Minimnya keimanan akan memicu seseorang melakukan perbuatan yang melanggar aturan agamanya. Padahal aturan agama adalah pondasi yang mengatur setiap kehidupan manusia
Oleh. Nuni Toid
(Pegiat Literasi dan Alumni Branding for Writer)
NarasiPost.Com-Maraknya perilaku kejahatan seksual terhadap anak kian hari kian meresahkan masyarakat. Untuk menanggulangi aksi kejahatan predator seksual anak tersebut, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang hukuman kebiri bagi pelakunya. Di dalamnya memuat tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual pada anak. Tujuannya untuk menekan dan mengatasi kekerasan seksual pada anak dan juga memberi efek jera bagi predator seksual anak. Peraturan Pemerintah tersebut tertuang dalam No.70 Tahun 2020 yang sudah ditetapkan pemerintah per 7/12/2020. (viva.co.id, 3/1/2020)
Hukuman kebiri kimia terhadap kejahatan perilaku seksual pada anak dianggap sanksi tertinggi dan pemberatan sanksi dianggap efektif untuk menghentikan pelaku pedofil seksual pada anak. Meskipun bertujuan baik, namun patutlah kiranya hukuman itu dikaji dari sisi efektivitasnya. Karena disinyalir hal tersebut justru akan menimbulkan masalah yang baru bagi pelakunya dan merembet pada permasalahan yang lainnya.
Menurut Don Grubin, profesor psikiater forensik di Universitas Newcastle Inggris, terdapat efek samping yang berisiko bagi pelaku kejahatan ini. Di antaranya, menimbulkan beberapa perubahan pada kesehatan, seperti pengapuran tulang (osteoporosis), perubahan pada kesehatan jantung, kadar lemak darah, tekanan darah, dan gejala yang menyerupai menopause pada perempuan. Bahkan negara Jerman adalah salah satu yang menghentikan hukuman kebiri melalui operasi sejak 2017 lalu. (cnn.indonesia, 29/8/2020)
Namun, di samping efek buruk bagi pelaku pedofil ini, mesti diperhatikan juga dari sisi efektivitas pengebirian itu sendiri. Sebab perilaku kejahatan pedofil itu penyebabnya multifaktor. Menurut psikolog sosial UGM, Koentjoro, hukuman kebiri sangat tepat bila diimplementasikan secara konsisten. Di samping berakibat merusak generasi bangsa juga khawatir akan munculnya predator-predator yang baru. (kompas.tv, 6/1/2020)
Kekhawatiran itu jelas ada. Karena aksi kejahatan seksual pada anak tersebut bukanlah tanpa sebab. Tapi dipicu oleh banyak faktor. Di antaranya, minimnya keimanan, agama dipisah dari kehidupan (sekuler), gaya hidup bebas (liberal), ekonomi kapitalis, fasilitas kelayakan tempat tinggal, dan sanksi yang ringan.
Minimnya keimanan akan memicu seseorang melakukan perbuatan yang melanggar aturan agamanya. Padahal aturan agama adalah pondasi yang mengatur setiap kehidupan manusia. Namun karena agama dijauhkan dari kehidupan (sekuler) maka seseorang dengan mudahnya melakukan tindakan kejahatan tanpa merasa takut.
Begitupun dengan aturan kebebasan yang dianutnya. Pemahaman ini jelas merusak akhlak sebagian besar anak bangsa. Belum lagi berseliweran suguhan konten berbau pornoaksi dan pornografi. Dengan bebasnya tayang di media-media sosial tanpa ada penyaringan sama sekali dari negara. Ditambah dengan mudahnya mendapatkan minuman beralkohol dan narkoba di negeri ini. Semuanya itu menjadi pemicu kejahatan yang saat ini sulit dihindari.
Bukan itu saja. Faktor ekonomi juga berpotensi menjadi salah satu penyebab kejahatan seksual anak. Seorang suami yang tidak dapat memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Maka dengan terpaksa sang istri harus pergi keluar rumah untuk bekerja. Dengan begitu anak pun kurang mendapatkan perhatian, pengawasan dan perlindungan dari orangtuanya. Khususnya sang ibu. Hal itu juga yang membuka celah kejahatan seksual terhadap anak muncul.
