dari kebijakan pemerintah yang melakukan liberalisasi di sektor yang menjadi hajat hidup orang banyak.

Berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, bidang migas menjadi sesuatu yang “vital” bagi perekonomian negara karena sifatnya high-risk, high-capital, dan high-tech. Salah pengelolaan bisa berdampak besar bagi perekonomian sebuah negara. Tingginya kebutuhan investasi di sektor ini hanya dapat dilakoni oleh para pemodal besar, yang di dominasi oleh korporat-korporat asing. Lagi-lagi kapitalisme menjadi biangnya, di mana ada sumber uang, di situlah mereka mengeruk dan berkuasa.

Liberalisasi migas di Indonesia terjadi sejak zaman Orde Baru. Pengalaman 76 tahun kita berjuang mempertahankan kemerdekaan, semestinya membuat kita kenyang akan tekanan asing yang senantiasa hadir silih berganti dari hari ke hari. Fenomena “lepas” nya sumber migas dan mineral dari perut ibu pertiwi ke pangkuan perusahaan asing sudah bukan fenomena asing, mulai dari lepasnya PT Freeport di Grasberg, ExxonMobile di Cepu, hingga Total di Mahakam dan lainnya.

Untuk melanggengkan kebijakannya, pemerintah membuat undang-undang (UU) pengelolaan migas sebagai payung hukum, salah satunya yang kita ketahui adalah UU Minerba yang mengatur pengelolaan SDA yang menuai kontroversi karena dinilai merugikan rakyat dan lingkungan.

Katanya negeri ini mengklaim UUD’45 yang memuat falsafah kepemilikian SDA termasuk migas dalam pasal 33, lantas mengapa pada praktiknya negara kita hanya “melongo” melihat kekayaan alam jatuh ke pangkuan asing? bahkan konstitusi turunannya masih jauh dari keberpihakan kepada bangsa sendiri.

Mengembalikan kemandirian dan kedaulatan migas harus dimulai dari kebangkitan sebuah ideologi yang dianut oleh sebuah negara. Sejarah mencatat bahwa penjajah adalah bangsa yang begitu giat menanamkan nilai-nilainya pada bangsa lain, sehingga ada bangsa yang bangkit walau tanpa dikaruniai minyak atau tambang emas yang melimpah ruah. Sementara di sisi lain, ada bangsa yang gemah ripah loh jinawi namun tidak memiliki pendirian, nasibnya tetap susah di negeri sendiri.

Jika kita berkaca pada peradaban dunia, maka kita seharusnya tidak perlu mencari solusi yang sifatnya temporal atau sekadar tambal sulam. Sejarah telah berbicara, dahulu peradaban Islam mampu memimpin dunia selama 13 abad, artinya Islam pernah mengatur kehidupan dan mampu menyelesaikan segala persoalan termasuk permasalahan migas.

Konsep Islam Mengelola Migas

Islam sebagai aturan kehidupan sangat komprehensif, karena aturan tersebut berasal dari Sang Pemilik Kehidupan. tambang migas yang dijadikan sebagai bahan komoditas penting di dunia, dalam sistem ekonomi Islam masuk katagori miliki umum atau milik rakyat yang wajib dikelola oleh negara dan tidak boleh diprivatisasi, apalagi dimiliki asing. Rasulullah saw. telah menjelaskan kepemilikan umum tersebut dalam sebuah hadis. Nabi saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud).

Aneka barang tambang yakni minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai dan laut semuanya ditetapkan sebagai kepemilikian umum yang dikelola oleh negara. Negara mengatur produksi dan distribusi asset-aset ini untuk rakyat. Negara dengan konsep riayatus syu’unil ummah (pengurusan urusan rakyat) berhak mengelola dan mengeskplorasi bahan tersebut kemudian hasilnya dimasukkan ke kas Batul Mal.

Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya berdasarkan keuntungan semata. Maka, sudah seharusnya negara mengoptimalkan perannya dalam mengelola SDA termasuk migas dengan sebaik-baiknya dan seusai dengan aturan yang benar pula, sehingga dapat mencegah terjadinya liberalisasi dan komersialisasi di sektor migas. Ini tidak dapat diwudujkan selama negara masih menganut sistem kapitalis, saatnya negara berbenah dan mengembalikan kepengurusan rakyat kepada suatu sistem yang sempurna yaitu Khilafah Islam, sehingga rakyat dapat menikmati kekayaan alam yang mereka miliki dengan mudah dan murah. Wallahu'alam[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ahsani Annajma Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kurikulum Baru, Apa yang Diburu?
Next
Yang Muda yang Berjaya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram