"Lantas, bagaimana Islam dapat membantu peternak melewati kurva "The Dip"? Dalam Islam kebijakan antar subsistem saling menopang."
Oleh. Henyk Widaryanti
NarasiPost.Com-Harga telur anjlok. Para peternak rugi telak. Masalah bertubi-tubi menghampiri. Mau berhenti, si ayam tak bisa diajak kompromi. Dia terus bertelur. Dia terus minta makan. Tapi sedihnya, permintaan di pasar tak sebanding dengan persediaan. Seperti hukum ekonomi katanya, "Jika permintaan menurun dan penawaran naik, maka harga barang akan anjlok". Di sisi lain, harga pakannya malah naik. Usut punya usut ternyata kenaikan pakan karena bahan bonggol kedelai yang naik. Gegara kenaikan harga kedelai impor.
Kalau ayamnya hanya 10-100 ekor mungkin tak terlalu terasa ruginya. Beda lagi kalau jumlah ayam petelur 100.000 ekor ayam. Kalau yang produktif diambil rata-rata 80%, jadinya sekitar 80.000 ekor ayam. Berarti tiap hari menghasilkan 80.000 telur. Kalau dibuat kiloan sekitar 5.000 kg. Nah, jika harga telur turun Rp3.000,-, berapa kerugian petani? Rp 15juta. Ngeneskan? Itu kerugian per hari. Padahal masalah ini sudah terjadi sejak akhir tahun kemarin. Mau dibawa ke mana nasib mereka? (cnn.com, 26/01/21)
"Curva The Dip" Mengalami Jalan Terjal
Mimpi para pengusaha ayam petelur seakan hancur. Bukannya sukses dan untung, yang didapat justru babak belur. Rugi belasan juta perhari, membuat para peternak berada pada lembah yang dalam. Sebagai mana kurva "The Dip" yang dijelaskan oleh Seth Godin dalam bukunya "The Dip". Godin mengutarakan kurva "The Dip" akan dilalui oleh orang-orang yang memiliki mimpi. Ingin berhasil. Mereka senantiasa berusaha agar hari esok lebih baik dari hari sekarang.
Orang-orang optimistis inilah yang akan melalui lembah ujian. Godin menyebutnya "The Dip". Sebuah lembah yang curam dan dalam. Untuk naik menuju kesuksesan perlu usaha yang tak gampang. Hanya orang-orang yang pantang menyerah, yang mampu melewatinya.
Bagaimana dengan para peternak? Jelas, mereka adalah para pengusaha yang selalu ingin sukses. Apapun akan mereka lalui agar kesuksesan itu diperolehnya. Namun, nyatanya masalah merosotnya harga telur sehingga para peternak rugi bandar, terus terulang. Seakan nasib tak pernah berpihak pada mereka. Lantas, sampai kapan mereka mampu melewati lembah rintangan ini? Akankah mereka mampu bertahan dalam kondisi "The Dip" yang curam?
Masalah yang Menumpuk
Sebenarnya kalau diperhatikan, masalah ini tidak hanya menimpa para peternak. Memang, bagi pengusaha adanya kenaikan pakan, diikuti dengan sepinya permintaan membuat mereka rugi. Sepinya permintaan dari Jabodetabek dan Bandung menambah prahara para peternak. Hal ini dikarenakan banyak warteg dan rumah makan yang mengurangi jatah penjualannya. Tentu lagi-lagi karena ada pembatasan aktivitas dalam rangka menanggulangi corona.
Tapi bagi para pembeli, ketika harga telur naik juga kalang kabut. Mau tak mau mereka tetap membeli, karena telur adalah sahabat keluarga setiap hari. Artinya, ada masalah lain dalam perihal telur ini, yaitu masalah distribusi. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, kondisi ini seringkali terjadi. Permainan pasar lokal selalu saja keok jika terjadi masalah dalam pasar internasional. Mungkin ini yang disebut sebagai pasar bebas. Harga dalam negeri harus mengikuti perkembangan harga luar negeri. Walaupun rakyat terseok-seok menjalaninya.