Maka jelas sudah, hukuman kebiri ini bagi pelaku kejahatan seksual anak sebagai parasit masyarakat bukanlah solusi yang tepat. Sebab tidak sampai memberantas ke akar-akarnya. Lalu salah siapa bila predator-predator itu semakin banyak bermunculan mencari korban? Di mana peran negara yang sesungguhnya?
Semua akibat diterapkannya sistem kapitalisme-sekuler. Sebuah sistem yang berasaskan pada materi semata. Negara seolah menutup mata dengan banyaknya tayangan yang berkonten porno. Negara pula yang justru memberikan legalitas peredaran minuman keras bebas masuk ke setiap toko atau tempat hiburan. Semua itu hanya karena demi mendapatkan keuntungan saja dan memuaskan para kapitalis. Negara juga tak kuasa menghentikan pasar gelap dalam jual beli narkoba yang semakin massif di negeri ini.
Negara pun menanamkan paham sekuler di tengah-tengah masyarakat. Aturan agama hanya digunakan sebagai ibadah belaka. Dengan demikian halal-haram, pahala-dosa sudah tidak menjadi standar perbuatannya. Maka wajar bila banyak kejahatan menjamur di sistem rusak ini.
Begitulah yang terjadi bila sistem rusak ini terus diadopsi. Bukan keamanan yang tercipta namun kehancuran demi kehancuran akan semakin nyata di depan mata. Karena bukannya memberikan jaminan perlindungan dan rasa aman kepada rakyatnya. Sebaliknya negara terkesan menghembuskan rasa ketakutan hingga tak percaya lagi dengan kebijakan yang dibuatnya. Negara juga lemah dalam memberikan solusi yang mampu menenteramkan jiwa terhadap problematika yang terjadi. Khususnya dalam memberantas tindak kejahatan seksual terhadap anak. Mengapa?
Karena aturan yang lahir dari sistem rusak ini berasal dari pemikiran manusia yang bersifat lemah, terbatas dan masih menggantungkan kepada yang lain. Maka wajar bila negara tidak mampu memberantas tindak kejahatan seksual terhadap anak secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya.
Berantas Predator Seksual Anak dengan Islam
Islam adalah agama komprehensif yang berasal dari Sang Pembuat Aturan, yaitu Allah Swt. Islam memandang bahwa tindakan kejahatan seksual terhadap anak (predator) adalah tingkat kejahatan yang terbilang berat. Maka sanksi dan hukuman yang diberikan juga harus sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Bukan dengan hukuman kebiri. Sebab hukuman tersebut dalam Islam adalah haram.
Dalam sebuah hadis. Dari Sa'ad bin Abi Waqqash, dia berkata:
"Rasulullah Saw. telah menolak Ustman bin Mazh'un untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata), kalau sekiranya Rasulullah Saw mengizinkan Utsman bin Mazh'un untuk melakukan tabbatul, niscaya, kami sudah melakukan pengebirian." (HR.Bukhari Muslim)
Sanksi yang diterapkan dalam Islam bagi predator adalah sebagai berikut. Bila pelaku perzinaan yang sudah menikah (muhshan) hukumannya dirajam sampai mati. Bila yang belum menikah (ghayr muhshan) hukumannya dicambuk 100 kali. Bagi pelaku sodomi (liwath) mendapatkan hukuman mati. Namun bila melakukan pelecehan seksual tidak sampai pada perbuatan zina maka hukumannya ta'zir (hukuman yang dijatuhkan atas ijtihad atau kebijakan qadhi (hakim), karena tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan hadis).
Penerapan sanksi yang diterapkan negara Islam tersebut akan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan akan menjadi pencegah agar tidak ada individu lain yang berani melakukan tindakan kejahatan serupa.
Dengan adanya penerapan aturan Islam yang menyeluruh serta sanksi yang tegas, maka akan mampu memberantas bahkan mencegah potensi berulangnya kasus pelecehan atau tindak kekerasan pada anak. Begitu pula harus ada kepedulian dari kaun perempuan dan ibu terhadap masalah predator ini, yakni dengan menularkan kesadaran kepada masyarakat dan negara untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam setiap aspek kehidupan.
Dengan itu seluruh umat manusia akan mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan secara hakiki. Islam pun terpancar sebagai penerang di seluruh alam.
Wallahu a'lam bish shawab.[]