Bagaimana dengan peri'ayah? Mereka sepertinya hanya mampu membuat kebijakan baru untuk menutupi kebijakan yang lama. Seperti masalah telur ini, harga pakan impor yang naik tentu tak bisa disiasati. Karena jika diganti dengan kualitas pakan di bawahnya, produktivitas ayam pun akan berkurang. Jadi mengganti pakannya bukanlah solusi.
Jalan satu-satunya dilakukan dengan menetapkan harga telur. Dengan menaikkan harga telur dari peternak kisaran Rp 23.000-Rp 25.000 setidaknya akan menolong peternak. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi (cnn.com, 26/01/21). Namun apakah benar dengan penyelesaian seperti ini akan tuntas? Nasib peternak akan selamat?
Peternak Mampu Melewati "The Dip"
Padahal menentukan harga telur di pasaran tak akan menyelesaikan masalah. Pasalnya, fluktuasi harga telur tak hanya disebabkan oleh minimnya permintaan atau stok telur terlalu banyak. Ada masalah pakan impor yang selalu bikin tekor. Adanya masalah pada regulasi tata kelola perdagangan telur, juga imbas dari pandemi.
Masalah yang kompleks ini tentu tak akan bisa diselesaikan satu bidang saja. Karena ada keterkaitan dari satu bidang dengan bidang lainnya. Tak mampunya menyelesaikan masalah telur dan pangan saat ini, telah memperlihatkan bahwa aturan tambal sulam yang dipakai telah hancur. Hal ini karena landasan aturannya adalah sistem kufur. Sistem yang tak mengenal Allah sebagai pengatur.
Lantas, bagaimana Islam dapat membantu peternak melewati kurva "The Dip"? Dalam Islam kebijakan antar subsistem saling menopang.
Pertama, saat terjadi wabah, diberlakukan lah kebijakan karantina wilayah terdampak dan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh warga di wilayah tersebut. Sehingga wilayah lain tetap aman, ekonomi akan berjalan maksimal.
Kedua, konsekuensi dari konsep kewajiban penguasa untuk meri'ayah rakyat mengharuskan adanya tata kelola perdagangan dan distribusi setiap barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat, termasuk telur. Mulai dari berapa kebutuhan harian rakyat terhadap konsumsi telur, yakni berapa ayam petelur yang dibutuhkan, dan harus ada pemberdayaan peternak, kebutuhan pakan ternak harus didata semua.
Tak hanya itu, menjamin jalannya rantai distribusi yang sehat juga perlu. Hal ini dilakukan agar harga di pasaran tetap terjaga. Kalaupun ada kenaikan harga yang merisaukan rakyat maupun penurunan harga yang menggelisahkan peternak, solusi yang diambil bukan dengan cara menetapkan harga. Karena itu haram dalam pandangan Islam. Tapi yang harus dilalukan adalah memainkan jalur distribusi antardaerah.
Dari sahabat Anas, ia menuturkan, “Para sahabat mengeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berkata,
‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya harga barang kebutuhan sekarang ini begitu mahal. Alangkah baiknya bila Anda membuat menentukan harga.’
Menanggapi permintaan sahabatnya ini, Rasulullah bersabda,
‘Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, serta mengencangkan, melapangkan, dan memberi rezeki. Dan sesungguhnya, aku berharap untuk menghadap Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman, baik dalam urusan darah (jiwa) atau pun harta.’” (HR. Abu Daud; oleh Al-Albani dinyatakan sebagai hadits sahih)
Insya Allah dengan kebijakan Islam yang komprehensif ini akan membantu para peternak melewati lembah ujian yang curam. Bukankah Islam sudah menjamin dapat menyelesaikan semua masalah manusia? Wallahu'alam bishowab.[]